Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen merupakan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Sragen di bidang perpustakaan. Pusat informasi dan Literasi Masyarakat Sragen ini terletak di JL. Raya Sukowati Barat NO. 15 SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Pada tahun 2010, terpilih sebagai Perpustakaan Kabupaten/Kota Terbaik Pertama Se-Jawa Tengah. Telp. 02171 892721 Email perpustakaansragen@gmail.com. NOMOR POKOK PERPUSTAKAAN 33143E1014753.

Mari, Bersama Perpustakaan Kita Cerdaskan Bangsa!


02 September 2010

RI Perlu Belajar dari Korsel


Oleh Kacung Marijan

SERUAN agar Indonesia bersikap keras dalam menghadapi Malaysia belakangan semakin kuat, khususnya setelah mengetahui komentar perdana menteri Malaysia yang bernada ''mengancam''. Bahkan, ada yang menyerukan agar Indonesia memutus hubungan diplomatik. Masalahnya, apakah perselisihan itu harus diselesaikan melalui jalur ancam-mengancam atau sampai melakukan kekerasan?

Untuk ini, ada baiknya kita belajar dari Korea Selatan (Korsel) dalam menghadapi Jepang. Dua negara tetangga itu juga tidak luput dari ketegangan-ketegangan sebagaimana Indonesia dan Malaysia. Jepang pernah menduduki wilayah Korea pada 1910-1945. Itu merupakan kurun waktu penindasan bangsa Jepang terhadap bangsa Korea. Khususnya pada tahun-tahun pengujung pendudukan, banyak perempuan Korea yang dijadikan budak nafsu tentara Jepang.

Pasca-Perang Dunia Kedua dan Korea menjadi dua bagian (Korea Utara dan Korea Selatan), hubungan Korsel dengan Jepang tetap tak lepas dari ketegangan-ketegangan. Hal itu tidak semata-mata terjadi karena hubungan historis tentang Jepang yang pernah menjajah, melainkan juga berkaitan dengan sengketa perbatasan.

Di antara dua negara tersebut, laut Jepang, terdapat sejumlah pulau yang tidak berpenghuni. Orang Jepang menyebut Takeshima dan orang Korea menyebut Dokdo. Bagi keduanya, wilayah yang disengketakan itu tidak hanya berkaitan dengan integritas wilayah negara, melainkan juga menyangkut kehidupan nelayan di kedua negara yang mencari ikan di wilayah yang disengketakan.

Dalam menghadapi Jepang, Korsel jelas tidak mengalah dan pasrah begitu saja. Ketika Perdana Menteri Junichiro Koizumi mengunjungi Kuil Yasukuni pada pertengahan Oktober 2005 untuk mengenang para tentara Jepang yang tewas pada masa perang, misalnya, Korsel melakukan protes keras. Perdana Menteri Koizumi dianggap tidak menghiraukan perasaan bangsa Korea yang pernah dijajah Jepang beberapa dekade.

Semangat Melawan

Selain sikap tegas, ada satu hal yang patut kita tiru dari Korsel dalam menghadapi Jepang. Yaitu, semangat untuk ''mengalahkan'' Jepang di luar peperangan ala militer. Korsel ingin mengalahkan Jepang di bidang ekonomi.

Semangat itu, terutama, terjadi ketika Korsel dipimpin Park Chung-hee pada 1961 sampai 1979. Sebagai seorang jenderal militer, Park menyadari bahwa melawan Jepang melalui aksi militer jelas tidak mungkin. Dia melihat, perlawanan itu bisa dilakukan melalui jalur ekonomi. Caranya, Korsel harus menjadi kekuatan ekonomi yang diperhitungkan, melalui strategi industrialisasi.

Untuk mengembangkan sektor industri, Park menggunakan instrumen negara yang kuat sebagai aktor utama, melalui beragam kebijakan industri. Dalam literatur strategi sering disebut pendekatan state lead to industrialization. Pendekatan itu berlawanan dengan yang dianut para pemikir liberal yang berargumentasi bahwa industrialisasi tersebut akan berkembang secara baik manakala prosesnya diserahkan kepada pasar (market lead to industrialization).

Sebagai pemimpin yang otoriter, Park memimpin langsung industrialisasi itu. Para pengusaha dikumpulkan dan diarahkan. Pemerintah berusaha mencarikan modal untuk para pengusaha tersebut. Syaratnya, pengusaha itu harus mengikuti kebijakan-kebijakan industri yang telah ditentukan pemerintah. Yang tidak kalah penting adalah modal tersebut tidak dikorupsi.

Usaha Park tidak sia-sia. Sejak beberapa dekade belakangan, Korsel telah menjelma menjadi negara industri terkemuka. Keberhasilan Korsel membangun sektor industri melalui kekuatan negara, khususnya pada awal-awal proses industrialisasi, telah menjadikannya sebagai salah satu developmental state di dunia. Di dalam negara demikian, negara memiliki kekuasaan dan otoritas yang cukup besar. Tapi, kekuatan itu digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran warganya.

Kondisi tersebut berlawanan dengan negara-negara lain yang juga memiliki kekuasaan serta otoritas besar. Tapi, yang dimiliki itu tidak digunakan untuk kemakmuran rakyat, melainkan untuk kepentingan para elite sendiri. Karena itu, negara-negara demikian sering disebut predator state.

Penguatan Ekonomi

Kondisi struktural Indonesia saat ini memang sudah berbeda dari Korsel pada 1960-an dan 1970-an. Indonesia tidak lagi memiliki kapasitas yang cukup besar untuk bertindak sebagai ''pemimpin'' dalam melakukan perlawanan melalui pengembangan ekonomi. Tapi, semangat ''nasionalisme'' sebagian elite dan masyarakat bisa menjadi modal.

Para elite dan tokoh masyarakat bisa saja mengobarkan semangat untuk ''mengalahkan'' Malaysia melalui jalur non kekerasan, sebagaimana pernah dilakukan Park dan para penerusnya. Caranya, para elite harus memberikan teladan untuk bekerja keras dan serius serta tidak berpraktik korupsi.

Sekiranya, anggaran sekitar 30 persen yang dikorupsi itu berkurang secara drastis, anggaran tersebut akan berfungsi sebagai stimulan pertumbuhan ekonomi dan perbaikan kesejahteraan rakyat secara berarti. Hal demikian juga akan melahirkan trust dari rakyat. Implikasinya, rakyat juga akan ikut bekerja keras dan bisa mengubah budaya tangan di bawah menjadi budaya tangan di atas.

Selain itu, negara memang tidak lagi kuat. Tapi, negara tetap saja bisa bertindak sebagai dirigen melalui kebijakan-kebijakan yang lebih terarah, jelas, serta konsisten. Misalnya, pemerintah mengembangkan sektor industri manufaktur, pertanian, perkebunan, dan lainnya secara lebih terarah untuk menampung tenaga kerja.

Sekiranya kebijakan-kebijakan semacam itu dibuat dan diimplementasikan secara konsisten, anak-anak muda yang sebagian besar berasal dari desa-desa tidak perlu pergi ke Malaysia. Di negeri sendiri mereka bisa memperoleh pekerjaan dengan upah yang memadai. Semoga. (*)

*) Kacung Marijan, guru besar FISIP Universitas Airlangga

Sumber : www.jawapos.co.id

0 komentar:

Posting Komentar