CAPUNG
Dua pasang sayapmu mengurai sungai dan
langit. Tanah-tanah pertanian biru dikepung matahari membawa kisah
bukit, ladang, dan sawah.
Gumpal cahaya di kepalamu, membakar
seratus musim di tungku mata fasetmu, bayang-bayang kegagalan dan
bangkai predator liar di pintu sore. Malai rumputan berterbangan dari
jemari angin merah di hamparan rumpun padi menerbitkan bulan kuning.
Gemetar
tubuhmu, di antara tikaman suara pekak dan kemacetan di simpang kota,
igau gunung dan punggung sawah yang rebah di pematang malam. Kau menari
di bawah remang menggetar ruangan.
Getar musik dan gesek selaputmu
yang tipis mengurai petang, nada hitam dan kelam. Televisi menyemai
kebun dan hutan, sungai-sungai dan kisah bebatu. Gemuruh traktor, mesin
giling, dan aroma insektisida menyesaki panorama
SEPASANG SEPATU, KISAH HUJAN DAN PLASTIK HITAM
Suara gaduh menggebuki atap rumah
Suara pecah melukai tanah
Jalanan
hitam dengan genangan coklat melarutkan kisah bukit kurus dan tanah
kusut. Anak-anak padi menggigil dalam kubangan ketakutan yang bertumbuh
di ketiak hujan. Angin kencang dari utara menyusuri pematang di antara
barisan pohon menahan tumbang.
Sepasang mata mengintip dari balik
plastik hitam, menatapi hujan dan kota yang cuil dipenuhi grafiti
pornografi, jarum suntik, wajah bengkok menahan maut. Taman hijau yang
gaduh, menyimpan resah di seberang kubah dan menara menjunjung langit
sore.
Mata hujan berjatuhan mengintai setiap celah kota memasuki
gorong-gorong, mendatangi gang dan perkampungan. Salam malam dari baliho
yang mengangkang membelah jalan protokol sambil nyengir memamerkan gigi
sepasang remaja yang tengah menertawai kota yang terus berbenah.
Meringkasi sawah dan ladang jadi kampung batu yang kelabu. Propaganda
memenuhi udara dengan gerutu suara hujan yang beku.
2013
Jantung Hujan
Hujan pulang meninggalkan kenangan menuruni matamu. Mata kawah biru di antara gemunung pagi yang beludru. Kita makan
bersama di sebuah meja dibakar matahari. Cincang resah dan sebaskom
tangis dimasak di atas tungku dipenuhi bara rindu. Didihan kata meluap
hanya terucap dalam kilatan matamu menundukkan hutan-hutan dungu. Kau
hanya bisa menguraikan pagi yang rebah di pojok waktu yang beku.
Sungai-sungai
bersahutan dari balik jantung yang berdenyut. Debar malam yang pernah
kita tangkap di belukar sunyi mengitari ujung jam yang berderit. Hanya
angin terdengar berucap dari lubang tubuhmu. Lubang yang menyimpan
binatang melata, menyusuri lembab udara ke liang-liang hari. Gunung kata
diam di bawah ambang, hanya gerak gemawan menggiring kita dalam gerimis
yang akan jelang.
Kita bernaung di tepian pematang di bawah pohon
yang pernah kita tanam. Pohon kesetiaan yang terus mengakar dan menjalar
ke tebing-tebing lembah. Bercabang-cabang ke ruang darah. Kau siramkan
seteguk airmatamu mengusap rindu yang beredebu di pipi waktu. Hujan
menderas dalam jantungku membanjiri pembuluh dengan gemeretak tubuh
menanggung peluh.
2013
Mata Kaki
Pejalan
dengan sebuntal kesal bergelayut di punggung malam. Menyusuri jalan
gugup dan waktu yang bertekuk. Di telapaknya kota-kota diluruhkan
dengan sepasang roti coklat, dan kilau pisau menyerahkan diri. Lelaki
itu datang lagi dengan mulut berbusa dimabuk lima gelas tuak jalanan
yang diminumnya dipasar malam. Matanya miring menikam kota yang juling.
“Aku
telah merubuhkan pilar kota”, teriaknya setengah serak. Di tangannya
sebilah sangkur mengarah ke jantungnya. Nyanyian malam mendengkur di
antara teriakan televisi, radio FM, dan baliho yang memenuhi jalanan.
Lampu-lampu merah, bunga-bunga merekah dengan aroma kencing menguap
dari kantung taman.
Pejalan itu menuju ujung, suara kaki terseret
di atas aspal kelam. Ia mengigau lagu gila yang tak dimengerti semua. Ia
menari gila yang tak dipahami semua. Ia meringkuk kelehanan di ujung
mata kakinya yang hitam. Di atas dua belas, jam malam.
2013
MAKAN MALAM
Ekor
itu mencari tubuhnya menyelam dalam kubangan laut mendidih. Aroma
kebun dan belukar berletikan. Gurih irisan daging mengembang meresap ke
dalam tulang menusuk rasa lapar yang terkulai di dada piring bermotif
garis melingkar. Garis nasib yang hijau dan biru dikelilingi harapan
merah di sekujur bibir.
Saus tomat melumuri tubuhmu. Tubuh yang
terpotong dan terbagi bercecer darah pengorbanan laut yang gamang. Di
daging paling dalam rusuk perahu bercuatan menusuk mata;lukamata laut
serta. Kilang kuning menghunjam dalam ke dasar pasir perasaan yang
teriris.besi-besi bersilangan garpu yang menusuk dada dan jangkar
dilempar. Santos, Maleo, Kangean, Tanjung Bumi, Camplong, Mandangin,
Saronggi…..tabuh ombak menelentang malam
2013
WC
di
sebuah terowongan panjang, riwayat dimulai. orang-orang berjatuhan dari
sebuah metabolisme tubuh di antara bising mesin dan gelegak ombak
menghubungkan antara lapar dan kenyataan, kenyang dan bebusukan.
jembatan yang mengular antara harapan dan kekalahan tempat meniti
ketidakpastian tanah. di bawah jongkokan, tubuh itu nyemplung
meninggalkan bunyi dan dengung tanah jauh
lapak-lapak biru
menggelar haru di sepanjang jalan ke gerbang madu. aku lukis laki-laki
memakai udeng memainkan layang-layang tanpa kekang di belang langit
harapan. sejenak mereka berpose di depan pintu. batik nasib yang merah
pucat dipanggang matahari naas. ornamen daun dan bunga, sulurnya
membelit pikiran, menjalari lapak-lapak kusam, dengan warna hitam
bayang-bayang.
papan-papan reklame mengangkang di atas jalan
menjatuhkan kotoran ke atas para pejalan. papan yang saling menusuk mata
di antara geliat lapak yang kian sekarat. tulisan selamat datang
bersebalik dengan selamat jalan di antara papan-papan muram dengan
tulisan besar-kasar tak beraturan menawarkan tempat buang air besar.
metabolisme pulau yang resah, semerbak bau merebak antara bumbu dan basi
ketumbu di pangkal paha, sebelum kelamin laut menyambut dengan gerai
rambutnya yang tak pernah surut, dan ikan sura berlompatan memamerkan
sirip bergambar gedung-gedung, dan perempuan timbul-tenggelam menyalakan
lampu petang
yang memilukan.
2012
SRINTIL*
tegal
dan bukit, hutan dan sumur yang selalu meumbuhkan cemburu di pematang
lehermu. menuju hutan belantara tempat menggembala para penindas dan
pendoa. adalah batu dan tembikar yang membuat wajah menjadi keras dan
laki-laki menjadi pemimpi di ujung taji yang mengarah ke dahi. Senyum
matahari merebahkan barisan pohon jati dan rerimbunan bunga tembelek.
adalah malam yang selalu melayari bulan merenangi cahaya perak yang
berjatuhan dari keringatmu.
darah hitam para leluhur yang kebal mati
dan kutukan. hanya bibir merahmu bersilang telah mencabangkan jalan ke
kampung, ke tanah lapang tempat anak-anakbermain layang-layang dan
talikekang. tapi di kota jauh dan dusun yang teduh matamu terbenam
menenggelamkan sisa malam dan kegilaan, menidurkan anak-anak zaman yang
kehilangan.
yang terbakar adalah rambut merahmu menerangi malam dan
hutan. suara derap langkah dan lelaki dengan mata juling mengintai dari
lubang tubuhmu yang beribu pintu.angin lapar dan kemiskinan berebahan
di antara reranting belukar yang rakus merimbuni dadamu.Dada waktu yang
terus terburu. masih kau ingat ketika lelaki itu menitipkan pohon dan
sungai tetapi juga parang yang terkalung di leher. Tarian api, tarian
malam, dan gelepar ngeri selalu bertumbuhan di penghujung dini saat-saat
lelap menyelami sungai bintang.
matamu berasap, seperti mata nyonya
yang tengah mabuk di rak belanja. mata yang mengusung troli di sebuah
mall dan mata yang tengah mengukur hamparan tanah pertanian yang tengah
memasuki masa tanam. musim pun beralih tetapi benang nasib yang basah
selalu merambat ke kain kehidupan. kain yang dibatik dengan sulur ubi
dan bunga kantil, molusca laut dan burung hong. mewarnai matamu yang
berdarah.
2012
*salah seorang tokoh dalam trilogi novel “Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari.
Sumber : Kompas, 25 April 2013
25 April 2013
Puisi-puisi Hidayat Raharja
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar