Cerpen J Ghoury
Ratih kecil berlari
kencang sekencang-kencangnya. Sesekali Ia menengok ke belakang sambil
memegang dadanya. Merasakan jantungnya yang berdetak kencang sekencang
larinya. Di semak-semak pembatas jalan dan got akhirnya Ia menelusupkan
tubuhnya untuk bersembunyi. Masih memegang dada dan sesuatu dalam
genggamannya.
Ratih, bocah berusia delapan tahun itu hidup bersama Kiswanti-ibunya,
satu-satunya orang yang sayang padanya. Ia tak kenal siapa ayahnya,
karena telah meninggalkannya sejak ia belum lahir. Meski ibunya bilang
ayahnya meninggal, Ratih lebih percaya pada omongan orang-orang di
lingkungan kumuh itu bahwa ayahnya dipenjara karena membunuh pedagang
daging di Pasar Kliwon. Ratih lebih sering mendengar cerita tentang
ayahnya dari tetangga-tetangganya daripada dari Ibunya. Ratih tak begitu
mengerti tentang membunuh, tapi katanya itu perbuatan yang jahat
sekali, karena membuat orang lain harus dikubur. Itu menakutkan sekali,
pasti gelap dan dingin di bawah tanah sana. Ratih sering menutup telinga
dengan kedua tangannya sambil merem jika teringat hal ini seolah bisa
mengusir bayang-bayang menakutnya tentang
kuburan..yang..hitam,..dingin..dan..gelap.
Ratih tak lagi
menanyakan atau mengatakan hal ini pada ibunya seperti dulu. Ia tak
ingin ibunya bersedih, karena Ratih tau, wajah Ibunya selalu berubah
jadi kaku dan matanya berair jika berbicara tentang Ayah. Ratih sangat
sayang pada Ibunya dan tak ingin..ibunya..menangis.
Meskipun
sangat ingin, Ratih tak bersekolah. Meskipun sangat ingin, terutama jika
melihat teman-teman sebayanya berangkat pagi-pagi memakai baju merah
putih, hanya sekali ia menyampaikan keinginannya tersebut pada ibunya.
Wajah ibunya berubah murung seperti saat Ia bertanya tentang ayahnya. Ya
sudahlah, Ratih pikir bisa makan
dan sempat bermain setiap hari saja sudah sangat bagus. Ratih bisa
sembunyikan mimpinya untuk bersekolah sejak beberapa waktu yang lalu.
Kiswanti
tidaklah seperti wanita-wanita yang ada di tanggalan-tanggalan
pemberian tetangganya, tapi bagi Ratih ibunya sangatlah cantik. Ketika
ibunya membelai rambut dan mengelus kepalanya sebelum Ia tidur,
bercerita tentang seorang putri di negeri bintang dan pangeran dari
kerajaan bulan. Kata Ibunya, Ratih harus jadi anak yang baik agar nanti
masuk surga. Tak boleh berbohong, tak boleh mencuri karena itu adalah
dosa. Orang dosa nanti masuk neraka. Di neraka orang yang suka berbohong
lidahnya akan disetrika dan yang mencuri tangannya akan dipotong oleh
malaikat penghukum. Sejak itu Ratih tidak lagi berbohong dan berjanji
tak akan mencuri. Ratih takut lidanya disetrika
atau.tangannya.dipotong...Pasti.sakit.sekali.
Akhir-akhir ini,
Kiswanti tak lagi membelai dan mengelus rambut Ratih. Ibunya lebih
sering duluan tidur ketimbang Ratih. Mungkin kelelahan karena seharian
mencuci dan menyetrika baju milik tetangga yang membayar ibunya. Dengan
uang yang dibayarkan tetangga itulah mereka membeli nasi dan lauk untuk
makan sehari-hari. Mereka, Ratih dan Ibunya, tak bisa lagi mencari uang
dengan berjualan gorengan, karena nyaris tidak mampu membeli minyak
tanah dan minyak goreng untuk membuatnya.
Hari itu Kiswanti
menyuruhnya untuk menggantikan ibunya mencuci di rumah Bu Gito, yang
rumahnya ada di kampung sebelah. Kata Ibunya, Ia sedang sakit kepala.
Ratih yang setiap hari membantu ibunya mencuci berangkat ke rumah Bu
Gito sendirian. Meski harus mengeluarkan tenaga lebih keras, ratih tidak
mengeluh. Ia tak ingin Bu Gito mengeluh karena cuciannya tak bersih. Bu
Gito terkenal sangat teliti meneliti hasil cucian
dan..setrikaan..dari..buruh..cucinya.
Sore hari setelah menyetrika
baju cucian kemarin yang baru kering dijemur, Ratih pulang membawa
makanan pemberian bu Gito. Ratih senang sekali dan berdoa semoga
cuciannya hari ini tak membuat bu Gito kecewa.
Kiswanti telah
menunggunya di rumah. Menunggu sambil berbaring di atas kasur yang
kapuknya mencuat ke mana-mana. Meski terlihat layu, Kiswanti tersenyum
melihat putrinya pulang. Tak mandi atau makan lebih dahulu, Ratih
langsung mengambil makanan pemberian bu Gito lalu bersiap menyuapi
ibunya. Ratih lihat makanan tadi malam yang Ia harap dimakan ibunya pagi
ini tak bergerak sedikitpun dari meja disamping dipan.
Isinya..pun..tak..berkurang..sama..sekali.
Kiswanti terbatuk-batuk
saat Ratih menyuapkan makanan. Melihat wajah Ratih yang khawatir,
Kiswanti tersenyum berusaha menenangkan anaknya.
”Tidak apa-apa.
Ibu tidak apa-apa”, Ratih hanya mengangguk dan mengulurkan air putih
dalam cangkir plastik yang kusam oleh noda teh. Kiswanti meminumnya
pelan sekali, namun tetap tak dapat mencegah rasa gatal yang kembali
menggelitik tenggorokannya. Kiswanti terbatuk tak terkendali. Tangan
kanannya menekan dada dan tangan kirinya berada diatas mulut dan
hidungnya. Ia terbatuk terus hingga badannya terguncang. Rambut
panjangnya yang menipis basah karena keringat lepek menempel dikulit
kepalanya. Ratih meringis mendengar suara batuk ibunya yang seperti ban
motor yang berdecit karena direm mendadak. Terkadang keluar bunyi
seperti peluit yang ditiupkan dari dadanya dan terdengar keluar melalui
mulut ibunya. Ratih takut, batuk ibunya tak akan..berhenti.
”Ibu...”
Suara Ratih tercekat. Air mata mengabutkan pandangannya. Kiswanti
memaksakan dirinya tersenyum, mencari-cari alasan agar Ratih
meninggalkannya. Ia merasakan cairan asin beraroma anyir keluar dari
tenggorokannya. Kiswanti tau dirinya berdarah, dan tak ingin Ratih
melihatnya, mengetahuinya.
”Ratih.. uhuk khuk.. pergilah mandi,
uhuk uhhuk, lalu makan” Untuk bicara pun Kiswanti sangat kesulitan.
Dengan enggan, Ratih menuruti ibunya, yang langsung mengambil serbet
didekatnya dan mengusap mulutnya. Dipandanginya kain itu dan menyadari,
darah yang keluar makin banyak dan berwarna lebih gelap dari yang
sebelumnya. Disembunyikannya serbet itu dibawah kasur dekat kepalanya,
bersama serbet atau sobekan kain dengan noda darah lainnya.
Beberapa
hari berlalu dan Kiswanti belum juga membaik. Kiswanti bahkan tak mampu
lagi untuk sekedar duduk. Obat batuk yang Ratih beli di warung tidak
membantu. Ratih mengusulkan agar ibunya mau dibawa ke puskesmas, tempat
dimana Ratih biasanya dibawa ibunya saat sedang sakit. Nanti Ratih akan
minta tolong Bu Gito agar mengantarkan, tapi Kiswanti menolak usul itu.
Tak baik merepotkan orang, katanya. Selain itu, Kiswanti tahu, mereka
tak punya uang lagi, kecuali untuk makan.
Pagi hari, Ratih berniat
berpamitan sebelum berangkat ke rumah Bu Gito namun mengurungkannya.
Dilihatnya Kiswanti masih pulas tertidur. Menyalami dan mencium tangan
seperti biasa, mungkin tidak akan mengganggu Ibu, pikir Ratih. Lalu
diraihnya tangan Kiswanti pelan-pelan untuk menciumnya, berhati-hati
agar tidak membangunkannya. Ratih mendekatkan wajahnya ke kasur, tak
peduli dengan bau kakus yang menyeruak, sejak Ibunya tak bisa
mengendalikan kecing dan beraknya. Tangan ibunya dingin, dan agak
kencang, kaku. Ratih pikir mungkin ibunya kedinginan. Ditariknya kain
tipis kumal untuk menyelimuti tubuh ibunya sebelum akhirnya Ia berangkat
menuju rumah Bu Gito.
Sesampainya di rumah Bu Gito, Ratih
mendapati rumah yang terkunci. Ia baru ingat, kemarin Bu Gito memang
sempat mengatakan ada rencana akan ke kampung suaminya untuk nyadran.
Ratih pun berjalan menjauh dari rumah bu Gito yang terkunci. Ratih
berjalan tanpa arah. Ia tak punya uang, belum makan dan sedih teringat
pada ibunya yang kini wajahnya sudah seperti orang lain. Kurus seperti
tengkorak yang berbalut selembar kulit. Kami butuh uang, pikir Ratih.
Seperti
lampu yang tiba-tiba menyala dalam gelap, mata Ratih terhenti pada
sebuah dompet kulit yang tergeletak begitu saja pada kursi kayu di depan
warung Bu Sardi yang masih tutup. Kursi itu berada diantara meja kayu
dan tembok, jadi dompet itu lumayan tersembunyi. Orang tak akan
melihatnya kecuali berada di sisi kursi panjang ini. Mungkin itu milik
salah satu pelanggan Bu Sardi.
Jantung Ratih berdebar-debar dan
perutnya mendadak mulas. Ratih melihat ke kanan dan ke kiri dan
mendekatkan kakinya ke arah dompet coklat itu. Dilihatnya beberapa
anak-anak menggendong keranjang besar untuk berangkat memulung, tapi tak
ada yang memperhatikannya. Ada ibu-ibu yang menyapu halaman, tapi
terlalu jauh untuk dapat melihat apa yang dilakukan Ratih. Ratih
berjalan perlahan-lahan. Perutnya makin melilit, keringat dingin mulai
muncul dipunggung kecilnya. Rasa tegang dan takut menyelimutinya. Ia
teringat kata-kata ibunya, bahwa mencuri itu dosa. Bergidik Ratih
membayangkan tangannya akan dipotong nanti di neraka, tapi tak apa asal
ibunya bisa minum obat. Selain itu, Ratih kan tidak mencuri, pikirnya.
Ia menemukannya. Bukan mencuri.
Selangkah lagi. Hap. Dompet coklat
berhasil Ratih raih. Ratih tak tahu, apa yang ada didalamnya. Ratih
cuma berharap akan ada cukup uang, supaya Ia bisa beli obat untuk
ibunya. Dadanya bergemuruh dan tangannya gemetaran karena takut campur
tegang. Jantungnya hampir meloncat saat seorang lelaki meneriakinya
dengan lantang.
”Heiii, bocah!!”, kaget dan ketakutan, Ratih
berlari meninggalkan tempat itu. Berlari dan terus berlari, tak berfikir
akan kemana, yang penting berlari. Sepertinya lelaki tadi tak
mengejarnya, tapi Ratih tak yakin.
Ratih kecil berlari kencang
sekencang-kencangnya. Sesekali Ia menengok ke belakang sambil memegang
dadanya. Merasakan jantungnya yang berdetak kencang, sekencang larinya.
Di semak-semak pembatas jalan dan got akhirnya Ia menelusupkan tubuhnya
untuk bersembunyi. Masih memegang dada dan sesuatu dalam genggamannya.
Selama
hampir satu jam Ratih bersembunyi. Tak ada suara lelaki yang
memanggilnya lagi. Sejenak Ratih menyesali tindakannya, tapi Ia teringat
ibunya. Digenggamnya dompet kulit itu makin kuat. Sepertinya sudah
aman, batin Ratih. Ia kembali berlari menuju rumahnya setelah sebelumnya
celingak-celinguk kanan kiri memastikan tak ada yang memperhatikannya.
Terengah-engah Ratih akhirnya sampai di Rumah. Wajahnya tegang dan berkeringat, namun ada senyum di bibirnya.
”Ibu.
Ratih bawa uang. Ayo kita ke puskesmas”, Ratih bicara begitu berada di
dekat ibunya yang masih terbaring dengan posisi sama saat Ratih
meninggalkannya pagi tadi. Kiswanti diam saja, tidak bergerak.
”Ibu..
Ibu.. bangun Bu. Lihat, Ratih bawa dompet, pasti ada banyak uang di
dalamnya ” Ratih menyentuh lengan kurus ibunya untuk membangunkannya,
sedikit terkejut karena tubuh ibunya sangat dingin dan kaku. Terlalu
kaku, pikir Ratih.
”Ibu! Ibu bangun!!”, Ratih mulai berteriak
panik. Berpikir mungkin ibunya sudah meninggal tapi tidak mau
menerimanya. Ditempelkan kupingnya ke dada ibunya, berusaha menemukan
detak disana, seperti yang kadang Ia lihat di sinetron di rumah
tetangga. Ia tak mendengar apapun.
”Ibu.. ini ada uang bu! Ratih
punya uang! Ibu harus bangun. Ibu akan sembuh. Nanti ibu akan jualan
lagi. Ibu akan baik-baik saja!” Ratih berteriak dan mulai
mengguncang-guncang badan ibunya, namun Kiswanti bergeming. Tidak
menunjukkan reaksi apapun.
”Ibuu..” suara Ratih serak, tercekat memanggil ibunya. Ratih menoleh ke arah pintu saat ada suara-suara didepan rumahnya.
”Itu
dia anaknya,” lelaki yang tadi meneriakinya menunjuk ke arah Ratih
sambil berbicara pada beberapa orang. Wajahnya terlihat marah dan keras.
Nanar
mata Ratih melihat ke wajah pucat Ibunya lalu ke arah kerumunan orang
di luar rumahnya, lalu ke arah ibunya lagi. Air matanya meleleh.
”Ibu...bangun” dengan berlinang airmata Ia berbisik. Dompet yang sedari tadi digenggamnya terjatuh ke lantai begitu saja.
-Selesai
Sumber: Kompas, 10 April 2013
11 April 2013
Dompet untuk Ibu
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar