Pages - Menu

25 April 2013

Puisi-puisi Hidayat Raharja

CAPUNG

Dua pasang sayapmu mengurai sungai dan langit. Tanah-tanah pertanian biru dikepung matahari membawa kisah bukit, ladang,  dan sawah.


Gumpal cahaya di kepalamu, membakar seratus musim di tungku mata fasetmu, bayang-bayang kegagalan dan bangkai predator liar di pintu sore. Malai rumputan berterbangan dari jemari angin merah di hamparan rumpun padi menerbitkan bulan kuning.

Gemetar tubuhmu, di antara tikaman suara pekak dan kemacetan di simpang kota, igau gunung dan punggung sawah yang rebah di pematang malam. Kau menari di bawah remang menggetar ruangan.
Getar musik dan gesek selaputmu yang tipis mengurai petang, nada hitam dan kelam. Televisi menyemai kebun dan hutan, sungai-sungai dan kisah bebatu. Gemuruh traktor, mesin giling, dan aroma insektisida menyesaki panorama

SEPASANG SEPATU, KISAH HUJAN DAN PLASTIK HITAM
Suara gaduh menggebuki atap rumah
Suara pecah melukai tanah
Jalanan hitam dengan genangan coklat melarutkan kisah bukit kurus dan tanah kusut. Anak-anak padi menggigil dalam kubangan ketakutan yang bertumbuh di ketiak hujan. Angin kencang dari utara menyusuri pematang di antara barisan pohon menahan tumbang.
Sepasang mata mengintip dari balik plastik hitam, menatapi hujan dan kota yang cuil dipenuhi grafiti pornografi, jarum suntik, wajah bengkok menahan maut. Taman hijau yang gaduh, menyimpan resah di seberang kubah dan menara menjunjung langit sore.
Mata hujan berjatuhan mengintai setiap celah kota memasuki gorong-gorong, mendatangi gang dan perkampungan. Salam malam dari baliho yang mengangkang membelah jalan protokol sambil nyengir memamerkan gigi sepasang remaja yang tengah menertawai kota yang terus berbenah. Meringkasi sawah dan ladang jadi kampung batu yang kelabu. Propaganda memenuhi udara dengan gerutu suara hujan yang beku.

2013

Jantung Hujan
Hujan pulang meninggalkan kenangan menuruni matamu. Mata kawah biru di antara gemunung pagi yang beludru. Kita makan bersama di sebuah meja dibakar matahari. Cincang resah dan sebaskom tangis dimasak di atas tungku dipenuhi bara rindu. Didihan kata meluap hanya terucap dalam kilatan matamu menundukkan hutan-hutan dungu. Kau hanya bisa menguraikan pagi yang rebah di pojok waktu yang beku.
Sungai-sungai bersahutan dari balik jantung yang berdenyut. Debar malam yang pernah kita tangkap di belukar sunyi mengitari ujung jam yang berderit. Hanya angin terdengar berucap dari lubang tubuhmu. Lubang yang menyimpan binatang melata, menyusuri lembab udara ke liang-liang hari. Gunung kata diam di bawah ambang, hanya gerak gemawan menggiring kita dalam gerimis yang akan jelang.
Kita bernaung di tepian pematang di bawah pohon yang pernah kita tanam. Pohon kesetiaan yang terus mengakar dan menjalar ke tebing-tebing lembah. Bercabang-cabang ke ruang darah. Kau siramkan seteguk airmatamu mengusap rindu yang beredebu di pipi waktu. Hujan menderas dalam jantungku membanjiri pembuluh dengan gemeretak tubuh menanggung peluh.
2013

Mata Kaki
Pejalan dengan sebuntal kesal bergelayut di punggung malam. Menyusuri jalan gugup dan waktu yang bertekuk.  Di telapaknya kota-kota diluruhkan dengan sepasang roti coklat,  dan kilau pisau menyerahkan diri. Lelaki itu datang lagi dengan  mulut berbusa dimabuk lima gelas tuak jalanan yang diminumnya dipasar malam. Matanya miring menikam kota yang juling.
“Aku telah merubuhkan pilar kota”, teriaknya setengah serak. Di tangannya sebilah sangkur mengarah ke jantungnya. Nyanyian malam mendengkur di antara teriakan televisi, radio FM, dan baliho yang memenuhi jalanan. Lampu-lampu merah, bunga-bunga merekah dengan aroma kencing menguap  dari kantung taman.
Pejalan itu  menuju ujung, suara kaki terseret di atas aspal kelam. Ia mengigau lagu gila yang tak dimengerti semua. Ia menari gila yang tak dipahami semua. Ia meringkuk kelehanan di ujung mata kakinya yang hitam. Di atas dua belas, jam malam.
2013

MAKAN MALAM
Ekor itu mencari tubuhnya menyelam dalam kubangan laut  mendidih. Aroma  kebun dan belukar  berletikan. Gurih irisan daging mengembang meresap ke dalam tulang menusuk rasa lapar yang terkulai di dada piring bermotif garis melingkar. Garis nasib yang hijau dan biru dikelilingi harapan merah di sekujur bibir.
Saus tomat melumuri tubuhmu. Tubuh yang terpotong dan terbagi bercecer darah pengorbanan laut yang gamang. Di daging paling dalam rusuk perahu bercuatan menusuk mata;lukamata laut serta. Kilang kuning menghunjam dalam ke dasar pasir perasaan yang teriris.besi-besi bersilangan garpu yang menusuk dada dan jangkar dilempar. Santos, Maleo, Kangean, Tanjung Bumi, Camplong, Mandangin, Saronggi…..tabuh ombak menelentang malam
2013

WC
di sebuah terowongan panjang, riwayat dimulai. orang-orang berjatuhan dari sebuah metabolisme tubuh di antara bising mesin dan gelegak ombak menghubungkan antara lapar dan kenyataan, kenyang dan bebusukan. jembatan yang mengular antara harapan dan kekalahan tempat meniti ketidakpastian tanah. di bawah jongkokan, tubuh itu nyemplung meninggalkan bunyi dan dengung tanah jauh

lapak-lapak biru menggelar haru di sepanjang jalan ke gerbang madu. aku lukis laki-laki memakai udeng memainkan layang-layang tanpa kekang di belang langit harapan. sejenak mereka berpose di depan pintu. batik nasib yang merah pucat dipanggang matahari naas. ornamen daun dan bunga, sulurnya membelit pikiran, menjalari lapak-lapak kusam, dengan warna hitam bayang-bayang.

papan-papan reklame mengangkang di atas jalan menjatuhkan kotoran ke atas para pejalan. papan yang saling menusuk mata di antara geliat lapak yang kian sekarat. tulisan selamat datang bersebalik dengan selamat jalan di antara papan-papan muram dengan tulisan besar-kasar tak beraturan menawarkan tempat buang air besar. metabolisme pulau yang resah, semerbak bau merebak antara bumbu dan basi ketumbu di pangkal paha, sebelum kelamin laut menyambut dengan gerai rambutnya yang tak pernah surut, dan ikan sura berlompatan memamerkan sirip bergambar gedung-gedung, dan perempuan timbul-tenggelam menyalakan lampu petang
yang memilukan.
2012

SRINTIL*
tegal dan bukit, hutan dan sumur yang selalu meumbuhkan cemburu di pematang lehermu. menuju hutan belantara tempat menggembala para penindas dan pendoa. adalah batu dan tembikar yang membuat wajah menjadi keras dan laki-laki menjadi pemimpi di ujung taji yang mengarah ke dahi. Senyum matahari merebahkan barisan pohon jati dan rerimbunan bunga tembelek. adalah malam yang selalu melayari bulan merenangi cahaya perak yang berjatuhan dari keringatmu.
darah hitam para leluhur yang kebal mati dan kutukan. hanya bibir merahmu bersilang telah mencabangkan jalan ke kampung, ke tanah lapang tempat anak-anakbermain layang-layang dan talikekang. tapi di kota jauh dan dusun yang teduh matamu terbenam menenggelamkan sisa malam dan kegilaan, menidurkan anak-anak zaman yang kehilangan.
yang terbakar adalah rambut merahmu menerangi malam dan hutan. suara derap langkah dan lelaki dengan mata juling mengintai dari lubang tubuhmu yang beribu pintu.angin lapar dan kemiskinan  berebahan di antara reranting belukar yang rakus merimbuni dadamu.Dada waktu yang terus terburu.   masih kau ingat ketika lelaki itu menitipkan pohon dan sungai tetapi juga parang yang terkalung di leher. Tarian api, tarian malam, dan gelepar ngeri selalu bertumbuhan di penghujung dini saat-saat lelap menyelami sungai bintang.
matamu berasap, seperti mata nyonya yang tengah mabuk di rak belanja. mata yang mengusung troli di sebuah mall dan mata yang tengah mengukur hamparan tanah pertanian yang tengah memasuki masa tanam. musim pun beralih tetapi benang nasib yang basah selalu merambat ke kain kehidupan. kain yang dibatik dengan sulur ubi dan bunga kantil, molusca laut dan burung hong. mewarnai matamu yang berdarah.
2012

*salah seorang tokoh dalam trilogi novel “Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari.


Sumber : Kompas, 25 April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar