Cerpen Dodiek Adyttya Dwiwanto
“Hidup Tuan Presiden.”
“Hidup Paduka Yang Mulia.”
“Hidup Sang Penyelamat Bangsa.”
“Hidup Bapak Pembangunan Bangsa.”
“Hidup Penyambung Lidah Wong Cilik.”
Teriakan
mendukung Paduka Yang Mulia Tuan Presiden terus diteriakkan para
pendukung setianya (katanya sih setia). Sedianya Tuan Presiden akan
berkampanye untuk mencalonkan diri (lagi) sebagai presiden dalam
pemilihan umum yang akan datang.
Katanya untuk melanjutkan program
pembangunan yang telah dijalankan. Katanya ingin mengentaskan
kemiskinan, padahal yang harus dientaskan seharusnya adalah orang-orang
miskin bukan kemiskinan. Katanya ingin mengantarkan negara tinggal
landas atau malah tinggal kandas dalam menghadapi era persaingan bebas.
Wuih, ngeri kan?
Juga tentunya melanjutkan program memperkaya
keuangan pribadi. Memperkaya pundi-pundi tabungan keluarga, sahabat,
kerabat, kolega dan semua orang yang mau menjilat Paduka Yang Mulia Tuan
Presiden.
Panggung dan mimbar untuk berkampanye pun telah
disediakan. Luasnya mencapai 10 meter kali 20 meter. Panggung luas
untuk menggambarkan kemegahan, kejayaan dan kedigdayaan Paduka Yang
Mulia Tuan Presiden. Sound system sengaja dipesan dari luar
negeri supaya saat Paduka Yang Mulia Tuan Presiden bisa berpidato dan
mengumbar-umbar janji membuai rakyat dengan megahnya. Ya kalau bisa
mirip konser Rolling Stone atau U 2 yang selalu menggelegar.
“Hidup Tuan Presiden.”
“Hidup Paduka Yang Mulia.”
“Hidup Sang Penyelamat Bangsa.”
“Hidup Bapak Pembangunan Bangsa.”
“Hidup Penyambung Lidah Wong Cilik.”
Kata-kata
itu masih diteriakkan massa yang menunggu kedatangan pemimpin sejati
mereka. Pemimpin sejati yang benar-benar mereka dambakan selama ini.
Pemimpin yang (katanya) mengerti tentang keadaan nasib para orang kecil
yang tertindas dan terpinggirkan. Pemimpin yang (katanya) bakal membawa
bangsa ini untuk menjadi bangsa yang besar dan bermartabat. Pemimpin
yang (katanya) dipilih dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat.
“Hidup Tuan Presiden.”
“Hidup Paduka Yang Mulia.”
“Hidup Sang Penyelamat Bangsa.”
“Hidup Bapak Pembangunan Bangsa.”
“Hidup Penyambung Lidah Wong Cilik.”
Massa
masih saja berteriak meski panas matahari memanggang mereka.
Kerongkongan yang kering tak menghalangi niat untuk menghadiri acara
ini, mendengarkan pidato kampanye Tuan Presiden. Bermandikan keringat,
orang-orang masih meneriakkan dukungan buat Tuan Presiden, masih
mengibarkan bendera-bendera partai, masih membawa spanduk-spanduk, masih
memakai atribut partai.
“Hidup Tuan Presiden.”
“Hidup Paduka Yang Mulia.”
“Hidup Sang Penyelamat Bangsa.”
“Hidup Bapak Pembangunan Bangsa.”
“Hidup Penyambung Lidah Wong Cilik.”
Menjelang
tengah hari, diberitahukan kalau Tuan Presiden telah tiba di lokasi.
Massa pun makin keras meneriakkan dukungan bagi Tuan Presiden tak peduli
panas makin meranggas. Pokoknya harus mendengarkan pidato Paduka Yang
Mulia Tuan Presiden.
Panggung tiba-tiba disesaki para pengawal Tuan Presiden yang berseragam jas hitam. Men in black. Ya mirip dengan pasukan Secret Service yang biasa mengawal Presiden Amerika Serikat.
Semua
memeriksa sekeliling, siapa tahu ada yang iseng menaruh bom atau malah
ada sniper alias penembak jitu yang usil ingin menembak Tuan Presiden.
Lagi pula sudah banyak pemimpin negara yang mati konyol yang ditembak
orang tak dikenal. Seperti Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy
yang mati ditembak saat berpawai di Texas. Presiden Mesir, Anwar Sadat
juga koit ditembak anggota pasukan militernya. Nah, begitu juga dengan
Perdana Menteri India Indira Gandhi yang tewas ditembak pengawal
pribadinya. Bahkan, putra kesayangan Indira, Rajiv Gandhi malah mati
dibom oleh militan. Para pengawal Tuan Presiden enggak mau dong kalau
hal serupa juga terjadi di sini.
Selain ancaman yang canggih
tadi, siapa tahu ada gangguan-gangguan kecil lainnya. Seperti mungkin
ada pendukung partai lain yang ikut hadir menyelinap di antara kerumunan
massa dan kemudian iseng melemparkan sandal jepit. Siapa tahu enggak
puas dengan kebijakan Tuan Presiden selama ini makanya melemparkan
sandal jepit atau apa saja yang dirasa bisa dilempar!
Setelah dirasa aman, keluar Tuan Presiden untuk tampil di atas panggung. Teriakan pun makin menggema.
“Hidup Tuan Presiden.”
“Hidup Paduka Yang Mulia.”
“Hidup Sang Penyelamat Bangsa.”
“Hidup Bapak Pembangunan Bangsa.”
“Hidup Penyambung Lidah Wong Cilik.”
Tuan
Presiden melambaikan tangannya kepada para pendukung setianya.
Sesekali ia merentangkan kedua tangannya atau malah mengepalkan tinjunya
ke udara. Massa pun mengikuti gerakan Tuan Presiden dengan mengepalkan
tinju ke udara sambil berteriak, juga melompat-lompat.
Massa tiba-tiba tenang ketika Tuan Presiden memberikan tanda. Gemuruh suara tiba-tiba berubah senyap.
“Rakyatku, massa setiaku, pendukungku, konstituenku!” teriak Tuan Presiden dengan lantang.
Massa
mendengarkan dengan saksama dan dalam tempo yang tidak
sesingkat-singkatnya. Seraya mendengarkan, massa mengibarkan bendera
dan atribut partai lainnya.
“Rakyatku, pendukungku. Hari ini
kampanye nasional untuk pemilihan presiden dan wakil presiden akan
dimulai serentak di penjuru negeri. Hari ini, di tempat ini, di hadapan
kalian sebagai saksi, saya akan kembali mencalonkan diri sebagai
presiden empat tahun mendatang!”
Seperti ada yang memberikan komando, serentak massa kembali berteriak-teriak.
“Hidup Tuan Presiden.”
“Hidup Paduka Yang Mulia.”
“Hidup Sang Penyelamat Bangsa.”
“Hidup Bapak Pembangunan Bangsa.”
“Hidup Penyambung Lidah Wong Cilik.”
“Saya
akan meneruskan pembangunan yang telah saya lakukan empat periode
sebelumnya. Saya terus lanjutkan hingga negeri makmur, aman, damai
sejahtera!”
Massa kembali berteriak.
“Hidup Tuan Presiden.”
“Hidup Paduka Yang Mulia.”
“Hidup Sang Penyelamat Bangsa.”
“Hidup Bapak Pembangunan Bangsa.”
“Hidup Penyambung Lidah Wong Cilik.”
Tuan
Presiden merasa di atas angin. Ia merasa akan terpilih kembali.
Sederetan orang setia Tuan Presiden juga terlihat senang dengan massa
yang terlihat antusias mendukung kampanye ini.
Sudah jelas sangat
antusias lantaran setiap orang alias perkepala akan mendapatkan lima
puluh ribu rupiah, sebungkus nasi warteg, air mineral, kaus bertuliskan
partai, topi, payung dan lain sebagainya. Kebanyakan dari massa yang
penganggur, setengah penganggur, ibu rumah tangga, dan wong cilik
lainnya sudah pasti tidak keberatan untuk sekadar tampil seharian di
lapangan terbuka yang panas dan kemudian meneriakkan dukungan kepada
Tuan Presiden.
“Hidup Tuan Presiden.”
“Hidup Paduka Yang Mulia.”
“Hidup Sang Penyelamat Bangsa.”
“Hidup Bapak Pembangunan Bangsa.”
“Hidup Penyambung Lidah Wong Cilik.”
Teriakan
terus menggema di seantero lapangan. Tuan Presiden masih menikmati
teriakan yang mengelu-elukan dirinya. Begitu juga dengan orang-orang
setia Tuan Presiden.
Tuan Presiden memberikan tanda kepada massa agar kembali tenang. Tuan Presiden ingin kembali melanjutkan pidatonya.
“Saya
sangat senang dengan dukungan yang kalian berikan! Saya sungguh
terharu. Saya tidak mengira kalau sambutan kalian kepada saya sungguh
luar biasa. Saya tidak menyangka kalau cinta kalian kepada pemimpinnya
begitu besar! Saya sungguh terharu. Saya sangat bersyukur diberikan
pendukung yang sangat setia.”
Massa masih mendengarkan dengan
setia pidato dari Tuan Presiden. Mentari memanggang mereka semua yang
hadir di lapangan dengan begitu sempurna. Sebentar lagi semua yang
hadir akan garing seperti kerupuk.
“Saya yakin kalau dengan restu
dan dukungan dari kalian semua, saya akan kembali menjabat sebagai
Presiden. Saya juga yakin kalau partai kesayangan kita akan menjadi
partai yang terus berkuasa di negeri ini!”
“Hidup Tuan Presiden.”
“Hidup Paduka Yang Mulia.”
“Hidup Sang Penyelamat Bangsa.”
“Hidup Bapak Pembangunan Bangsa.”
“Hidup Penyambung Lidah Wong Cilik.”
Teriakan-teriakan kembali menggema di seantero lapangan yang disesaki massa pendukung (yang kata setianya) kepada Tuan Presiden.
Tuan
Presiden semakin senang melihat massa yang terlihat antusias. Begitu
juga dengan orang-orang terdekat Tuan Presiden. Sementara para pengawal
Tuan Presiden alis men in black semakin terlihat waspada.
Lihat kanan kiri. Lirik atas bawah. Tengok depan belakang. Siapa tahu
ada yang mau mencelakakan Tuan Presiden.
“Kalian ingin saya jadi Presiden lagi?”
“Sudah pasti! Tentu!”
“Kalian ingin saya meneruskan pembangunan?”
“Tentu! Kami tidak keberatan!”
“Kalian ingin maju bersama saya? Bukan dengan kandidat lain?”
“Tentu! Sudah pasti!”
“Kalian ingin terus berjuang bersama partai saya?”
“Pasti! Tentu!”
Tuan
Presiden semakin riang melihat massa semakin antusias. Orang-orang
partai juga puas. Massa yang mereka mobilisasi ternyata patuh dengan
baik.
Panas semakin meranggas. Sinar mentari membakar kulit.
Warna kulit massa kini semakin gosong. Tetapi mereka belum beranjak
karena belum mendapatkan sajian utama : hiburan pentas dangdut, makan siang dan uang limapuluh ribuan.
Tuan
Presiden dan rombongan juga kepanasan. Atap panggung tidak cukup sakti
menahan sinar dan udara yang sangat panas. Tetapi mereka juga belum
beranjak karena masih menikmati puasnya dielu-elukan massa pendukung
setia.
Sesaat Tuan Presiden ingin melanjutkan pidato, tiga biduan
cantik dengan baju macan tampak bersiap diri menuju panggung. Beberapa
orang yang melihat langsung antusias. Ternyata hiburan dangdutnya
adalah tiga penyanyi tersohor yang suka memakai baju minim saat pentas.
Dari segelintir orang menyebarkan kabar ke sebelahnya, ke belakang, ke
depan, dan ramailah massa kalau tiga penyanyi dangdut sensual akan
segera tampil. Padahal pidato Tuan Presiden belumlah usai.
“Rakyatku!”
“Dangdut! Dangdut! Dangdut!”
“Rakyatku! Apakah kalian...?”
“Dangdut! Dangdut! Dangdut!”
Teriakan ingin hiburan menggema!
Tuan Presiden mutung dibuatnya. Mendadak seorang penasihat politik Presiden berbisik ke arah Tuan Presiden.
“Rakyatku
semua! Sudah saatnya saya membalas budi kalian dengan suguhan
hiburan! Tiga penyanyi cantik akan menghibur kalian semua! Sambutlah
dengan meriah!”
Massa langsung menyambut dengan antusias ketiga
penyanyi sensual itu dan melupakan sejenak pidato Tuan Presiden yang
sejatinya belum selesai. Mereka tidak lagi peduli! Yang mereka
inginkan di tengah terik mentari adalah sedikit goyangan hot dan kalau perlu tidak lagi mengindahkan norma kesopanan.
Tuan Presiden bergegas menuju ke arah panggung didampingi para anggota staf dan asisten pribadinya plus para pengawal.
“Sialan! Aku belum selesai berpidato, mereka malah minta dangdut! Tidak hormat sama Presiden!” umpat Tuan Presiden.
“Sabar,
pak! Kita berikan saja apa yang mereka mau! Toh mereka hanya meminta
dangdut. Lantas setelah itu dengan makan siang dan sedikit uang, mereka
bisa ditenangkan. Massa negeri ini mudah ditebak, Bapak Presiden!”
ujar penasihat politik senior Tuan Presiden.
“Hmm, benar juga! Kita tinggalkan saja tempat ini. Panas sekali! Bisa-bisa nanti kita garing seperti ikan asin!”
Rombongan
Tuan Presiden segera meninggalkan arena kampanye. Massa tidak peduli.
Mereka tengah tenggelam dalam goyangan hot tiga biduan dangdut.
Satu jam berlalu.
Tidak ada lagi goyangan hot
di atas panggung. Massa juga sudah pulang membawa nasi bungkus dan
selembar uang lima puluh ribuan. Mereka senang. Begitu juga dengan
ketiga penyanyi dangdut yang akan menerima bayaran sangat besar selama
masa kampanye. Tidak ketinggalan Tuan Presiden yang kini sudah berada
di kediamannya, sangat senang bisa dielu-elukan massanya.
Tidak
ada yang tersisa di lapangan ini, kecuali sebuah panggung besar tempat
Tuan Presiden berkampanye, tempat ketiga biduan dangdut
melenggak-lenggokan tubuh sensualnya.
Tidak ada yang tampak lagi
di sini, kecuali beberapa orang pemulung yang tampak senang dengan
sisa-sisa sampah. Ada topi, kaus, atribut lainnya, minuman yang
tertinggal dan masih penuh, beberapa bungkus nasi yang ditinggal begitu
saja dan masih bisa dimakan, masih banyak lagi termasuk ribuan banner dan spanduk bertuliskan “Izinkan Aku Menjadi Presiden Sekali Lagi!”
Semuanya kini hanya menjadi sampah!
Jakarta, 23 Januari 2003 – 20 Februari 2006 – 15 Maret 2007
Dodiek
Adyttya Dwiwanto. Lulusan Ilmu Komunikasi Fisipol Universitas Gadjah
Mada. Tulisan-tulisannya seperti cerita pendek, resensi buku, dan
artikel sepak bola dimuat di sejumlah media cetak nasional. Saat ini,
bekerja sebagai humas di sebuah perusahaan, selain juga menjadi kolumnis
sepak bola di sebuah media cetak nasional.
Sumber : Kompas, 16 April 2013
17 April 2013
Izinkan Aku Menjadi Presiden Sekali lagi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar