Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen merupakan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Sragen di bidang perpustakaan. Pusat informasi dan Literasi Masyarakat Sragen ini terletak di JL. Raya Sukowati Barat NO. 15 SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Pada tahun 2010, terpilih sebagai Perpustakaan Kabupaten/Kota Terbaik Pertama Se-Jawa Tengah. Telp. 02171 892721 Email perpustakaansragen@gmail.com. NOMOR POKOK PERPUSTAKAAN 33143E1014753.

Mari, Bersama Perpustakaan Kita Cerdaskan Bangsa!


29 Maret 2011

Humanisme Sekuler Transendental

  • Oleh Rozihan
ARTIKEL pada harian ini berjudul ”Humanisme sebagai Jawaban” (SM, 21/03/11), menarik didiskusikan. Apakah humanisme akan menyelaraskan eksistensi manusia dengan paham ketuhanan, yang memperlakukan manusia tanpa sekat? Atau memahami agama secara humanis yang mampu menciptakan kesejahteraan bagi alam semesta?

Dewasa ini terdapat 4 aliran yang mengklaim diri sebagai pemilik humanisme dengan segala perbedaan pokoknya, yaitu liberalisme barat, marxisme, eksistensialisme, dan agama. Liberalisme barat menyatakan diri sebagai pewaris asli filsafat dan peradaban humanisme dalam sejarah. Teori humanisme barat dibangun atas asas yang sama yang dimiliki oleh mitologi Yunani Kuno, yang memandang terjadi pertarungan antara alam manusia dan dewa sampai muncul kebencian di antara keduanya.


Klaim humanisme tampak pada tercapainya pengembangan potensi manusia dengan kebebasan pribadi, kebebasan berpikir, mengemukakan pendapat, dan produk ekonomi yang akhirnya berujung pada filsafat borjuis liberalis. Gambaran ini adalah humanisme sekuler. Apakah humanisme ini yang kita tawarkan di Indonesia atau humanisme transendental, karena Indonesia adalah negara yang berketuhanan sekalipun bukan negara agama.

Dalam pandangan Islam, konsep humanisme harus selalu terkait secara teologis, jadi tidak berdiri secara bebas. Manusia sebagai mandataris Tuhan mengemban fungsi kekalifahan memakmurkan dunia, dan karunia kebebasan berpikir serta bertindak harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Atas dasar kebebasan, manusia tidak boleh sewenang-wenang menguasai dunia atas nama Tuhan karena klaim superioritas itu adalah sikap menandingi Tuhan.

Jika kita telah sepakat, bahwa kitab suci merupakan panduan spiritual transendental maka gagasan humanisme cukup mengembangkan dari pola yang telah ditetapkan oleh keduanya. Deduksi dalam kitab suci dengan pendekatan definitif (qoth’i) ataupun yang spekulatif (zanny) merupakan ruang yang tidak pernah kosong dari pemahaman dan penafsiran.

Meminjam istilah Frans Magnis Suseno, humanisme transendental adalah humanisme yang baik. Tetapi, pada dataran empirik humanisme barat terkadang lebih maju dari humanisme transendental. Hal itu karena pemikir barat relatif lebih berani ketimbang pakar hukum dan intelektual timur (muslim) yang masih terpasung dengan produk fikih klasik yang lokal temporal atau yang masih terikat dengan teks rigid.
Transformasi Sosial Padahal, ijtihad (intellectual exercise) adalah ruang paling terhormat bagi para pemikir dan intelektual. Para pemikir tidak perlu takut salah karena Tuhan pun masih menghargainya. Karena itu produk barat pun berhak memperoleh tempat dan apresiasi sebagai produk transendental selama tidak bertentangan dengan koridor umum kitab suci. Tuhan tidak pernah membedakan produk barat ataupun timur karena Dia adalah pemilik keduanya.

Humanisme Indonesia adalah humanisme transendental. Artinya, bahwa nilai-nilai ketuhanan itu harus ditonjolkan sebagai filter humanisme barat. Pancasila menekankan prinsip humanitarianisme yang melintas batas. Jawabannya bukan terletak pada humanisme yang rasional ansich tetapi pada humanisme spiritual transendental yang tidak henti-hentiya terlibat dalam trasformasi sosial manusia.

Yang membuat perbedaan istilah teknis humanisme barat dan transendental adalah manusia yang terikat secara teknologis dan mekanistis. Humanitas yang kosong secara spiritual, laksana menyimpan mayat dalam rumah sendiri sekalipun dia orang yang kita cintai, yang seharusnya kita kubur.

Jika humanitas secara luas telah menjadi jasad mati maka kematian spiritual itulah yang memunculkan bahaya paling besar. Manusia yang anarkis, kejam, tiranik, dan semua predikat negatif adalah sikap pengingkaran terhadap eksistensi manusia yang mati spiritualnya.

Karenanya, dalam tradisi esoteris klasik Yahudi dan Islam dikatakan bahwa,”Tuhan tidak akan merusak bumi selama di planet ini masih ada hamba yang beriman dan ketulusan dalam beramal saleh”. Pilihan bahasa humanisme transendental ini rupanya lebih tepat untuk bangsa Indonesia yang religius. (10)

— Drs H Rozihan SH MAg, kandidat doktor Ilmu Hukum Undip, dosen Fakultas Agama Islam Unissula, Wakil Ketua PW Muhammadiyah Jawa Tengah

 Sumber: Suara Merdeka 29 Maret 2011

0 komentar:

Posting Komentar