Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen merupakan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Sragen di bidang perpustakaan. Pusat informasi dan Literasi Masyarakat Sragen ini terletak di JL. Raya Sukowati Barat NO. 15 SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Pada tahun 2010, terpilih sebagai Perpustakaan Kabupaten/Kota Terbaik Pertama Se-Jawa Tengah. Telp. 02171 892721 Email perpustakaansragen@gmail.com. NOMOR POKOK PERPUSTAKAAN 33143E1014753.

Mari, Bersama Perpustakaan Kita Cerdaskan Bangsa!


10 Mei 2010

Indonesia Membatik, Maka Indonesia Ada !*

Oleh : Romi Febriyanto Saputro**


A. Pendahuluan

Batik merupakan salah satu warisan budaya yang sangat berharga. Menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia (1997), batik merupakan suatu seni tradisional asli Indonesia dalam menghias kain dan bahan lain, dengan motif hiasan dan pewarna khusus. Batik juga diartikan kain mori yang digambari dan diproses secara tradisional, untuk dikenakan sebagai pakaian bawah oleh banyak suku-suku di Pulau Jawa. Istilah yang umum dipakai adalah kain batik.


Dalam perkembangannya, kain batik kini juga dikenakan sebagai kemeja, gaun wanita, gorden, sprei, sarung bantal, taplak meja, hiasan dinding dan keperluan lain lagi. Cara pembuatannya pun sudah mengalami perkembangan pula. Kini, selain batik yang dibuat dengan cara tradisional, yakni ditulis tangan, ada pula batik yang diproduksi secara besar-besaran di pabrik dengan teknik modern.

Kain batik ada beberapa macam. Yang paling baik dan paling tradisional adalah batik tulis. Selain itu ada pula batik cap. Ada lagi batik yang merupakan perpaduan antara batik tulis dengan batik cap, yang biasanya disebut batik kombinasi. Kemudian sejak 1960-an dikenal pula batik sablon. Jenis batik ini kemudian disusul lagi dengan batik printing. Dari jenis-jenis batik itu yang termahal adalah batik tulis. Kain batik tulis yang terbuat dari bahan bermutu tinggi dan dirawat dengan cara tradisonal dapat tahan lama. Ada yang masih tetap bagus penampilannya setelah 75 tahun.

Di Pulau Jawa ragam batik dapat dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yakni motif batik Solo-Yogya, dan pesisir. Ragam hias batik Solo-Yogya bersifat simbolis atau perlambang, dengan latar belakang kebudayaan Hindu dan Kejawen. Antara lain ada motif sawat atau lar yang melambangkan mahkota atau penguasa tinggi. Motif meru atau pagoda melambangkan alam, bumi atau gunung. Gambaran naga melambangkan air. Burung melambangkan dunia atas atau angin. Modang atau lidah api menggambarkan panas atau nyala api. Batik Solo-Yogya juga ditandai dengan warna-warna yang dominan, yakni cokelat sogan, biru wedelan (indigo), hitam dan putih.

Motif batik pesisir banyak dipengaruhi oleh ragam hias yang berasal dari budaya asing, terutama Cina. Bentuk gambarnya lebih bersifat naturalis. Warna batiknya juga lebih beraneka ragam. Misalnya, warna biru ada beberapa macam, mulai dari biru muda sampai ke biru tua. Demikian pula warna merah, kuning dan cokelat. Batik pesisiran yang terkenal adalah batik Pekalongan, Lasem, Madura dan Cirebon.

Pembagian batik atas dua golongan besar itu, masih dapat dibagi lagi menurut ciri daerah masing-masing. Dalam budaya batik dikenal batik Solo, Yogya, Wonogiri, Banyumas, Nadiun, Cirebon, Garut, Pekalongan, Lasem, Madura dan Jambi. Masing-masing memiliki ciri khusus, baik pada ragam hias maupun warnanya. Misalnya, pada batik Yogya ada bagian ragam hias yang disebut dele kecer dan berbagai jenis ukel, seperti ukel cantel, ukel tutul dan ukel mote. Batik Cirebon yang terpengaruh budaya Cina, Arab dan Cirebon, mempunyai ragam hias yang menggambarkan binatang khayal seperti peksi naga liman dan singa barong.

B. Pelestarian Budaya Batik
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pelestarian merupakan upaya perlindungan dari kemusnahan atau kerusakan . Sementara itu kata “lestari” diartikan dengan tetap seperti keadaan semula, tidak berubah, kekal, membiarkan tetap seperti keadaannya semula, dan mempertahankan kelangsungan (hidup). Jadi, pelestarian budaya merupakan upaya untuk melindungi budaya bangsa agar dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya dari segala ancaman dan gangguan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Pelestarian budaya memiliki urgensi yang cukup signifikan bagi kelangsungan hidup sebuah bangsa. Pertama, melestarikan budaya berarti melestarikan identitas bangsa. Suksesnya penjajahan Belanda di tanah air selama 350 tahun pada hakekatnya merupakan kesuksesan Belanda dalam menghilangkan identitas bangsa Indonesia. Politik devide et impera telah sukses mencabik-cabik identitas kebangsaan kita.

Kini di era millennium ketiga, proses penghilangan identitas ini terus berlangsung. Salah satunya menimpa budaya batik. Batik yang merupakan budaya asli Indonesia ternyata telah dipatenkan hak ciptanya oleh Amerika Serikat. Tio Alexander (2007) dalam web blognya menyebutkan bahwa kain batik ternyata telah dipatenkan oleh Amerika Serikat sebagai salah satu hasil kebudayaan Hawai.

Amerika Serikat telah lama melirik kebudayaan bangsa lain sebagai peluang bisnis yang menguntungkan, tidak hanya menguras kekayaan alam negara lain, tetapi juga menguras kebudayaan negara lain. Di dunia internasional batik saat ini sedang gencarnya dipromosikan sebagai milik Amerika Serikat. Hak Paten Amerika Serikat terhadap Batik ternyata telah terjadi sejak beberapa tahun yang lalu dan dilakukan tanpa sepengetahuan Bangsa Indonesia sebagai pewaris dari Batik Nusantara.

Kedua, melestarikan budaya berarti melestarikan kearifan lokal Batik merupakan karya seni yang kaya akan kearifan lokal. Mengingat budaya batik dikenal hampir semua suku di Indonesia, ragam hias batik ada yang dibuat hanya untuk memenuhi selera keindahan, tetapi ada pula yang dibuat dengan tujuan lain.

Di Pulau Jawa hampir seluruh motif batik diciptakan dengan suatu harapan. Pengantin Jawa biasanya akan mengenakan kain batik motif sido mukti, sido luhur, sido mulyo atau sido asih. Hal ini mengandung suatu filosofi bahwa tujuan menikah adalah untuk membentuk keluarga bahagia, tenteram, dan penuh rahmat. Pada upacara pernikahan, orang tua pengantin mengenakan motif kain truntum, karena motif batik ini melambangkan tuntunan orang tua pada anaknya.

Ketiga, melestarikan budaya berarti melestarikan etika pemerintahan yang baik. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang makin banyak terjadi di era reformasi ini lahir akibat diabaikannya etika pemerintahan yang bersih, jujur, dan berwibawa. Budaya kerajaan kita zaman dahulu ternyata jauh lebih baik daripada budaya pemerintahan kita saat ini. Motif batik parang kusuma yang pada masa lalu hanya diperuntukkan bagi kalangan raja mengandung suatu filosofi bahwa seorang penguasa harus mampu menegakkan hukum dan keadilan bagi rakyatnya.

Menurut Sri Mulyati (2005), seorang penerjemah naskah kuno, ternyata orang zaman dulu lebih beretika daripada orang zaman sekarang. Ucapannya ini dilatarbelakangi oleh pengalamannya yang amat berkesan saat menerjemahkan naskah kuno berbahasa Cirebon dengan aksara-aksara campuran Jawa Kuno dengan Sunda Cacarakan—aksara Sunda yang dipengaruhi aksara Jawa Kuno—berjudul Nitisastra Parwa-Parwa. Gambaran yang ditulis pada abad ke-17.

Naskah tersebut berisi tentang etika yang berlaku dalam sebuah pemerintahan. Meskipun kita mengenal bahwa raja amat berkuasa, ternyata etika pemerintahan mereka tidak demikian. Di antara aturan bernegara, jika raja melakukan kesalahan, ia patut ditegur dan bisa juga sampai dihukum. Sementara dalam naskah lainnya berjudul Nitisruti dinyatakan bahwa pegawai kerajaan diterima bukan berdasarkan keturunan, melainkan karena berkemampuan baik.

C. Membatikkan Anak Bangsa

Dalam bukunya “Can Asians Think ?” , Kishore Mahbubani (2000) menyatakan bahwa orang Asia itu tidak dapat berpikir karena pengaruh kolonialisme. Pengaruh atau dampak yang amat menyakitkan bukanlah pengaruh fisik melainkan pengaruh mental dari kolonialisasi tersebut. Banyak negara di Asia, termasuk beberapa negara di kawasan Asia Tenggara yang menganggap bahwa orang Eropa lebih unggul daripada orang Asia. Inilah dampak yang sampai saat ini sangat melekat di hati orang Asia.

Analisa Kishore Mahbubani di atas sangat tepat jika pisau analisa di arahkan ke Indonesia. Bangsa Indonesia yang telah dijajah selama 350 tahun oleh Belanda dan 3,5 tahun oleh Jepang merupakan bangsa yang paling menderita lahir dan batin daripada bangsa Asia manapun. Penjajahan selama itu telah menyebabkan bangsa tercinta ini mengalami gegar otak budaya. Manusia Indonesia menjadi kehilangan kemampuan dan kemandiriannya dalam berpikir.

Kolonialisme telah menyebabkan tumbuhnya mentalitas yang menganggap budaya bangsa penjajah adalah budaya yang lebih superior daripada budaya lokal. Tanpa disadari keberhasilan Kolonialisme Belanda dalam memperdayai Pangeran Diponegoro memberikan kesan yang mendalam di alam psikologi manusia Indonesia bahwa kita tak mungkin bisa menang bersaing dengan manusia-manusia Eropa. Pada titik ekstrim, hal ini akan membawa dampak berupa lahirnya manusia Indonesia yang memandang rendah budaya sendiri sekaligus memandang tinggi budaya bangsa asing.

Paradigma semacam inilah yang menyelimuti otak para teknokrat pada masa orde baru. Mereka berkiblat ke dunia barat untuk mencari dasar-dasar pembangunan bangsa karena masih terkesima oleh keunggulan orang barat. Padahal menurut Gunnar Myrdal, seorang ekonom Swedia, teori-teori yang cocok untuk orang barat belum tentu baik untuk orang timur bahkan akibatnya mungkin lebih buruk. Teknokrat Indonesia, terutama pada zaman orde baru, masih juga terbelunggu dan terkesima oleh konsep-konsep barat, masih bermental kolonial, sehingga terpuruknya ekonomi bangsa setelah orde baru berkuasa adalah tanggung jawab para ekonom Indonesia yang tergabung dalam Mafia Berkeley. (Tempo, Januari 2000).

Virus rendah diri ini juga menular dalam selera makan bangsa kita. Makanan cepat saji yang di negeri asalnya sendiri sudah dianggap makanan “sampah” karena kandungan kolesterolnya yang sangat tinggi, di negeri ini dianggap makanan kelas raja dan elit. Hamburger dan Pizza begitu diagung-agungkan, padahal banyak makanan tradisional kita yang jauh lebih bergizi.

Begitu pula dalam hal budaya batik. Batik yang mengandung nilai seni yang cukup tinggi kurang memperoleh penghargaan yang layak dari pemerintah. Sampai saat ini pemerintah hanya berusaha melestarikan batik dengan kebijakan yang cenderung konvensional, kebijakan yang belum menyentuh akar permasalahan sebenarnya.

Kebijakan ini antara lain ditempuh dengan mewajibkan para pelajar mengenakan seragam dari kain batik. Demikian pula dengan kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Di era otonomi daerah ini, banyak pemerintah kabupaten/kota di Jawa Tengah yang mewajibkan PNS mengenakan pakaian dinas bermotif batik. Misalnya, Pemkab. Sragen mewajibkan PNS memakai pakaian dinas batik lengan pendek setiap hari Kamis dan Jumat serta batik lengan panjang pada hari Sabtu.

Kebijakan semacam ini tidak akan pernah menguntungkan para pengrajin batik tulis. Mengingat yang dipergunakan untuk kain seragam tersebut adalah batik printing produk pabrik. Perlu kebijakan yang lebih cerdas dari pemerintah untuk memberdayakan para pengrajin batik tradisional.

Dibandingkan dengan bangsa lain, penghargaan pemerintah terhadap batik masih tertinggal jauh. Pemerintah Malaysia yang dari segi kadar “kebatikan” kalah jauh dengan Indonesia sejak lama sudah menjadikan batik sebagai ikon nasional. Malaysia tengah gencar mengampanyekan batik sebagai bagian dari budayanya, sampai-sampai mereka bertekad akan mengirim batiknya ke angkasa bila astronot pertamanya dikirim ke orbit tahun 2007. Hingga meninggalnya, almarhum Ny Endon Mahmood Badawi, istri PM Malaysia Abdullah Ahmad Badawi, dengan gencar ikut dalam memopulerkan batik sebagai budaya Malaysia (Kompas, 13 Agustus 2006).

Munculnya klaim dari berbagai pihak di luar Indonesia terhadap batik seharusnya segera membuat pihak Indonesia segera menjadikan batik sebagai ikon nasional. Menurut Iwan Tirta (2006), untuk menjadikan batik sebagai ikon, yang pertama-tama harus dilakukan adalah mendefinisikan apa yang dimaksud dengan batik. Definisi yang dapat ditentukan melalui pertemuan atau diskusi di antara mereka yang berkecimpung dalam kain adati dan batik ini selain akan menghilangkan kerancuan arti batik di antara kita sendiri, juga akan berguna bila Indonesia berhadapan dengan pihak luar.

Sebagai titik awal, Iwan Tirta mengajukan pendapat, dasar referensi batik Indonesia haruslah batik Jawa. Alasannya, Jawa-lah yang mengembangkan batik sehingga mencapai bentuknya yang sekarang dan di Jawa batik tidak dapat dilepaskan dari bentuk kesenian lain, seperti gamelan, seni suara, tarian, wayang, bahkan agama.

Aspek-aspek itu yang membedakan batik Jawa dari batik daerah lain di Indonesia.
Iwan Tirta mengatakan, batik Jawa memiliki empat ciri utama, yaitu memiliki teknik yang khas, seperangkat aturan yang disebut pakem, hubungan dengan bentuk budaya lain, dan bebas dari batasan agama. Dalam simposium tekstil tradisional ASEAN di Jakarta, Desember 2005, Iwan Tirta dalam makalahnya menyebutkan, batik Jawa memiliki keunikan pada isen-isen atau isi berupa titik, garis halus, atau hiasan lain di dalam bentuk-bentuk ragam hias.

Desainnya memiliki dua aturan dasar, yaitu berdasarkan konstruksi geometri berupa kotak-kotak atau garis diagonal, dan desain nongeometri seperti bentuk tangkai, bunga dan kuncupnya, dan bentuk hewan. Hubungan batik dengan bentuk budaya lain, seperti bahasa, pertanian, musik, tari, wayang, seni ukir, tampak pada penamaan batik itu sendiri.

Selain itu, batik berhubungan erat dengan agama seperti terlihat pada motifnya yang dipengaruhi Hindu dan Islam, dipengaruhi budaya China serta Eropa, tetapi sekaligus pada saat sama agama tidak membatasi kehadiran berbagai motif. Semua itu yang membuat batik Indonesia (baca Jawa) menjadi unik dan mampu menjawab modernisasi melalui tangan sejumlah artis dan pengusaha batik justru karena batik juga memiliki kemampuan menjadi benda pakai bernilai ekonomi.

D. Pendidikan Membatik

Untuk membatik Indonesia, budaya batik dapat diinternalisasikan ke dalam kurikulum pendidikan nasional. Pendidikan formal dalam kacamata sosiologis merupakan sarana sosialisasi yang paling penting dalam masyarakat modern. Sosiolog terkenal Emil Durkheim (1973) mengungkapkan bahwa sistem pendidikan formal merupakan komponen penting dalam integrasi moral dan sosial suatu masyarakat.

Pengajaran adalah penting dalam memperkenalkan anak-anak pada norma dan praktek sosial dalam suatu bangsa dan memberikan mereka suatu pemahaman mengenai aneka ragam peran dalam suatu masyarakat.

Lingkungan sekolah merupakan lingkungan yang tepat untuk menumbuhkan kecintaan peserta didik pada budaya batik. Lingkungan sekolah dapat berfungsi sebagai daya ungkit untuk mengubah mentalitas peserta didik yang kurang menghargai budaya sendiri menjadi mencintai budaya sendiri. Daya ungkit ini mempunyai kekuatan yang sangat besar jika peserta didik dapat menularkan kebiasaan ini kepada lingkungan keluarga masing-masing.

Pendidikan membatik dapat dimasukkan dalan pelajaran kesenian. Proses membatik tradisional sebenarnya merupakan pengetahuan yang cukup menarik bagi para generasi muda kita. Proses mencuci kain mori, menganji kain mori, pengemplongan, ngelowong, nembok, medel, ngerok, nyoga, dan ngelorod merupakan proses membatik yang cukup mengasyikkan jika dipraktikkan bersama oleh peserta didik.

Pendidikan membatik juga dapat mengajarkan tentang asal-usul batik, aspek tradisi kedaerahan batik, motif dan arti batik, pengaruh modern terhadap batik, batik sebagai kostum dan batik sebagai seni, serta filosofi batik. Dengan membahas batik dari berbagai segi ini diharapkan kesadaran peserta didik untuk mencintai batik sebagai budaya bangsa yang pluralistik dapat tumbuh dan berkembang.

Agar lebih “mengena di hati” peserta didik, pendidikan membatik harus dijiwai oleh pendidikan karakter. Pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik sehingga peserta didik menjadi faham (aspek kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan (aspek afektif) nilai yang baik dan mau melakukannya (aspek psikomotorik).

Menurut Wynne (1991) kata karakter berasal dari Bahasa Yunani yang berarti “to mark” (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. .

Foerster (1996) menjelaskan ada empat ciri dasar pendidikan karakter yang cukup penting untuk menyuntikkan semangat mencintai budaya batik di hati peserta didik, pertama, keteraturan interior yang mengukur setiap tindakan berdasar hierarki nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan. Peserta didik yang memahami hierarki nilai dengan baik tentu akan lebih mudah untuk menghargai, menghormati dan melestarikan budaya bangsa sendiri.

Kedua, koherensi yang memberi keberanian membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak terombang-ambing pada situasi baru atau takut resiko. Keberanian memegang prinsip budaya bangsa akan membuat peserta didik kebal terhadap infiltrasi budaya asing yang destruktif. Tidak mudah larut dalam budaya pop dan menjunjung tinggi budaya karya bangsa.

Ketiga, otonomi. Seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh desakan pihak lain. Kedaulatan jiwa peserta didik perlu dibangun oleh pendidik agar mereka menjadi pribadi yang bangga dengan budaya bangsanya.

Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik, sedangkan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih. Keteguhan dan komitmen pada nilai-nilai budaya nasional merupakan tujuan utama dari pendidikan karakter. Dengan demikian budaya nasional, khususnya budaya batik tidak akan kehabisan energi sampai masa yang akan datang.
* Tulisan ini tercatat sebagai Nominator 10 Besar Dalam Lomba Karya Tulis Batik Tahun 2007.
**Romi Febriyanto Saputro, S. IP, Administrator www.perpustakaansragen.blogspot.com


0 komentar:

Posting Komentar