Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen merupakan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Sragen di bidang perpustakaan. Pusat informasi dan Literasi Masyarakat Sragen ini terletak di JL. Raya Sukowati Barat NO. 15 SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Pada tahun 2010, terpilih sebagai Perpustakaan Kabupaten/Kota Terbaik Pertama Se-Jawa Tengah. Telp. 02171 892721 Email perpustakaansragen@gmail.com. NOMOR POKOK PERPUSTAKAAN 33143E1014753.

Mari, Bersama Perpustakaan Kita Cerdaskan Bangsa!


19 Desember 2011

RSBI dan Perpustakaannya !

Romi Febriyanto Saputro (Kasi Pembinaan Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen)


Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional atau disingkat RSBI, adalah suatu program pendidikan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional berdasarkan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 pasal 50 ayat 3, yang menyatakan bahwa Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.
Ketika program ini digulirkan, banyak sekolah berlomba-lomba untuk beralih “label” menjadi sekolah bertaraf internasional (SBI). Mereka pun berbenah diri untuk mendapat pengakuan sebagai sekolah bertaraf internasional. Pembenahan yang dilakukan meliputi infrastruktur pendidikan dan peningkatan sumber daya manusia (guru dan staf sekolah). 


Akibatnya,  biaya pendidikan RSBI membumbung tinggi ke angkasa jika dibandingkan dengan sekolah pada umumnya, meskipun pemerintah telah mengucurkan dana untuk peningkatan sarana dan prasarana serta mutu SDM sekolah. Sekolah RSBI memang diberikan otoritas untuk mengambil pungutan dari siswa untuk membiayai sarana dan prasarana sekolah, sehingga biaya untuk masuk RSBI sangat tinggi. Masyarakat pun berpendapat bahwa RSBI merupakan salah satu upaya bentuk komersialisasi pendidikan.
Tulisan ini mencoba membahas sisi lain dari sekolah RSBI, yaitu kualitas perpustakaan sekolahnya. Sekolah RSBI dengan label “internasional” mestinya juga memiliki perpustakaan sekolah dengan kualitas “internasional”. Perpustakaan sekolah RSBI mesti memiliki standart maksimal di atas standart perpustakaan sekolah non – RSBI. Bagaimana kenyataannya ?
Dalam Rapat Koordinasi Evaluasi Layanan Perpustakaan di Jawa Tengah tanggal 10 November 2011 yang di selenggarakan oleh Badan Arsip dan Perpustakaan Jawa Tengah, terungkap bahwa rata-rata koleksi judul buku perpustakaan RSBI baru 2.000 judul buku, semestinya 5.000 judul. Dalam acara yang dihadiri penulis ini, juga terungkap bahwa dukungan finansial yang begitu melimpah di RSBI ternyata belum mengalir sampai jauh ke perpustakaan. Perpustakaan belum memperoleh anggaran minimal 5 % dari APBS.
 
Jika RSBI selama ini mengaku berorientasi internasional, maka sudah seharusnya mengacu pada Manifesto Perpustakaan Sekolah yang dikeluarkan oleh UNESCO  tahun 2000. Manifesto ini menyatakan bahwa perpustakaan sekolah memiliki arti penting bagi strategi jangka panjang pengembangan literasi, pendidikan, penyediaan informasi sertaekonomi, sosial dan budaya. Sebagai bentuk tanggung jawab para pejabat berwenang lokal, regional dan nasional, maka hal itu perlu dukungan legislasi dan kebijakan khusus.
Perpustakaan sekolah harus memperoleh pendanaan yang mencukupi dan berlanjut untuk keperluan tenaga terlatih, materi perpustakaan, teknologi dan fasilitas. Pemenuhan kebutuhan tersebut hendaknya cuma-cuma. Perpustakaan sekolah merupakan mitra penting dalam jaringan perpustakaan dan informasi lokal, regional, dan nasional. Jika perpustakaan sekolah berbagi fasilitas dan/atau sumber daya dengan jenis perpustakaan lain, seperti perpustakaan umum, maka tujuan khas perpustakaan sekolah harus diakui dan dipertahankan.
Kualitas perpustakaan sekolah di RSBI sudah saatnya disamakan dengan kualitas sekolah yang bertaraf internasional. Jangan sampai sekolahnya berkualitas internasional, perpustakaannya berkualitas “biasa-biasa saja”. Tak lebih baik dari perpustakaan di sekolah yang tidak berlabel RSBI.
Ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk mewujudkan hal ini. Pertama, RSBI harus mengubah cara pandang terhadap perpustakaan. Berhala besar dalam dunia pendidikan Indonesia  adalah tidak menghormati keberadaan perpustakaan sekolah. Sekolah lebih memprioritaskan kegiatan berburu penghargaan dan medali emas untuk membuktikan diri sebagai sekolah unggulan dan internasional.
Tanpa memberdayakan perpustakaan pun, sekolah merasa bisa meraih “prestasi”. Di berbagai arena lomba nasional maupun “internasional” sekolah merasa sudah mengharumkan nama bangsa dan negara. Sekali lagi tanpa dukungan perpustakaan sekolah !
Ironisnya, raihan berbagai penghargaan ini tidak memberikan kontribusi berarti pada upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia di tanah air. Indek Pembangunan Manusia (IPM) kita pada tahun ini mengalami penurunan. Dari peringkat 106 pada tahun lalu menjadi peringkat 124 diantara 187 negara pada tahun 2011.
Dominasi medali dalam berbagai kegiatan yang berlabel olimpiade pelajar juga belum bisa mendongkrak minat baca para pelajar. Berdasarkan hasil termuan studi  Programme For Internasional Student Assessment  (PISA) pada 2009, minat membaca siswa  Indonesia skornya hanya 402. Sementara, Tunisia mencapai 404.
Menurut Direktur Pembinaan Pendidikan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Ella Yulaewati, temuan PISA menunjukan masih lemahnya minat baca anak negeri. Yang membuat miris, dari 66 negara, Indonesia menempati urutan 56 dalam hal kemampuan membaca. Yang dimaksud membaca dalam survey ini tentu saja bukan membaca buku pelajaran saja seperti yang dipahami oleh sebagian pendidik kita.  Melainkan membaca sebagai kebutuhan pokok jiwa dan raga untuk memenuhi dahaga kehidupan.
Kedua, memperbaiki mekanisme kerja di perpustakaan sekolah. Struktur organisasi perpustakaan sekolah saat ini cenderung berfungsi “sekedar papan nama” alias belum diberi otonomi penuh untuk mengambil kebijakan sendiri. Konsekuansi keberadaan  struktur organisasi adalah adanya pemberian dana. Namun, perpustakaan sekolah banyak yang belum memiliki anggaran yang jelas. Pengadaan buku sekedar menunggu belas kasihan kepala sekolah.
Ketiga,  memberi kesempatan seluas-luasnya kepada peserta didik untuk mengakses perpustakaan. RSBI, dengan beban kurikulum yang begitu berat telah menguras energi berpikir peserta didik. Siswa merasa tidak ada lagi waktu senggang untuk mengunjungi perpustakaan . Selain itu, kesempatan siswa untuk mengunjungi perpustakaan hanya 2 x 15 menit saat jam istirahat  pelajaran. Untuk itu perlu digalang kerjasama yang baik antara guru dengan pengelola perpustakaan sekolah agar terwujud pembelajaran berbasis perpustakaan.
Sekolah dapat mewajibkan guru agar selalu melibatkan perpustakaan sekolah dalam kegiatan belajar mengajar. Dipaksa membaca, terpaksa membaca, terbiasa membaca, dan akhirnya nanti para peserta didik akan berbudaya membaca.  Samakah orang yang membaca dengan yang tidak membaca !
*. Romi Febriyanto Saputro, S.IP, Juara 1 Lomba Penulisan Artikel Tentang Kepustakawanan Indonesia Tahun 2008.

Artikel ini telah dimuat Harian Joglosemar, 6 Desember 2011

0 komentar:

Posting Komentar