Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen merupakan Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Sragen di bidang perpustakaan. Pusat informasi dan Literasi Masyarakat Sragen ini terletak di JL. Raya Sukowati Barat NO. 15 SRAGEN, Jawa Tengah, Indonesia.

Pada tahun 2010, terpilih sebagai Perpustakaan Kabupaten/Kota Terbaik Pertama Se-Jawa Tengah. Telp. 02171 892721 Email perpustakaansragen@gmail.com. NOMOR POKOK PERPUSTAKAAN 33143E1014753.

Mari, Bersama Perpustakaan Kita Cerdaskan Bangsa!


29 Januari 2011

CSR, Energi Alternatif Perpustakaan !



Oleh Romi Febriyanto Saputro*

A. Pendahuluan
            Perpustakaan merupakan hasil budaya dan catatan perjalanan sejarah umat manusia. Segala peristiwa  yang terjadi di muka bumi ini dapat direkam,  dilestarikan, dan diabadikan di perpustakaan. Proses pengabadian ini sangat penting agar setiap budaya dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi umat manusia, kini maupun masa yang akan datang.
            Ironisnya, meskipun saat ini telah terbit Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan, gerbong  kemajuan perpustakaan terasa lambat bergerak. Perpustakaan merupakan “The Lost World”, dunia yang hilang dalam peradaban bangsa kita. Kehadirannya dalam setiap komunitas masih dipandang sebelah mata oleh banyak pihak. Anehnya, dalam alam bawah sadar bangsa kita, perpustakaan telah diakui oleh banyak pihak sebagai jendela ilmu pengetahuan. Ada jurang pemisah yang cukup lebar antara obsesi dan realitas perpustakaan di tanah air
     
     Pembangunan bidang perpustakaan lebih cenderung menyentuh aspek non-materiil. Pembangunan aspek non materiil biasanya tertinggal daripada pembangunan aspek materiil, karena pembangunan aspek non materiil tidak segera kelihatan hasilnya sebagaimana pembangunan  aspek materiil. Padahal pada akhirnya aspek non materiil inilah yang merupakan kunci utama bagi kemajuan suatu peradaban manusia.
            Sebagaimana yang diungkapkan Will Durant dan Ariel Durant dalam bukunya The Lesson of History, bahwa kebangkitan sebuah peradaban atau bangsa sangat tergantung pada ada dan tidak adanya inisiatif individu-individu dan pikiran-pikiran kreatif mereka yang bisa mengembangkan energi positif dalam merespon secara efektif terhadap situasi yang berkembang.
            Tulisan sederhana ini mencoba memberi jawaban agar lokomotif kemajuan perpustakaan lebih cepat dan lebih jauh bergerak maju ke depan. Untuk itu, penulis menawarkan satu solusi yaitu memanfaatkan Corporate Social Responsibility (CSR) untuk membangun dunia perpustakaan di Indonesia agar semakin cepat membaik.

B. Corporate Social Responsibility (CSR)
Corporate Social Responsibility (selanjutnya dalam artikel ini akan disingkat CSR) atau Tanggung jawab Sosial Perusahaan  adalah suatu konsep bahwa organisasi, khususnya (namun bukan hanya) perusahaan adalah memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan.
Hal ini berarti bahwa sebagai suata artificial person, perusahaan atau korporasi tidaklah berdiri sendiri dan terisolasi. Keberadaan dan keberlangsungan suatu perusahaan sangatlah ditentukan oleh seluruh stakeholders-nya. Para stakeholders ini terdiri atas konsumen, pemasok, klien, karyawan dan keluarga, masyarakat sekitar dan berbagai pihak yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dengan perusahaan.
Melaksanakan CSR berarti juga melaksanakan tugas dan kegiatan sehari-hari perusahaan, sebagai wadah untuk memperoleh keuntungan melalui usaha yang dijalankan. Jadi, CSR adalah bagian terintegrasi dari kegiatan usaha.
CSR berhubungan erat dengan konsep  “pembangunan berkelanjutan “di mana ada argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan faktor keuangan, misalnya keuntungan atau deviden melainkan juga harus berdasarkan konsekuensi sosial dan lingkungan untuk saat ini maupun untuk jangka panjang.
Menurut Yusuf Wibisono (2007), dunia usaha semakin menyadari bahwa perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu nilai perusahaan yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya saja, melainkan juga harus memperhatikan aspek sosial dan lingkungannya. Dunia usaha bukan lagi sekedar kegiatan ekonomi untuk menciptakan profit demi kelangsungan usahanya, melainkan juga tanggung jawab terhadap sosial dan lingkungannya.
Pemikiran yang melandasi hal ini ialah bahwa perusahaan yang sehat secara finansial sekalipun tidak menjamin perusahaan tersebut dapat terus eksis apalagi berkembang. Fakta menunjukkan bahwa masyarakat sekitar memiliki semacam “power” yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi eksistensi perusahaan tersebut. Semakin baik citra perusahaan di tengah-tengah masyarakat sekitarnya, semakin kondusif pula iklim usaha bagi perusahaan itu.
CSR berbeda dengan sekedar sumbangan perusahaan. Jika dalam melakukan kegiatan sumbangan, setelah sejumlah uang disumbangkan perusahaan tidak memiliki tanggung jawab lagi, maka dalam CSR komitmen dan tanggung perusahaan ini dibuktikan dengan keterlibatan langsung dan kontinuitas perusahaan dalam setiap kegiatan CSR yang dilakukannya.
Di tanah air, CSR diatur dalam Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Undang-undang ini mengamanahkan bahwa Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.
Tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban ini akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sebagian besar perusahaan di Indonesia menjalankan CSR melalui kerjasama dengan mitra lain, seperti LSM, perguruan tinggi atau lembaga konsultan. Beberapa perusahaan ada pula yang bergabung dalam sebuah konsorsium untuk secara bersama-sama menjalankan CSR. Beberapa perusahaan bahkan ada yang menjalankan kegiatan serupa CSR, meskipun tim dan programnya tidak secara jelas berbendera CSR (Suharto, 2007a).
Kegiatan CSR yang dilakukan saat ini juga sudah mulai beragam, disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat berdasarkan needs assessment. Mulai dari pembangunan fasilitas pendidikan dan kesehatan, pemberian pinjaman modal bagi UKM, social forestry,  pemberian beasiswa, penyuluhan HIV/AIDS, penguatan kearifan lokal, pengembangan skema perlindungan sosial berbasis masyarakat dan seterusnya. CSR pada tataran ini tidak sekadar do good dan to look good, melainkan pula to make good, menciptakan kebaikan atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
C. Beramal Shaleh di Perpustakaan
Pada awal perkembangannya, bentuk CSR yang paling umum adalah pemberian bantuan terhadap organisasi-organisasi lokal dan masyarakat miskin di negara-negara berkembang. Pendekatan CSR yang berdasarkan motivasi karitatif dan kemanusiaan ini pada umumnya dilakukan secara ad-hoc, partial, dan tidak melembaga. CSR pada tataran ini hanya sekadar do good dan to look good, berbuat baik agar terlihat baik. Perusahaan yang melakukannya termasuk dalam kategori ”perusahaan impresif”, yang lebih mementingkan ”tebar pesona” (promosi) ketimbang ”tebar karya” (pemberdayaan) (Suharto, 2008)
Dewasa ini semakin banyak perusahaan yang kurang menyukai pendekatan karitatif semacam itu, karena tidak mampu meningkatkan keberdayaan atau kapasitas masyarakat lokal. Pendekatan community development kemudian semakin banyak diterapkan karena lebih mendekati konsep empowerment dan sustainable development. Prinsip-prinsip good corporate governance, seperti fairness, transparency, accountability, dan responsibility kemudian menjadi pijakan untuk mengukur keberhasilan program CSR.
Perpustakaan merupakan lahan yang tepat bagi perusahaan untuk menyalurkan CSR. CSR di perpustakaan merupakan arena bagi perusahaan untuk melakukan tebar karya daripada sekedar tebar pesona. Mengapa ?
Pertama, perpustakaan merupakan institusi untuk meningkatkan budaya membaca di kalangan masyarakat. Selama ini gerakan budaya membaca di tanah air bersifat parsial. Tanpa melibatkan keberadaan perpustakaan. Kampanye membaca selama ini lebih terkesan sebagai ajang tebar pesona. Pemerintahan orde baru mencanangkan Hari Kunjung Perpustakaan (14 September 1997), pemerintahan Megawati mencanangkan Gerakan Membaca Nasional (12 November 2003), dan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan Gerakan Pemberdayaan Perpustakaan  di Masyarakat (17 Mei 2006).
Aneka macam kampanye tersebut biasanya hanya akan berhenti sebagai slogan semata karena basis kampanye membaca tidak jelas. Selama ini pemerintah selalu mengatakan bahwa membaca itu penting. Tetapi, pemerintah (pura-pura?) lupa bahwa menyediakan sarana bagi rakyat untuk membaca itu juga penting. Kampanye membaca seringkali dilakukan tanpa melibatkan perpustakaan. Mengembangkan minat baca mestinya harus diartikan dengan mengembangkan perpustakaan terlebih dahulu. Mengapa demikian ? Karena perpustakaan merupakan institusi yang paling memungkinkan untuk mendekati masyarakat dan mengajak mereka untuk mencintai dunia bacaan
            Pendorong bagi bangkitnya minat baca ialah kemampuan membaca, dan pendorong bagi berseminya budaya baca adalah kebiasaan membaca, sedangkan kebiasaan membaca akan terpenuhi dan terpelihara dengan tersedianya bahan bacaan yang baik, menarik, memadai baik jenis, jumlah maupun mutunya (Fuad Hasan, 2001)
Kedua, perpustakaan merupakan bidang pembangunan yang mengalami marginalisasi. Murad Maulana (2008) mengungkapkan bahwa lebih tepatnya kondisi perpustakaan di Indonesia yang termarjinalkan adalah tak lain karena pengasingan dan adanya diskriminatif dari pemerintah pusat maupun daerah sendiri dengan berlanjut ke paradigma masyarakat.
Oleh karenanya segala hal yang berkaitan dengan kegiatan dunia perpustakaan khususnya unsur penggerak yang ada didalamnya maupun rutinitas kegiatan pokoknya, adalah suatu kondite dimana hal tersebut tak terlazimi. Sehingga menyebabkan kegiatan dalam dunia perpustakaan adalah kegiatan yang masih diremehkan. Implikasinya terhadap kegiatan yang dimaksud menjadikan keterasingan  diri pada institusi perpustakaan dan pustakawan dari sederatan faktor lain yang memepengaruhinya, terlebihalliteret danilliteret adalah sebuah tradisi yang masih mengakar pada bangsa Indonesia.
Fuad Hasan (2001) mengungkapkan, berdasarkan data tentang perpustakaan sekolah dan lembaga pendidikan yang lain beserta perpustakaan umum disebutkan sebagai berikut :  (1) Dari 200.000 Sekolah Dasar hanya sekitar 1 (satu) persen yang memiliki perpustakaan standar; (2)  Dari sekitar 70.000 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) baru 34 % yang memiliki perpustakaan standar, (3) Dari sekitar 14.000 Sekolah Menengah Umum hanya sekitar 54 % yang memiliki perpustaakaan standar,    (4)  Dari sekitar 4.000 Perguruan Tinggi hanya kurang lebih 60 % yang mempunyai perpustakaan standar. Sedangkan untuk perpustakaan umum, desa/kelurahan dan kecamatan tidak lebih dari 0,5 % yang memiliki perpustakaan standar . Sedangkan Deputi Pengembangan Perpustakaan Nasional menyebutkan dari 3000 jumlah SD dan SLTP di Indonesia hanya baru 5 % yang memiliki perpustakaan.
Ketiga, perpustakaan merupakan investasi masa depan. Giddens dalam The Third Way (http://shout.indonesianyouthconference.org) merekomendasikan, perpustakaan merupakan syarat mutlak untuk mencapai kemajuan di era global. Untuk mencapai pendidikan yang berkualitas diperlukan perangkat dan pendukung pendidikan yang lengkap dan maju. Lebih jauh lagi kalau perlu dilakukan institutional revolution seperti yang disarankan oleh Illich. Illich meyakinkan bahwa untuk memajukan sumber daya manusia, institusi pendidikan harus membangun profesionalitas. Pencapaian profesionalitas itu diperlukan peran perpustakaan.
Keempat, perpustakaan memerlukan kontinuitas atau keberlanjutan. Hidup dan kehidupan perpustakaan harus terus berjalan mengikuti sang waktu. Perpustakaan harus terus ada untuk memelihara dan meningkatkan budaya membaca masyarakat. Peran CSR perusahaan adalah untuk membantu menjamin keberlangsungan dan keberlanjutan hidup perpustakaan.  Peribahasa Jawa mengatakan “Jer basuki mawa bea”. Untuk mewujudkan sesuatu cita-cita yang besar diperlukan biaya yang besar pula.
D. Program CSR di Bidang Perpustakaan
Menurut data BPS,  hasil final pendaftaran (listing) perusahaan/usaha Sensus Ekonomi (SE06) menunjukkan bahwa jumlah seluruh perusahaan/usaha di luar sektor pertanian tercatat sebanyak 22,7 juta, yang terdiri dari 9,8 juta (43,03 persen) berusaha pada lokasi tidak permanen dan 12,9 juta (56,97 persen) berusaha pada lokasi permanen. Dibandingkan tahun 1996, jumlah perusahaan/usaha meningkat 6,3 juta, atau 3,32 persen per tahun
Berdasarkan skala usaha, sebagian besar perusahaan/usaha merupakan Usaha Mikro (UM) dan Usaha Kecil (UK), dengan persentase masing-masing 83,43 persen dan 15,84 persen. Sedangkan jumlah perusahaan/usaha yang merupakan Usaha Menengah dan Besar (UMB) hanya 166,4 ribu atau tidak lebih dari satu persen terhadap seluruh perusahaan/ usaha. Pulau Jawa mendominasi jumlah perusahaan/usaha sebanyak 14,5 juta (64 persen) diikuti oleh Pulau Sumatera dengan jumlah perusahaan/usaha sebanyak 4,0 juta (18 persen).  (13,26 persen).
Data di atas menunjukkan bahwa ada 166.400 perusahaan menengah dan besar di Indonesia. Sementara itu, di tanah air terdapat 497 kabupaten/kota. Hal ini berarti setiap kabupaten berpeluang besar mendapatkan 334 alokasi CSR dari perusahaan besar dan menengah itu.  Jika lima puluh persen dari jumlah tersebut mengalokasikan CSR di perpustakaan maka perkembangan perpustakaan akan mengalami kemajuan yang luar biasa.
CSR di bidang perpustakaan dapat dialokasikan untuk : pertama, pembangunan gedung perpustakaan. Direktur Pembinaan Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan Nasional, Mudjito, menyatakan saat ini baru 30 persen SD yang memiliki perpustakaan sendiri. Dari total 148 ribu SD yang ada di Tanah Air, baru sekitar 50 ribu SD yang sudah memiliki perpustakaan. Lainnya, belum ada perpusatakaannya (Republika, 4 Juli 2010).
Korporasi dapat mengalokasikan CSR untuk membangun gedung perpustakaan sekolah. Selain itu juga dapat dialokasikan untuk pembangunan gedung perpustakaan kecamatan atau perpustakaan desa. Mengingat saat ini istilah “gedung perpustakaan desa” masih merupakan ilusi. Yang ada hanya ruang sempit tak terpakai di Kantor Kepala Desa/Kelurahan atau “numpang” di rumah salah seorang warga yang merelakan sebagaian ruang rumahnya untuk perpustakaan desa.
 Kedua, pengadaan koleksi perpustakaan. Koleksi perpustakaan adalah semua informasi dalam bentuk karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam dalam berbagai media yang mempunyai nilai. Peran koleksi pada sebuah perpustakaan ibarat nyawa pada tubuh manusia. Keterbatasannya akan membuat sebuah perpustakaan” hidup segan mati tak mau”.
Urgensi pengadaan bahan pustaka bagi sebuah perpustakaan adalah untuk menjaga kesegaran koleksi bahan pustaka. Hal ini penting guna memelihara dan meningkatkan minat baca masyarakat. Ibarat kolam ikan, jika tidak pernah mengalami penambahan air bersih tentu akan menjadi keruh. Begitu pula dengan suatu perpustakaan. Jika tidak pernah mengadakan pembelian bahan pustaka yang baru tentu akan menjadikan pengguna bosan dengan koleksi yang ada.
            Semakin sering dan semakin banyak dalam pengadaan bahan pustaka akan membuat perpustakaan semakin disayang oleh penggunanya. Sebaliknya perpustakaan yang tidak pernah memperbarui  koleksinya tentu akan ditinggalkan oleh pengguna.
            Ironisnya, pengadaan koleksi pada sebuah perpustakaan terkadang jarang dilakukan. Terutama untuk perpustakaan sekolah, perpustakaan kecamatan, perpustakaan desa, dan juga perpustakaan instansi. Survei penulis terhadap 40 Perpustakaan SD di Kabupaten Sragen menunjukkan bahwa 36 perpustakaan (90 %) belum mengadakan pengadaan buku perpustakaan secara rutin. Sementara itu 2 perpustakaan (10 %)  melakukan pengadaan koleksi setiap tahun dan 2 perpustakaan (10 %) melakukan pengadaan koleksi setiap tahun.
            Padahal Undang-Undang Perpustakaan Nomor 43 Tahun 2007, pasal 23  ayat 6 telah mengamanahkan bahwa sekolah/madrasah mengalokasikan dana paling sedikit 5% dari anggaran belanja operasional sekolah/madrasah atau belanja barang di luar belanja pegawai dan belanja modal untuk pengembangan perpustakaan.
            Peran CSR dalam pengadaan koleksi adalah memberikan jaminan bahwa proses pengadaan koleksi untuk sebuah perpustakaan bisa terus berlanjut setiap tahun.

            Ketiga, layanan  perpustakaan. Layanan merupakan kunci sukses sebuah perpustakaan untuk meningkatkan budaya membaca masyarakat. Ironisnya, pemerintah telah menjatuhkan vonis bahwa budaya membaca masyarakat rendah. Padahal akar permasalahannya terletak pada kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat untuk mengakses buku dengan cara yang murah dan mudah. Kalau masyarakat disuruh membaca mestinya pemerintah konsekuen dengan membangun perpustakaan sebaik-baiknya dan sebanyak-banyaknya.
            Realitas menunjukkan bahwa kemampuan pemerintah untuk membangun perpustakaan sebaik-baiknya dan sebanyak-banyaknya  sangat terbatas dan sengaja dibatasi. CSR dapat dialokasikan untuk melayani masyarakat di daerah terpencil dan pedalaman sebenarnya juga haus informasi.
             Betapa indahnya, jika di mana berdiri sebuah perusahaan besar di daerah terpencil, berdiri pula sebuah perpustakaan yang didanai penuh oleh perusahaan itu sendiri sebagai wujud darma bakti kepada masyarakat sekitar. Perpustakaan ini dapat dikelola oleh  seratus persen oleh perusahaan sendiri atau bekerja sama dengan perpustakaan umum kabupaten/kota.
            Alternatif lain adalah dengan mengalokasikan CSR untuk mengadakan layanan perpustakaan keliling baik dengan mobil, motor, kapal, perahu, maupun pesawat. Sampai saat ini Perpustakaan Nasional baru mendirikan sekitar 250 perpustakaan keliling bagi daerah-daerah di seluruh Indonesia sejak 2003 hingga 2009. Kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan sangat membutuhkan peran aktif perpustakaan keliling.  Perpustakaan keliling ini selain sebagai sarana untuk membangkitkan hasrat membaca masyarakat juga merupakan sarana promosi ampuh bagi perusahaan.
            Perusahaan yang turut berpartisipasi dalam layanan perpustakaan keliling tentu akan memperoleh simpati dan empati dari konsumen dan masyarakat luas. Menurut penulis, perusahaan penerbitan buku sangat berpeluang untuk memiliki unit layanan perpustakaan keliling sendiri yang dikelola seratus persen oleh penerbitan itu sendiri. Seperti yang telah dilakukan oleh penerbit Galang Press Yogyakarta. Mobil unit perpustakaan keliling milik penerbit ini setiap hari berlalulalang menyusuri gang-gang sempit di Yogyakarta.
Keempat, pendidikan dan pelatihan kepustakawanan. Selain koleksi, kualitas sebuah perpustakaan sangat ditentukan oleh sumber daya manusia yang ada. Kualitas sumber daya manusia (SDM) yang baik akan mampu menggerakkan sumber daya lainnya. Sebaliknya, sebaik apapun sarana dan prasarana yang ada disebuah perpustakaan tanpa dukungan SDM yang memadai hanya  akan menghasilkan kesia-siaan belaka.
Penulis masih ingat dengan sebuah berita di salah satu televisi swasta beberapa tahun lalu. Ada salah satu pemerintah kabupaten/kota di luar Jawa yang membangun gedung perpustakaan yang sangat megah. Namun, gedung megah ini “mangkrak” karena tidak segera dimanfaatkan untuk kegiatan perpustakaan.
Temuan penulis di lapangan ketika melakukan kegiatan monitoring perpustakaan sekolah di Kabupaten Sragen juga ada sebuah perpustakaan yang sudah memiliki gedung, buku, komputer, dan sarana-prasarana yang memadai tetapi relatif tidak berkembang. Mengapa ? Karena tidak ada SDM yang memahami seluk-beluk pengelolaan perpustakaan yang baik.
Selain itu, jumlah pustakawan yang masih langka di tanah air merupakan indikator bahwa kualitas SDM di perpustakaan masih memprihatinkan. Menurut data Pusat Pengembangan Pustakawan, Perpustakaan Nasional RI (Januari 2007) jumlah pustakawan di tanah air sebanyak 2.929 orang, dengan rincian jumlah pustakawan terampil sebanyak 1917 orang atau sebesar 65,45 % yang terdiri dari pustakawan pelaksana 15,47 %, pustakawan pelaksana lanjutan 31,21 % dan pustakawan penyelia 18,78 %; dan pustakawan ahli sebanyak 1012 orang atau sebesar 34,55 % yang terdiri dari Pustakawan Pertama sebanyak 10,04 %, Pustakawan Muda sebanyak 16,01 %, Pustakawan Madya sebanyak 8,09 %, dan Pustakawan Utama 0,41 %.
Dan jika dilihat dari aspek pendidikan sebagian besar pejabat pustakawan adalah berpendidikan sarjana yaitu sebanyak 998 orang (34,07 %), diikuti oleh yang berpendidikan SLTA yaitu sebanyak 962 orang (32,84%), kemudian yang berpendidikan Diploma dan Sarjana Muda sebanyak 836 orang (28,54 %). Sedangkan yang berpendidikan S2 hanya sebesar 4,54 %.
Kegiatan pendidikan dan pelatihan (diklat) untuk pengelola perpustakaan sekolah, perpustakaan desa, dan perpustakaan masyarakat memerlukan biaya yang tidak sedikit. Hal ini merupakan peluang bagi perusahaan untuk mengalokasikan CSR untuk kegiatan yang berguna untuk meningkatkan kualitas SDM di perpustakaan.
Kelima, pemberdayaan, penelitian, dan pengembangan perpustakaan. Selama ini kegiatan olah raga terutama sepak bola menjadi arena yang menarik bagi kalangan korporasi untuk mempromosikan produknya. Pagelaran akbar Liga Super Indonesia selalu mendapat dukungan penuh dari perusahaan besar di tanah air. Hal ini tentu merupakan suatu hal yang patut kita syukuri karena menunjukkan kepedulian korporasi pada kemajuan dunia olah raga di tanah air.
 Dunia perpustakaan sebenarnya juga tak kalah penting daripada dunia olah raga. Olah raga menjaga kesehatan jasmani, sedangkan perpustakaan menjaga kesehatan ruhaninya.  Korporasi harus berpartipasi aktif dalam memberdayakan perpustakaan sebagai salah satu bentuk kepedulian kepada masyarakat dan stakeholder-nya.
Korporasi dapat menjadi sponsor dalam penelitian dan pengembangan perpustakaan. Mengkaji dan meneliti permasalahan struktural dan kultural  dunia perpustakaan memerlukan biaya yang tidak sedikit. Selama ini penelitian di bidang perpustakaan masih sangat jarang. Selain faktor biaya, juga masih minimnya kualitas pustakawan di perpustakaan.
Hibah penelitian dari Perpustakaan Nasional RI hanya diperuntukkan bagi pustakawan plat merah (memiliki SK Menpan). Padahal saat ini eksistensi perpustakaan di tanah air justru banyak didukung oleh kiprah para pustakawan “de facto” bukan “de jure”. Artinya, mereka telah rela melakukan tugas dan aktivitas kepustakawanan meskipun mereka bukan pemilik SK Menpan. Sementara itu, para pemilik SK Menpan terkadang terlalu sibuk berkutat pada pencapaian angka kredit semata bukan pada pengembangan dunia kepustakawanan Indonesia.
E. Peran Perpustakaan Nasional RI
            CSR sesungguhnya merupakan energi alternatif untuk memberdayakan dan mengembangkan dunia perpustakaan di tanah air. Perpustakaan Nasional RI mesti menjadi fasilitator untuk mewujudkan hal ini. Artinya, Perpustakaan Nasional RI harus menjadi jembatan penghubung antara dunia korporasi dan dunia perpustakaan yang terbentang dari Sabang sampai dengan Merauke.
            Untuk itu Perpustakaan Nasional RI harus melakukan, pertama, pemetaan perpustakaan. Pemetaan perpustakaan penting untuk dilakukan guna mewujudkan data sasaran perpustakaan yang paling memerlukan dana CSR. Skala prioritas harus diberikan kepada daerah tertinggal yang lokasinya paling dekat dengan korporasi yang akan memberikan bantuan CSR.
            Perusahaan multinasional seperti Freeport, misalnya, tentu akan lebih tepat memberdayakan perpustakaan di tanah Papua daripada di Pulau Jawa. Dalam hal ini, Perpustakaan Nasional RI berperan sebagai konsultan yang menentukan daerah mana yang akan dibantu, jenis bantuan apa yang lebih tepat untuk diberikan, dan dengan pola bagaimana sebuah bantuan CSR dapat menghasilkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemajuan dunia perpustakaan di daerah.
            Kedua, pemetaan korporasi/perusahaan. Tidak semua perusahaan akan dengan sukarela mengalokasikan CSR di perpustakaan. Perpustakaan Nasional perlu mengadakan pendekatan dengan dunia korporasi dengan satu pesan bahwa tidak akan ada ruginya jika sebuah perusahaan mengalokasikan CSR untuk pemberdayaan perpustakaan. Bahkan hal ini akan menaikkan citra perusahaan di mata masyarakat.
            Pola pendekatan kepada perusahaan besar, menengah, dan kecil tentu tidak sama. Untuk perusahaan skala menengah dan kecil dapat menganut pola gotong royong dalam mengentaskan sebuah perpustakaan yang ada di sekitar lokasi perusahaan. Jika satu perusahaan skala besar mungkin mampu mengentaskan dua unit perpustakaan, maka dua perusahaan skala menengah mungkin mampu mengentaskan satu unit perpustakaan dari jurang penderitaan. Bahkan tidak menutup kemungkinan sepuluh perusahaan skala kecil akan mampu melahirkan sebuah perpustakaan yang berkualitas.
            Ketiga, menjalin komunikasi yang efektif dengan perpustakaan di daerah. Komunikasi yang efektif dengan Perpustakaan Umum Provinsi dan Perpustakaan Umum Kabupaten/Kota mutlak dilakukan baik untuk melakukan pemetaan sasaran maupun pemetaan perusahaan yang ada di masing-masing daerah.
            Jika ketiga peran ini mampu diemban oleh Perpustakaan Nasional RI dengan baik, maka CSR sebagai energi alternatif bagi pemberdayaan perpustakaan bukanlah mimpi !
F. Kesimpulan
Corporate Social Responsibility (CSR)  adalah suatu konsep bahwa perusahaan memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan. Perpustakaan merupakan arena yang tepat bagi perusahaan untuk mengalokasikan dana CSR yang dimilikinya. Mengingat perpustakaan merupakan sarana untuk mewujudkan masyarakat cerdas yang gemar membaca. Sehingga CSR di perpustakaan jelas merupakan ajang bagi perusahaan untuk melakukan tebar karya daripada sekedar tebar pesona.
CSR merupakan energi alternatif untuk memberdayakan perpustakaan di tanah air guna melengkapi sumber dana yang telah ada. Untuk itu, program CSR untuk perpustakaan memerlukan dukungan kalangan dunia usaha, pemerintah pusat, pemerintah daerah, LSM, dan masyarakat. Perpustakaan Nasional RI sebagai kepanjangan tangan pemerinta pusat harus menjadi aktor utama untuk mensukseskan program ini. Peran Perpustakaan Nasional RI adalah menjadi jembatan antara kepentingan perusahaan dan kepentingan dunia perpustakaan dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang berbudaya membaca.
           

Bibliografi
Maulana, Murad. 2008. Perpustakaan di Negeriku : Sebuah Refleksi Diaspora. www.scribd.com
Suharto, Edi. 2008. Menggagas Standar Audit Program CSR.
www.pnri.go.id


* Romi Febriyanto Saputro, S. IP, adalah Kasi Binalitbang  pada Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen JL. Pemuda No. 1 SRAGEN 57214 . Tinggal  di Kampung Teguhan RT 09 RW 03 No. 34 SRAGEN 57214 HP. 081226094811. No. Rek. BCA Cab. Sragen 077 036 1451
**Tulisan ini telah dqimuat di Majalah Buletin Pustakawan Edisi 3 Tahun 2010/ September - Desember 2010

0 komentar:

Posting Komentar