Cerpen Gui Susan
Aku seperti mendengar bunyi kepak sayap camar dari ujung dermaga. Mungkin hanya perasaanku saja, entah, aku mendengar kepak sayapnya pelan-pelan hilang dari pendengaranku. Aku duduk di dipan beratap rumbia, ada kue cokelat yang sedari tadi kugenggam erat.
Lalu aku menaruh kue cokelat itu di samping tempatku duduk. Aku merapikan selendang yang teraduk angin, aku mendengar bunyi debur yang bersahutan. Indah sekali bunyi buih yang saling berbenturan. Pantai senja ini seperti biasa, ada beberapa pasang sejoli yang bergandeng tangan. Melintasi keindahan kasih lewat temaram senja menuju malam.
Aku tersenyum sendiri, cinta adalah maha daya. Segala yang kau punya bisa menjadi hilang hanya karena cinta, sebaliknya, segala yang hilang bisa kau miliki hanya dalam hitungan menit. Begitulah kekuatan dan kekayaan cinta. Apa semua orang di sini saling mencinta satu sama lain?
Apa bentuk cinta? Aku mengira sendiri bentuknya semacam apa, apakah kotak? Bulat? Atau cair? Apa materi padatnya? Bentuk riilnya? Atau memang bentuknya hanya serupa jantung yang merah; berdetak.
Aku diam sembari mengira apa itu cinta.
Tiba-tiba seorang lelaki berkaos putih duduk di sampingku. Rambutnya gimbal, wajahnya kusam, matanya merah berair. Jika kukira, usianya hanya berselisih dua tahun dari usiaku, sekitar 28 tahun usianya.
“Kau tau di mana cinta?” Tanya lelaki itu sembari tersenyum meledek.
Aku diam dan bergidik takut. Aku mengira, siapakah orang ini? Kenapa dia tiba-tiba bertanya seperti itu. Entahlah, aku mulai merasa tidak nyaman lagi duduk di tempat ini. Tapi, tunggu dulu, aku harus menjumpai lelakiku. Lelaki tinggi berparas rupawan, lelaki yang datang ketika senja merasuk pada gulita malam.
Lelakiku; Biyan, dia berjanji datang setiap senja. Biyan janji menjengukku setiap senja. Kami bersepakat memilih senja, karena terang siang malah menyudutkan kami pada sisi pojok. Kami adalah dua orang terasing yang memilih untuk mencintai, sekali pun semesta tidak mengizinkan untuk itu.
Lelaki yang duduk di sampingku menatap ke bola mataku, tepat ke bola mataku, aku kaku diam.
“Puan, tidakkah kau sadar?” Tanya lelaki itu.
Aku menatapnya heran. Lelaki ini gila kupikir, bajunya saja tidak betul, kotor dan bau. Pasti dia patah hati dan jadi gila. Dari garis wajahnya, dia lelaki tampan dulunya. Mata lelaki ini tajam, seperti siap merobek hati puannya. Bibirnya merah, tidak seperti kebanyakan lelaki yang perokok; berbibir cokelat atau hitam.
Aku diam kaku sedari tadi. Aku tidak boleh menanggapi orang gila ini, aku menunggu Biyan. Dia berjanji datang, lelaki yang kuselami jiwanya lebih dari dua tahun, lelaki yang selalu membuatku rebah ribuan kali tanpa perlawanan. Lelaki yang sebenarnya tidak boleh kucintai begini rupa, lelaki yang sudah punya garis takdir dengan puan lain.
Tidak, jangan kira aku duri dalam hidup puan lain; istri Biyan. Hubungan mereka bermasalah jauh sebelum aku datang, jadi janganlah orang kira aku hantu dalam rumah yang mereka huni.
Aku menatap laut yang terkena cahaya kuning senja, betapa aku menyukai senja ini. Lelaki gila di sampingku membuka bungkusanku yang berisi kue cokelat untuk Biyan. Aku menarik bungkusanku paksa, aku marah dan mataku melotot ke wajah lelaki itu.
Lelaki itu malah terkekeh pelan.
“Sini kumakan kue itu, dia tidak akan datang! Puan puan, itu laut sudah penuh dengan air matamu” ujar lelaki itu sembari terus terkekeh mengejek.
Wajahku merah padam, ingin rasanya aku menampar pipinya. Dia telah lancang mengambil apa yang bukan miliknya, dan itu perbuatan yang tidak sopan. Aku terdiam, lalu bagaimana dengan aku? Bukankah aku pun lancang mengambil apa yang bukan untukku. Tapi siapa bilang dia bukan milikku, Biyan milikku.
Lelaki gila itu berdiri dan merentangkan tangannya ke samping. Aku melihat bias tubuhnya, senja yang menguning, yuyu yang merambat ke kakiku. Aku diam.
“Puan, jangan lagi kau tunggui dia” ujar lelaki gila itu. Dia menatapku sebentar, matanya yang tajam berubah menjadi teduh. Aku menatapnya dalam, ini lelaki yang pernah kukenal. Entah kapan. Aku menghitung waktu, kapan? Sejak kapan tatapan itu kuingat.
Kepalaku memberat, otot-ototku melemah dan jantungku seperti tidak berdetak. Aku mulai ragu, apa lelaki ini gila? Hatiku seperti menjerit nama Biyan, di mana dia? Lelaki yang setahun lalu berjanji menikahiku setelah urusannya selesai, dia pun berjanji suatu senja akan datang dan membawa bulan untukku.
Lelaki gila itu menatapku dalam, ada bulir air mata menetes dari pelupuknya. Puluhan, ratusan, ribuan, hingga akhirnya aku tidak tau bagaimana derasnya air mata itu. Aku menatapnya heran, kenapa dia menangis? Kenapa?
“Biyan tidak akan pernah datang” bisik lelaki itu pelan di tengah isaknya.
Aku diam menatapnya. Biyan berjanji datang suatu senja, agar dapat membawaku melihat terang keesokan harinya. Biyan mau hidup kami tidak lagi diselimuti ketakutan akan terang, Biyan ingin suatu pagi, bukan lagi redup senja dan kelam malam.
Aku menatap mata lelaki yang kupikir gila itu. Dia menatapku dalam, senja sudah mulai meredup dan bulan mulai muncul benderang.
“Mari kita pulang puan, besok, jika kau mau ke sini lagi aku antar” ujar lelaki gila itu.
Aku diam dan menurut. Kubiarkan kue cokelat teronggok tanpa tuan di dipan beratap rumbia. Entah ribuan senja sudah kulewati, di ruang mana aku bertanya cinta itu bentuknya apa. Hingga aku seperti tidak lagi sadar diriku sendiri, menanti orang yang tidak lagi mungkin kembali.
Biyan, Biyan, kupanggil lirih-lirih namanya. Aku dan lelaki gila itu berdiri, pelan kami menyusuri pantai. Butir pasir menyentuh kaki, aku menatap lelaki gila itu. Dia tersenyum manis sekali dan ribuan lebah seperti terbang melalui kupingku.
“Puan, mari pulang, minum obatmu dengan benar. Jangan lagi berlari seperti ini sendiri. Kau bisa mati seperti Biyan kalau seperti ini terus dan aku tidak mau itu terjadi. Ingat puan, kau harus hidup dengan sisa kesadaran yang kau punya dan cinta yang kumiliki akan terus menghidupi jiwa kita. Kau tidak gila puan, hanya kau sedang patah hati. Mari kuantar kau pulang” ujar lelaki di sampingku.
Aku menatapnya. Dan senja pun luruh, malam menjuntai sempurna. Bayang perahu nelayan di kejauhan dan lampunya bergoyang mengikuti debur. Senja kali ini sama seperti senja yang kemarin. Sama saja.
#Gui Susan. Seorang ibu, 8 Januari 2008. Teruntuk senja yang temaram, yang terakhir dilukis; hati.
Sumber: Kompas, 4 September 2012
05 September 2012
Yang Menunggu Senja
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar