Judul Buku : The Japanese Wife
Penulis : Kunal Basu
Penerbit : Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan : I, 2012
Tebal : viii + 380 halaman
ISBN : 978-602-8811-78-1
The
Japanese Wife, merupakan buku kumpulan cerita pendek karya Kunal Basu,
penulis kelahiran Kolkata, India. Kecintaannya pada sejarah membuat ia
menjadi salah satu dari sedikit penulis genre ‘fiksi sejarah romantis’
dalam tradisi sastra India. Setelah berhasil meraih gelar doktor, Kunal
Basu menjadi seorang profesor di McGill University, Montreal, Kanada,
1986-1999. Sejak 2011, ia telah menerbitkan empat novel dan sebuah
kumpulan cerpen.
Cerita pendek berjudul ‘The Japanese Wife’
menjadi ‘judul buku’ sekaligus mengawali sederet cerpen-cerpen lain di
buku terbitan Bentang Pustaka ini. Cerita bermula dari selembar surat
pertemanan seorang lelaki India yang ditujukan kepada gadis Jepang.
Melalui berpuluh-puluh surat yang rutin dikirimkan, mereka mengobrol
tentang banyak hal, hingga membuat pertemanan kedua insan beda jenis ini
bukan lagi sekadar pertemanan biasa. Ada getar-getar cinta yang semakin
menguat dari hari ke hari di relung hati keduanya.
Sebuah
keputusan besar pun dipilih. Tanpa pernah bertemu, Snehamoy (lelaki yang
berprofesi sebagai guru di SMP Shonai) dan Miyage (si gadis Jepang itu)
akhirnya memutuskan untuk menikah. Pernikahan yang tak lazim.
Pernikahan rahasia yang tertulis rapi dalam selembar surat. Pernikahan
yang pada akhirnya terungkap publik hingga menimbulkan gegunjing
tetangga, cibiran, dianggap sinting, dan tentu saja tak mendapat restu
dari si bibi, janda muda yang telah mengasuh Snehamoy sejak kedua
orangtuanya meninggal, tenggelam di Sungai Matla.
Namun, Snehamoy
tak pernah mau menyerah. Hatinya telanjur bertaut erat dengan gadis
Jepang itu. Begitu pula dengan Miyage yang sangat mencintai Snehamoy.
Tak ada yang bisa menghalangi keduanya. Lelaki India itu benar-benar
menikahi Miyage meski hanya melalui selembar surat. Bibinya tak kuasa
mencegah, kendati sesekali waktu tak bisa menahan kobaran di dadanya.
“Kapan dia akan datang? Kau harus bertemu istrimu, dia harus tinggal di
rumah suaminya. Surat tidak bisa menghasilkan bayi, kau tahu!” begitu
ucap bibi di puncak emosi. Dan, sepanjang 20 tahun pernikahan, Snehamoy
dan Miyage tidak pernah bertemu barang satu kali pun. Namun itu bukan
perkara besar bagi mereka. Hingga sebuah kejadian tak diduga
memorakmorandakan hubungan keduanya. Bermula ketika Snehamoy bertemu
wanita lain. Wanita bernasib malang yang sengaja didatangkan si bibi
dengan harapan bisa menjadi istri ‘nyata’ Snehamoy (hal 1-33).
Pawang
Ular, adalah judul cerpen selanjutnya yang tak kalah menarik untuk
disimak. Bercerita tentang kesedihan hati Jacob Tsur, lelaki 60 tahun,
profesor Israel-Amerika yang tengah berkunjung ke Delhi. Tak ada yang
mengira, di tengah-tengah kesibukannya di dunia bisnis, Jacob masih
belum bisa mengenyahkan kenangan-kenangan indahnya bersama Ofra,
mendiang istrinya yang sangat ia cintai. Dan Jacob telah memutuskan,
bahwa India adalah tempat terakhir untuk mengusaikan kesedihan hatinya.
Namun, semua rencana menjadi berantakan sejak ia bertemu dengan gadis
putri seorang pawang ular. Ketika gadis itu tak sengaja memergoki Jacob
hendak bunuh diri, gadis itu selalu membuntuti ke mana pun ia pergi (hal
125-155).
Cerpen ‘Dalang Terakhir’ juga menjadi magnet buku ini.
Mengambil setting lokasi di daerah Yogyakarta. Jujur, sebagai orang
Indonesia, menurut saya cerpen ini cukup berhasil menyindir para penulis
fiksi di negeri ini, agar lebih mengeksplor cerita-cerita bertema
kearifan lokal dan mencintai budaya sendiri. Bayangkan, penulis asing
saja begitu tergila-gila dengan budaya kita. Sementara kita, si pemilik
budaya tersebut, malah terkadang sering abai, bahkan acuh tak acuh.
‘Dalang
Terakhir’ berkisah tentang lelaki sepuh bernama Johann Bosco Novi,
keturunan keluarga kerajaan Tang, Tionghoa. Johann memilih hidup di Kota
Keraton Yogyakarta, membuka toko yang menjual wayang-wayang golek.
Untuk mencuri hati para turis yang respek dengan kesenian wayang,
sembari berjualan, Johann mengadakan pagelaran wayang Ramayana secara
gratis.
Bermacam lelakon ia tampilkan hingga membuat para turis
terpukau dan akhirnya membeli dagangannya. Meski sebagian kerabat Johann
tak menyukai pekerjaan dan kecintaannya terhadap dunia wayang, namun ia
tetap bersikukuh untuk terus melestarikan budaya yang nyaris dilupakan
orang itu hingga akhir hayatnya (hal 324-350).
Kunal Basu begitu
fasih menggambarkan realitas kehidupan dengan cukup romantis namun penuh
dengan kegetiran. Kehidupan manusia dengan segala lika-likunya,
termasuk kisah-kisah cinta yang melingkupinya, menjadi sebuah perjalanan
panjang yang kelak tersusun menjadi lembaran-lembaran kenangan
(sekaligus harapan) dan akan menjadi sejarah tak terlupakan.
***
Diresensi oleh: Sam Edy Yuswanto, penulis lepas bermukim di Kebumen.
Sumber : Kompas, 25 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar