Judul: Resep Cinta Ibu
Penulis Bersama: 11 Ibu Muda
Penerbit: Antarnusa Yogyakarta
Cetakan: 1/ November 2012
Tebal: 111 halaman
ISBN: 978-602-18405-4-2
Harga: Rp30.000
Pada
suatu sore, seorang Ibu duduk termenung di kursi rodanya di tepian
sebuah danau. Ia ditemani anaknya yang telah mapan dan hidup
berkeluarga. Lalu, sang Ibu bertanya, "Itu burung apa yang berdiri di
sana?" "Bangau Mama," anaknya menjawab dengan sopan.
Tak lama
berselang, sang Ibu bertanya lagi, "Itu yang warna putih burung apa?"
Sedikit kesal anaknya menjawab, "Ya bangau Mama..."
Belum sampai 5
menit, ibunya kembali bertanya, "Lantas itu burung apa?" Ibunya
menunjuk burung bangau tadi yang sedang terbang. Dengan nada kesal si
anak menjawab, "Ya bangau Mama, kan sama aja! emang Mama gak liat dia
terbang!"
Air menetes dari sudut mata sang Mama, lantas ia berujar
lirih, "Dulu 35 tahun yang lalu, aku memangkumu dan menjawab pertanyaan
yang sama untukmu sebanyak 10 x. Kini, aku hanya bertanya 3 kali, kamu
sudah membentakku 2 kali."
Cerita klasik dari dataran China
tersebut memverifikasi kebenaran pepatah lama, “Kasih ibu sepanjang
jalan, kasih anak sepanjang penggalan (pengkolan).”
Padahal tak
sekadar mengajari anak berbicara, Ibu juga telah mengandung janin selama
9 bulan 10 hari, kemudian berjuang menghadirkan bayi ke dunia dengan
pertaruhan nyawa dalam persalinan yang bersimbah darah, peluh, dan air
mata.
Bahkan pengorbanannya tak berhenti sampai di situ, ibu siap
begadang menemani bayinya, memberi ASI, mengganti dan mencuci popok,
menyuapi makan, meninabobokan sebelum tidur, merawat ketika sakit,
(menitah) mengajarkan berjalan, mengenal lingkungan sekitar, mendidik
dan mengantar ke sekolah.
Buku “Resep Cinta Ibu” ini membangkitkan
kenangan manis ihwal orang tua, terutama sosok Mama. Terdiri atas 18
kisah pengalaman menjadi Bunda. Penulisnya 11 wanita yang dikaruniai
kesempatan menjadi figur feminim tersebut.
Ternyata salah satu
dilema terbesar kaum ibu ialah membagi waktu untuk buah hati tercinta
dan karir. Terutama pasca persalinan dan saat menyusui dengan ASI
ekslusif. Air susu alami pertama yang dikeluarkan berupa cairan bening.
Dalam bahasa medis disebut kolostrum. Kandungan gizinya dapat
meningkatkan daya tahan tubuh (imunitas). Jadi sedari awal, para ibu
seyogianya memberikan “hak” para bayi tersebut.
Menurut salah satu
penulis, Ibu Nenny, “Buatlah aktivitas menyusui menjadi sesuatu yang
menyenangkan kita dan membahagiakan bayi. Sungguh hal ini luar biasa.
Begitu Allah memudahkan segala urusan bila hati kita sudah berniat,
tenang, dan ikhlas (halaman 46).”
Wanita yang bekerja di Bursa Efek Jakarta (BEJ) tersebut lantas berbagi tips agar ASI tetap mengalir deras. Caranya dengan rajin makan sayur-sayuran. Antara lain daun katuk, kacang hijau, susu kedelai, sayur bayam, madu asli, dan banyak minum air putih.
Di
Indonesia, ada dua organisasi yang sangat aktif memromosikan pentingnya
ASI eksklusif, yaitu Sentra Laktasi Indonesia (Selasi) dan Asosiasi Ibu
Menyusui Indonesia (AIMI). Kedua lembaga swadaya masyarakat (LSM)
tersebut gencar melakukan pelatihan dan konseling seputar ASI.
Menjadi
ibu memang sebuah kebanggaan bagi setiap perempuan. Karena ia merasa
sempurna sebagai seorang wanita. Bunda sebutan istimewa bagi kaum Hawa
yang telah menikah dan melahirkan seorang anak.
Dalam tradisi
Islam, Ibu dimuliakan lewat ayat-ayat Al-quran. Hadis Abu Hurairah
radhiyallaahu ‘anhu mengisahkan, “Seseorang datang kepada Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah, kepada
siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi
wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya,
‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab,
‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau
menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa
lagi?’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian baru
ayahmu…” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548)
Ibunda Nabi
Musa juga rela berpisah di tepi sungai demi keselamatan anaknya.
Demikian pula dengan Ibunda Isa Sang Masiha yang tetap bertahan
menghadapi cercaan tetangga karena Isa kecil lahir tanpa sosok seorang
ayah. Bunda Maria berjuang sendiri untuk membesarkan dan mendidik Nabi
Isa.
Pun perjuangan Siti Hajar, Ibunda Nabi Ismail tak pelak
mengundang decak kagum. Beliau rela hidup di padang pasir yang tandus.
Ibunda Nabi Ismail kemudian berlari seorang diri dari bukit Safa ke
bukit Marwah demi seteguk air untuk bayinya.
Menjadi Telingaku
Buku
ini juga memuat kisah seorang ibu yang memiliki anak tuna rungu. Di
suatu gereja, pastor parokinya gemar bernyanyi. Saat homili beliau suka
menyisipkan sebait lagu yang sedang hit (populer). Secara kreatif beliau
mengubah beberapa bagian liriknya. Tentu sesuai isi kotbah yang sedang
disampaikan (halaman 80).
Pada bait yang lucu - pasca diubah oleh
Pastor - umat di gereja sangat menikmati lantunan suara emas beliau.
Anak penulis yang besar, Vincent bertanya, ”Bu, kenapa Pastor mengubah
lagunya? 'kan kalimatnya bukan seperti itu.” ”Ya supaya umat tidak bosan
dan isi wejangan Romo bisa mudah diingat kita semua,” jawab sang Ibu.
Si anak kembali menyahut,” Oh…gitu ya Bu. Pastornya pintar...” Sembari
tersenyum mengingat bunyi syair tersebut.
Namun berbeda dengan
Vinta, anak kedua Estiningsih Budi Rahayu. Tampak Vinta memasang wajah
bingung sambil menoleh ke kiri dan kanan. Dia mencolek tangan ibunya
dan berkata, ”Bu, apa yang lucu? Mengapa orang-orang tertawa? Kalau di
gereja harus sopan, tidak boleh bergurau!” Lalu sang Ibu menjelaskan
bahwa tadi Romo berkotbah, beliau menyanyikan sebuah lagu bagus. Dan…ada
syair yang diganti supaya umat tidak mengantuk.
”Wah, Pastor
hebat ya Bu, bisa membuat orang senang. Kalau saya bisa mendengar, saya
pasti tertawa juga dan sepulang misa saya mau bilang ke beliau bahwa
saya suka homili Pastor. Tapi saya tuli jadi tidak bisa mengerti,” sahut
Vinta. Tatkala mendengar tanggapan itu, spontan hati sang Ibu merasa
“tertusuk”. Kenapa? karena ia sering menganggap bahwa Vinta hanya perlu
tahu hal-hal yang memang ia butuhkan sebagai anak tuna rungu.
Singkat
cerita, Ibunda tadi menjelaskan pelan-pelan ihwal nyanyian Pastor. Agar
bisa dibaca gerak bibirnya. Untuk memeroleh efek jenaka, sang Ibu
berujar, ”Tadi Romo waktu menyanyi ada kata yang lupa. Dia memerhatikan
dengan saksama sembari menahan tawa dan berkata, ”Wah… Pastor tadi malu,
ya Bu…Ditertawakan banyak orang di gereja. Tapi tidak apa-apa, karena
Pastor hebat dan suaranya pasti merdu!”
Seusai Ekaristi keduanya
pulang berjalan kaki karena jarak rumah dan gereja hanya beberapa ratus
meter. Di jalan Vinta menggenggam tangan ibunya dan berkata, ”Terima
kasih ya Bu, sudah menjadi telingaku. Kalau Ibu sama-sama tuli seperti
saya, pasti kita tidak bisa tertawa bersama Pastor. Saya senang Ibu
tidak tuli, bisa membantu saya mendengarkan.” Dan di sepanjang
perjalanan air mata sang Ibu terus berlinang... (halaman 83)."
Tiada
mawar tanpa duri begitu pula buku ini. Sebagian besar kontributor
penulisnya baru kali pertama menulis. Sehingga dari segi redaksional
perlu ada pembenahan. Misalnya pada bagian kata pengantar,
"...kisah-kisahnya sungguh bermakna dan dapat dijadikan pelepas dahaga
yang memberikat kekuatan (halaman 9)." Barangkali yang dimaksud ialah
"memberikan". Dalam konteks ini, peran editor dan proof reader menjadi
sangat signifikan.
Terlepas dari kelemahan tersebut, buku setebal
111 halaman ini menguak lika-liku menjadi seorang ibu secara detail.
Sejak dari proses mengandung sampai teknis cara mendidik anak. Layak
dijadikan bacaan bagi para pasangan yang berencana membangun rumah
tangga, ibu-ibu muda, dan siapa saja yang peduli pada pengorbanan sosok
terpenting dalam hidup manusia tersebut. Menyitir syair Byron in
Sardanapulus, “Payudara ibulah yang memancarkan kehidupanmu ke dunia.
Bibirnya yang mengajarkan tutur kata pertamamu. Ia pula yang menyeka
airmatamu ketika pertama engkau menjerit kepada dunia. Dan…keluh-kesahmu
selalu berakhir di telinga Ibu.” Selamat membaca! (T. Nugroho Angkasa
S.Pd, Guru bahasa Inggris di PKBM Angon (Sekolah Alam), Ekskul English
Club di SMP Kanisius Sleman, TK Mata Air Yogyakarta)
Sumber: Kompas, 10 April 2013
11 April 2013
Menguak Lika-liku Menjadi Seorang Ibu
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Ibu, manusia terbaik tempat kita berbuat baik, tiga kali, setelah itu ayah kita... Trima kasih.. Kunjungi balik ya... Terapi Bekam
BalasHapusdan Terapi Akupuntur