Judul: Sila ke-6, Kreatif Sampai Mati
Penulis: Wahyu Aditya
Penerbit: Bentang Pustaka Yogyakarta
Cetakan: II/ Februari 2013
Tebal: xvii + 302 halaman
ISBN: 978-602-8811-99-6
Harga: Rp59.000
Masih
ingatkah Anda pada kasus Prita Mulyasari? Ia seorang ibu rumah tangga
di Tangerang yang digugat oleh sebuah Rumah Sakit Internasional. Saat
itu, banyak masyarakat merasa gerah menyaksikan ketidakadilan yang
menimpa Prita. Ia harus membayar ganti rugi sebesar Rp204 juta hanya
karena sebuah surat elektronik yang memuat komplain terkait perawatan di
rumah sakit tersebut. Prita dituntut dengan pasal pencemaran nama baik.
Dalam
waktu relatif singkat, jutaan masyarakat Indonesia berinisiatif
menggalang dana dengan mengumpulkan koin untuk membayar ganti rugi
tersebut. Wahyu Aditya pun tergerak berpartisipasi sesuai kompetensinya.
Seniman desain dan aktivis animasi ini membuat logo perlawanan. Proses
produksi desain Free Prita! hanya memakan waktu 2 jam. Tak ada yang
menyuruhnya, sekadar respon spontan terhadap sebuah fenomena sosial.
Lantas,
Pendiri HelloMotion Academy yang sejak 2004 telah meluluskan 2.000
siswa tersebut menyebarkannya lewat blog, Facebook, dan forum-forum on
line populer seperti Kaskus. Harapannya sederhana saja, agar banyak
orang menggunakan gambar grafis tersebut di avatar atau profile picture
mereka sebagai salah satu bentuk dukungan terhadap Prita.
Beberapa
hari kemudian, paska penulis merilis logo tersebut, para panitia yang
sedang menggalang dana untuk Prita menjadikannya sebagai logo resmi. Pun
logo yang notabene dibuat secara spontan tersebut juga dipakai untuk
kampanye penggalangan dukungan lewat T-shirt, stiker, banner, backdrop,
press conference, hingga poster konser amal. Lihat dokumentasinya di
halaman 66. Pemenang Best Short Movie dalam JiFfest 2004 itu merasa
bangga karena menjadi bagian dari gerakan penggalangan dana yang
fenomenal. Tak tanggung-tanggung total uang yang terkumpul Rp650 juta
lebih! Selain itu, akhirnya Prita juga bebas. “Senang rasanya ketika
karya kita bermanfaat untuk banyak orang,” ujarnya (halaman 67).
Sistematika
buku “Sila ke-6, Kreatif Sampai Mati” terdiri atas 17 butir pencerahan
untuk menemukan sumber kreativitas dalam diri. Antara lain berjudul,
“Lakukan Hal Spontan,” “Rangkul Keterbatasan,” “Mampu Mengurai,”
“Fleksibel Saja,” dll. Pemenang Wirausaha Muda Mandiri 2008 ini memang
sengaja mendesain buku ini agar bisa dibaca tanpa harus dirunut dari
awal sampai akhir. Pembaca dapat menikmatinya secara acak (random).
Selain itu, jika pembaca bosan dengan cover depan yang asli, kita bisa
menggambar desain sampul sendiri setelah diputar dan dilipat. Kreatif
bukan?
Juara Dunia British Council – International Young Creative
Entrepreneur 2007 ini juga mendirikan Kementerian Desain Republik
Indonesia (KDRI) (belum/tidak sah) pada Agustus 2006 silam. Visi
kementerian ini untuk menyebarkan semangat Indonesia ke dunia melalui
kekuatan visual! Sasaran propaganda ialah anak muda dan siapa saja yang
berjiwa muda. Caranya dengan membentuk komunitas berjiwa militan bernama
Gembolers. Kenapa disebut demikian? Karena Menteri KDRI ialah Mas
Gembol (halaman 236).
Mas Gembol hobi sekali mendesain ulang
visual produk pemerintahan Indonesia yang dianggap kaku, monoton, dan
nggak asyik. Saat ini, KDRI beranggotakan puluhan ribu orang Gembolers
yang aktif berinteraksi lewat dunia maya. Ciri khas mereka sangat
“Gembol sekali”. Dalam pengertian berpikiran terbuka, tidak anarkis,
kreatif, dan tentunya cinta Indonesia. Pada halaman 245 termaktub salah
satu logo hasil kreasi mereka, ‘Kenali, Cintai Indonesia!” Ibarat kata
pepatah, “Bagaimana mau sayang kalau belum kenal?”
Dalam pelbagai
seminar, penulis sering mendengar curhatan peserta. Banyak anak muda
yang dipaksa oleh orang tua mereka untuk menjadi PNS. Bahkan ada yang
sampai diancam tidak boleh pulang kalau tak mau menuruti. Menurut Wahyu
Aditya, profesi PNS tidaklah jelek, malah merupakan pekerjaan mulia.
Karena tugasnya melayani masyarakat dan berbhakti pada negara. Kendati
demikian, para pemikir tua juga harus menyadari bahwa dunia terus
berubah. Jenis profesi baru di abad ke-21 ini bermunculan ibarat jamur
di musim hujan.
Misalnya Ligwina Hananto, ibu 3 anak ini bekerja
sebagai Perencana Keuangan Independen. Ia lebih banyak mengurusi
keuangan sebuah keluarga. Suaranya ceplas-ceplos, celetukannya jujur,
sehingga membuat pendengarnya sadar diri, terutama terkait masalah
finasial. Visinya sederhana tapi mulia, Mbak Ligwina mau menciptakan
keluarga kelas menengah yang melek finasial, memiliki keuangan yang
terencana - mulai dari dana pendidikan, dana pensiun, lancarnya
pembayaran utang hingga paham investasi. Tesisnya pun unik, semakin
banyak kelas menengah yang kuat niscaya Indonesia kian makmur (halaman
272).
Buku setebal 302 halaman ini menyadarkan bahwa kreativitas
itu lintas batas. Mulai dari ranah sosial kemasyarakatan sampai
finansial an sich. Layak dibaca oleh setiap orang yang mau jadi lebih
kreatif. Menyitir pendapat Fadly Padi, “Kreativitas adalah salah satu
bentuk kemerdekaan dalam berimaginasi. Kreativitas itulah yang mencetak
orang-orang besar!” Selamat membaca dan salam kreatif! (T. Nugroho
Angkasa S.Pd, Guru Bahasa Inggris di PKBM Angon (Sekolah Alam), Ekskul
English Club di SMP Kanisius Sleman dan TK Mata Air Yogyakarta)
Sumber : Kompas, 24 April 2013
24 April 2013
Kreativitas Itu Lintas Batas
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar