Dalam situasi ekonomi dunia yang penuh ketidakpastian berkepanjangan, semestinya setiap negara berkepentingan mengurangi jumlah variabelvariabel liar ekonomi.
Salah satu variabel itu adalah kurs atau nilai tukar mata uang nasional terhadap mata uang asing, khususnya terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang masih berjaya sebagai mata uang dunia. Dalam ilmu ekonomi, khususnya perdagangan dan keuangan internasional, dikenal nilai tukar tetap (fixed exchange rate) dan nilai tukar mengambang (floating).
Kedua sistem nilai tukar ini mempunyai modifikasinya masing-masing. Misalnya ada currency board arrangement, ada pula kurs tetap, tetapi dengan band (naik-turun) yang terbatas. Indonesia mempunyai cukup banyak pengalaman dengan rezim nilai tukar rupiah.
Pernah menjalankan kurs tetap, kurs tetap dengan bandyang sedikit demi sedikit dilonggarkan, dan kurs mengambang penuh seperti sekarang ini. Secara teoretis, kurs mengambang penuh artinya sepenuhnya diserahkan pada mekanisme atau kekuatan pasar. Tetapi dalam praktiknya bank sentral diam-diam atau terangterangan sering campur tangan untuk menjinakkan kurs.
Intervensi ini sering gagal meski dengan biaya yang mahal.Selain itu, dalam beberapa kejadian,intervensi bank sentral ini justru merangsang para spekulan di pasar uang untuk lebih giat bermain. Setiap sistem nilai tukar tentu mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Persoalannya adalah mana yang lebih cocok untuk dipilih pada waktu (periode) tertentu dan wilayah (negara) tertentu.
Bagi negeri dengan skala ekonomi internasional yang relatif kecil seperti Indonesia, dalam ekonomi perdagangan dunia yang penuh uncertainty ini, kurs tetap merupakan pilihan yang lebih tepat atau layak dipertimbangkan mengingat hal-hal sebagai berikut. Pertama, kurs tetap lebih memberi kepastian dalam kalkulasi harga/cost bagi eksportir dan importir. Kedua, memudahkan penyusunan APBN,khususnya pos-pos anggaran yang berkaitan dengan valuta asing seperti penerimaan migas dan pembayaran utang luar negeri berikut bunganya.
Ketiga, tidak dipusingkan dengan naik turunnya nilai tukar rupiah yang dapat mengganggu ekonomi pada umumnya dan ekspor-impor serta inflasi pada khususnya. Kita juga sering melihat fluktuasi berbagai mata uang dunia yang sebenarnya sulit dibaca atau dijelaskan alasannya secara ekonomis.
Dengan perkataan lain, fluktuasi kurs yang tidak beralasan itu lebih mencerminkan kekuatan spekulan pasar yang berburu keuntungan dengan menggonjang-ganjingkan kurs. Keempat, mengurangi hasrat spekulasi di pasar valas karena setiap penukaran rupiah ke mata uang asing vice-versa terkena komisi penukaran,sementara kursnya tetap. Kelima, mengembalikan fungsi utama uang sebagai alat pembayaran dan penyimpanan kekayaan, bukan sebagai barang dagangan.
Keenam, dengan rezim kurs tetap diharapkan para pemilik uang terdorong menggunakan uangnya untuk diinvestasikan di sektor riil—bukan untuk spekulasi valas—agar bisa menyerap tenaga kerja. Ketujuh, stabilitas kurs mata uang juga bisa mengurangi permainan pressure group atau politisasi atas fluktuasi rupiah dari kekuatan dalam negeri maupun luar negeri.
Dalam era globalisasi ini, rezim fixed exchange rate akan lebih mencapai sasaran stabilitasnya bila diikuti oleh sebanyak mungkin negara. Meski secara teoretis mudah dikatakan, tidak berarti kebijakan kurs tetap tidak berisiko seperti terjadinya devaluasi. Karena itu apabila dipilih kebijakan kurs tetap, harus didukung dengan paket kebijakan pengamanannya. Misalnya, setiap hasil ekspor harus disimpan di dalam negeri dan importir dijamin keperluan valasnya.
Tetapi dalam keadaan ekonomi yang serbaliar seperti sekarang, tampaknya kurs mengambang jauh lebih mahal dan besar risikonya seperti yang kita alami selama ini. Malaysia dengan kebijakan kurs tetapnya terbukti lebih berhasil atau sekurang-kurangnya lebih selamat ekonominya daripada Indonesia.
Walaupun pemilihan rezim fixed exchange rate itu sesuatu yang amat biasa dan merupakan kedaulatan ekonomi suatu negara, tetapi khusus untuk Indonesia bisa menjadi luar biasa karena banyaknya pihak yang berkepentingan dengan Indonesia, baik secara politik maupun ekonomi.Artinya, pada tahap awal ide kembali ke kebijakan fixed exchange rate di Indonesia dapat diduga akan memperoleh tantangan keras seperti yang pernah dialami Malaysia.
Lebih-lebih Indonesia merupakan negara yang sarat dengan utang luar negeri, dan percaya atau tidak dalam sebelas tahun terakhir ini kebijakan pokok ekonominya diatur dari Washington DC. Nah, siapa sebenarnya pemegang kedaulatan ekonomi Indonesia?(*)
DR Fuad Bawazier
Mantan Menkeu/ Ketua DPP Hanura
Sumber, Sindo, 19 Desember 2008
19 Desember 2008
Kembali ke Konsep Kurs Tetap
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar