Cerpen Baequni Mohammad Haririe
Sejak
pertemuan pertama aku dengan Lia di sekolah, jujur saja, aku mulai
kepincut dengan lentik bulu matanya, bibir sensualnya dan semampai
tubuhnya. Entah, sejak kapan aku mulai mengenal benih-benih rasa ini?
Padahal, belum pernah sekalipun, aku dan Lia bertatap-muka secara
langsung atau bahkan berbicara empat mata (mungkin tensi cintaku akan
bertambah bila mendengar suaranya, Oh). Aku terlalu malu lantaran Lia
adalah gadis yang menjadi pujaan sekolah.
Saat itu, secara tak
sengaja, Lia melihatku terlambat masuk kelas. Dari balik jendela
kelasnya (Lia berbeda kelas denganku, namun sama-sama setingkat; kelas
Tiga SMU. Ruang kelasnya bersebelahan dengan ruang kelasku), ia
menatapku sembari melemparkan senyum. Bahagia sekali rasanya, meskipun
kemudian aku dihukum juga, berdiri satu kaki selama 10 menit karena
terlambat. Tapi seolah terbayarkan oleh senyum Lia. Sepanjang 10 menit
itu seperti 1 menit saja, senyum manis Lia yang menguatkan kakiku,
berdiri gagah di hadapan teman sekelasku. Ah, aku jatuh cinta,
benar-benar jatuh cinta kepada Lia.
Tak terasa, sudah hampir 4
bulan lebih, aku hanya mengagumi Lia. Tanpa pernah mengungkapkan
perasaan cinta yang menggebu-gebu terhadapnya. Aku pun tak pernah
berusaha menarik perhatiannya, padahal, tak jarang dan tanpa ragu-ragu,
Lia seolah-olah selalu mencuri perhatianku. Yah, hampir setiap pagi,
sebelum masuk kelas, kusempatkan melirik wajah Lia dari balik jendela
kelasnya, Lia selalu membalas dengan melemparkan senyum mautnya
kepadaku. Apakah Lia merasakan hal yang sama terhadapku?
Kubuang
jauh-jauh perasaan itu, mungkin cintaku bertepuk sebelah tangan.
Mungkin saja Lia memang ramah, tersenyum kepada siapa saja. Ah,
benar-benar gadis istimewa. Cantik, anggun dan murah senyum. Tak heran,
teman-temanku selalu membicarakan Lia sepanjang waktu istirahat; di
kantin, di tongkrongan favouritku di halaman belakang sekolah dan
setelah lonceng tanda pulang, berlomba-lomba menarik perhatian walau
hanya sekedar berebut menyapanya.
Teman-temanku tak pernah tahu,
apa yang sedang menggelisahkan hatiku. Aku pun tak pernah menceritakan
perihal rasa sukaku kepada Lia ke orang lain, pun kepada sahabat
dekatku. Aku pendam sendiri. Entah, selalu saja seperti ada sesuatu
yang menghalangi setiap kali hendak kusampaikan perasaanku ini kepada
Lia langsung. Ada saja yang kemudian membuatku tak berani
berterus-terang, jangankan menitipkan salam kepada teman sebangku Lia,
menulis surat cinta untuknya saja, tinta penaku seperti tiba-tiba
berubah menjadi sama pengecutnya, dingin dan mengering.
Genap
sudah, kurun waktu 5 bulan tak pernah menuntaskan tanggungjawabku;
menyatakan cinta kepada Lia. Dan selama 5 bulan, senyum Lia tak pernah
bisa kuterjemahkan. Tapi anehnya, Lia tak pernah bosan melemparkan
senyum itu, setiap pagi setiap bertemu denganku, senyum yang membuatku
terus bertanya-tanya; untuk apa? Apakah sengaja untuk menyiksaku? Ah
Lia, aku sudah cukup tersiksa lantaran menyimpan perasaanku sendiri
terhadapmu selama ini.
***
Agenda menyiapkan acara
perpisahan sekolah, sedikit menjauhkan konsentrasiku terhadap Lia,
tensinya sedikit menurun tapi bukan berarti hilang. Seremonial tahunan
ini, kebetulan dipasrahkan kepada teman-teman sekelasku yang menjadi
panitia. Tugasku, menyiapkan draf pengisi acara; mulai dari menentukan
MC, jenis acara hiburan dan lain sebagainya. Aku ingin membuat
perbedaan di acara perpisahan kali ini. Menampilkan pertunjukan yang
berbeda dari tahun sebelumnya, biar lebih berkesan. Aku mengusulkan
untuk mengundang group Band asal sekolah lain, sebagai acara pamungkas
setelah acara formal berakhir.
Usulku langsung diterima oleh
ketua panitia perpisahan, Fahrul, yang juga sebagai penangungjawab soal
penentuan mata acara. Maka, segera kuhubungi teman yang menjadi vokalis
di group Band “Pantura” itu. Setelah menyepakati tanggal dan harinya,
aku menyiapkan pilihan pengisi acara yang lain. Lumayan melelahkan
kerja otak, kesibukanku kian bertambah disamping harus terus giat
belajar dan menyiapkan mental menghadapi ujian akhir nanti.
Setelah
semua rangkaian acara perpisahan selesai dimusyawarahkan dan disepakati
bersama, akhirnya konsentrasi kami beralih; menuju ujian akhir.
Berkaitan dengan persiapan itu, semua murid kelas tiga mendapatkan jam
tambahan, selama 3 jam setiap hari. Aku beruntung, jam tambahan
tersebut membantu sisi mental dan kesiapan belajar. Tapi ada saja,
beberapa teman yang mengabaikan bahkan seolah tak membutuhkan jam
tambahan.
***
Akhirnya ujian akhir terlewati, aku lulus,
meskipun dengan nilai yang tidak begitu memuaskan. Teman-temanku
merayakannya dengan beraneka ragam ekspresi, mencorat-coret baju dengan
cat pilok, berkerumun sambil bernyanyi, memberikan kado kenang-kenangan
kepada guru favouritnya masing-masing, saling mengisi buku
diary, berphoto bersama, bertukar cinderamata dan ada juga yang
merayakannya dengan biasa-biasa saja, tanpa luapan kegembiraan.
Sementara, aku hanya bercanda di depan kelas. Semua siswa kelas tiga
kali ini lulus 99%, sehingga suasana bertambah meriah.
Widianto,
salah-satu teman sekelas yang tidak bisa mengikuti ujian lantaran
mengalami kecelakaan berat, 10 hari sebelum ujian akhir berlangsung, ia
masih dirawat di rumah sakit. Kabarnya juga masih dalam keadaan koma.
Sampai ujian berlangsung, Widianto tidak bisa mengikutinya, dan
otomatis harus mengulang di tahun berikutnya. Aku berusaha mengingatkan
teman-teman, pasca perayaan pelulusan, kami berencana menengok Widianto
di rumah sakit.
Tiba-tiba, dari arah belakang, Lia, idola sekolah
yang selama ini sempat kusimpan namanya, menyapa teman-temanku. Dengan
suaranya yang renyah dan ramah, Lia mengucapkan selamat juga kepadaku.
Aku sempat grogi dan terbata-bata membalas ucapan selamatnya. Dan
ketika mendengar rencana kami hendak menjenguk Widianto, Lia berusaha
untuk ikut menjenguk. Jadilah kami berebut untuk menawarkan tumpangan;
rencananya kami naik motor ke rumah sakit. Walhasil, tanpa diduga-duga,
justru aku yang ketiban rezeki, Lia ikut denganku.
Sepanjang
perjalanan ke rumah sakit, aku tidak banyak bicara dengan Lia. Terus
terang, rasa deg-degan dan grogi masih bersarang di dada, apalagi
tangan Lia menggamit perutku seperti layaknya dua sejoli yang sedang
dimabuk asmara. Tentu saja, sikap Lia terhadapku membuat teman-teman
seperjalanan merasa cemburu. Walaupun kita sama-sama tahu, Lia belum
punya pacar.
Tiba-tiba perasaan ingin mengutarakan rasa cinta
kepada Lia terbersit seketika itu juga, selama perjalanan itu aku
berusaha mengendalikan detak jantung yang kian kencang, sekencang laju
motorku membonceng Lia. Berusaha memilih kata-kata yang sekali
dilepaskan, tepat mengenai jantung hatinya. Berusaha memilih waktu
untuk melontarkan panah asmara kepadanya. Tapi sia-sia, jalanan
beraspal itu malah tidak sedikitpun memberikan celah. Seolah
seperjalanan ke rumah sakit adalah perjalanan yang juga menyedihkan,
tak sepatah kata rayuan pun kulontarkan, bahkan untuk sekedar
berbasa-basi kepada Lia, aku berubah menjadi seorang pengecut. Ah,
kesempatan yang kusia-siakan ini tidak akan datang dua kali, sesalku
dalam hati.
Setelah dari rumah sakit, kami kembali ke sekolah dan
bubar ke tempat masing-masing. Aku sendiri masih betah bercengkrama
dengan beberapa teman di sekolah. Hingga tak terasa sore pun tiba, aku
pulang. Pulang membawa cerita yang tak mungkin bisa kuceritakan kepada
siapapun, malu rasanya. Cerita seorang pengecut yang membonceng gadis
paling cantik di sekolah. Penyesalan itu memang akhirnya dikodratkan
muncul di akhir dan berakhir menyakitkan.
***
Kupendam
sendiri rasa cinta ini kepada Lia, hampir tak pernah seorang pun yang
tahu. Sedangkan Lia, masih menjadi rebutan. Masih ada kesempatan,
hiburku dalam hati. Saat pembagian raport dan acara perpisahan nanti.
Bila saat dua acara itu tidak juga kusampaikan, sirnalah sudah. Gadis
itu mungkin sudah terpaut dengan pujaan hatinya, sudah keburu
mendapatkan seorang arjuna. Dan aku, akan terus gigit jari sepanjang
hidup.
Suatu malam, Fahrul, ketua panitia perpisahan,
menyambangiku. Ia menanyakan banyak hal terkait soal persiapan dan mata
acara yang akan ditampilkan. Kami berdua terlibat diskusi dan obrolan
yang serius, hingga berakhir menjelang dini hari. Untuk kemudian,
bergulir pada satu tema obrolan yang menurutku; baru pertama kali
inilah Fahrul membahasnya. Fahrul orangnya ganteng, tinggi putih,
proporsional dengan kecakapannya di kelas.
“kamu pernah jatuh
cinta?” Fahrul mengawali. Tentu saja pertanyaannya membuatku sedikit
kaget. “belum, aku belum menemukan gadis sesuai kriteria.” Jawabku
datar. “begini, mungkin ini kedengaran agak janggal, tapi dari cerita
yang kudengar, katanya kamu punya semacam ilmu pelet?” Tanya Fahrul
setengah berbisik. Tentu saja aku terkejut mendengar pertanyaannya ini.
“ah, siapa yang bilang?” aku mencoba membela diri, lagian memang
pertanyaannya aneh. “banyak kok yang bilang, sudahlah, ngaku aja, apa
susahnya sih berbagi? Jangan pelit begitu…” Fahrul terus mencecarku.
Sampai hampir beberapa kali aku mencoba menjelaskan apa adanya, namun
agaknya Fahrul tidak begitu percaya, entah siapa yang telah
menggulirkan issu soal ilmu itu.
Untuk kesekian kalinya, Fahrul
mencoba terus meminta paksa. Aku pun tak mau kalah mencoba
menjelaskannya dengan segala tetek-bengek kenyataan bahwa aku tidak
punya ilmu sejenis itu, memangnya aku ini dukun? Umpatku dalam hati.
Aku mencoba mengalihkan tema perbincangan, namun Fahrul tidak
terpancing, kembali lagi ke soal tadi. “kamu kan ganteng Rul, ngapain
juga pake ilmu pelet segala?” Aku mencoba merasionalkan apa yang hendak
dilakukan Fahrul.
Hingga pada situasi yang tidak bisa
kuhindarkan, Fahrul benar-benar membuatku tidak bisa berkutik, bukan
lantaran aku punya ilmu pelet itu, tapi menghindarinya pun rasanya akan
semakin menyulitkan posisiku. Bisa-bisa ketika acara perpisahan sekolah
nanti, aku ditendang dari kepanitiaan, pikirku.
Akhirnya, sebisa
mungkin aku mengad-ada. Asal segera menyudahi perbincangan dengan
Fahrul, memusingkan. “kamu baca penggalan ayat ini, 7 kali setiap habis
sholat lima waktu, sambil puasa tiga hari berturut-turut. Kalau sudah
selesai, kamu baca dalam hati di depan cewek yang kamu sukai sebanyak
7x.” kupilihkan penggalan ayat dari salah-satu surat di alQur-an. Aku
sendiri tidak tahu, ayat itu sesungguhnya berfungsi untuk apa. Pokoknya
asal Fahrul segera hengkang dari hadapanku, tidak lagi merengek-rengek
meminta sesuatu yang aku sendiri memang tidak punya yang dimintanya.
Dengan rasa puas, Fahrul mengucapkan: Qobiltu!
***
Perpisahan
pun tiba, aku sibuk dengan hal-hal teknis. Mengoptimalkan dekorasi
panggung, mengatur rangkaian acara dari awal hingga akhir, mengatur
jadwal bintang tamu, menjamu Band temanku dan lain sebagainya. Semua
bergembira, bahkan kepala sekolah yang sejak awal agak kurang setuju
dengan tema perpisahan, terlihat ikut menikmati juga semua penampilan
murid-muridnya. Di bangku terdepan, bersama guru-guru yang lain dan
tamu undangan, wajahnya kelihatan cerah. Dari sekian penampilan, yang
paling memukau adalah persembahan dari Band temanku. Lagu-lagu hits dan
populer saat itu, dibawakan dengan baik dan atraktif. Membuat semua
orang turut berbahagia, tak terkecuali pak Amin, guru Matematika yang
galak itu.
Alhamdulillah, tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan. Semua berjalan lancar dan terkendali. Acara perpisahan pun
selesai sudah. Teman-teman banyak yang masih terbawa sisa perpisahan
serta bercengkrama di sekitar panggung, tenda dan bangku-bangku yang
masih berjejer. Di depan kelas, di teras kantor dan sekitarnya.
Ditengah kesibukanku turut membereskan panggung, tiba-tiba Fahrul
menghampiriku. Berbasa-basi sebentar kemudian membisikku “makasih ya
atas ilmu pelet-nya. Sukses besar. Ayo kita ke warung, aku traktir kamu
sepuasnya.” Katanya.
Aku mengiyakan ajakannya. Aku penasaran,
siapa sih gadis yang telah membuatnya sampai tergila-gila begitu?
Sampai rela melakukan yang kusuruh. Aku makin penasaran ketika Fahrul
juga hendak memperkenalkan gadis pujaannya nanti di warung. Maka,
kuserahkan urusan beres-beres panggung kepada Toni, teman sebangku. Aku
mengikuti Fahrul, beranjak menjauhi panggung utama. Dari sebuah warung,
yang jaraknya tidak begitu jauh dari lokasi sekolah, masih bisa kulihat
semua aktivitas teman-teman yang ada di depan sekolah. Aku pesan kopi
dan menyantap makanan ringan. Fahrul terlihat begitu antusias
mentraktirku. Hampir semua makanan ringan yang ada di warung,
ditawarkannya. Aku sih, oke-oke saja, mumpung gratis, lagian memang
lapar.
Sampai pada intinya, Fahrul menunjuk ke arah gedung
sekolah, di depan kelas, ada seorang gadis yang terlihat sedang
menyendiri. Terpisah agak jauh dari teman-temannya. “itu pacarku, gadis
yang kuburu dari setahun lalu. Berkat ilmu pelet yang kamu berikan,
akhirnya kesampaian juga.” Fahrul memberitahu dan menjelaskan penuh
bangga. Aku berusaha menangkap wajah gadis itu, agak kurang jelas
lantaran lalu-lalang teman-temannya menghalangi pandanganku. Aku terus
meneropongnya, tak jua berhasil.
Fahrul terus menunjuk-nunjuk,
seolah-olah aku tidak boleh salah menangkap wajah salah-satu gadis di
depan kelas itu. Gadis yang menjadi belahan jiwanya. Karena agak jauh,
aku mencoba konsentrasi melucuti wajah gadis satu-persatu dari sebuah
warung. Setelah beberapa menit, gadis itu tak lagi menunduk, wajahnya
mulai nampak. Perlahan-lahan kuamati wajah putihnya, kukenali sebisa
mungkin. Semakin jelas. Dan, Hah…?! tanpa sadar, gorengan tempe di
mulutku jatuh. Gadis itu ternyata Lia! Gadis incaranku juga. Sialan
kau Fahrul!!! geramku.
Cirebon, 2011
Baequni Mohammad Haririe
Aktif berkegiatan di Komunitas Seniman Santri (KSS)
Sumber: Kompas, 26 September 2012
29 September 2012
Ijazah Pelet
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar