Cerpen: M. Nurcholis
Tidak ada yang lebih tabah daripada musim dingin di Exeter. Jalan-jalan aspal tertutup tebalnya salju yang turun hampir seharian. Udara telah tunduk pada kedinginan yang berada dibawah temperatur lima belas derajat Celcius. Pepohonan Ek pun enggan untuk sekedar memperlihatkan pucuk-pucuk daunnya. Mereka berdormansi—beristirahat selama musim salju—membiarkan salju sejenak menyelimuti ranting-ranting mereka. Beberapa orang berjalan menunduk sambil sesekali menyingkirkan salju yang menggunung di depan mereka. Jalanan hampir sepi. Hujan salju dan angin yang beku membuat mereka enggan bepergian. Hanya kehangatan keluarga pada masing-masing rumah yang dapat sedikit mengusir musim dingin yang kian menjepit.
Aku masih menunggumu di Lleyton Café, pinggir Gladstone Road, tak jauh dari Universitas Exeter—sejak satu jam yang lalu. Satu cangkir cokelat panas serta dua potong keik keju telah menemani kebosanan yang kerap datang bersama salju yang turun di luar. Menunggu, adalah hal yang membuat manusia lekas menua, ucapmu pada suatu waktu ketika aku harus datang terlambat menjemputmu di St. Davids Railway Station—sepuluh tahun lalu. Kau menekuk wajahmu, menjatuhkan bibirmu dan diam saja saat aku meminta maaf.
Kubilang, aku harus mengantarkan ibuku pergi ke kebaktian Minggu. Namun kau tidak menghiraukanku. Kau justru melihat ke arah kereta yang sedang datang, yang kemudian segera pergi, seolah aku hanyalah rel yang sedang diam itu.
Lalu aku akan menggodamu. Semakin cemberut wajahmu, semakin menggemaskan saja, seperti buah apel merah yang ranum. Aku sedikit berseloroh, bahwa wajahmu semakin tua sepulang dari Glasgow. Kukatakan, apakah karena perlombaan Matematika di sana yang telah membuat wajahmu berkerut-kerut seperti itu, atau jangan-jangan karena menungguku seperti yang kau katakan barusan. Kau menatapku dengan sebal, dan syukurlah itu tatapan pertama padaku setibanya aku di stasiun ini. Tanpa berkata-kata kau menyodorkan kedua kopermu, aku segera menerimanya. Kemudian kita berjalan berdampingan menyusuri peron stasiun. Sesekali aku akan menggodamu kembali, kau masih diam. Namun aku tahu, sesekali pula kau akan tersenyum. Dan saat itulah aku mengetahui bahwa kau telah memaafkanku.
Aku masih hafal betul tempat duduk favorit kita. Di sebuah meja dengan dua bangku kecil yang berada di pinggir jendela ini untuk melihat bangunan kota kita yang sedang diselimuti oleh nyala putih salju. Dari sinilah kita mulai menikmati kehangatan cokelat yang mulai menjalar di dada sembari memandangi keindahan bangunan-bangunan yang kental dengan aroma Victoria. Kau mengulum senyum, cantik sekali, memperlihatkan lekukan kecil di kedua pipimu yang seperti lembah pada bukit hijau. Tidak ada yang menandingi indahnya wajahmu saat itu, tak terkecuali Exeter pada musim salju.
Waktu adalah seperti lilin menyala yang semakin memendek. Sepuluh tahun lalu, hanya terasa seperti hari kemarin. Rupanya kenangan adalah hal terdekat yang takkan mungkin kita gapai. Sepuluh tahun lalu, kita bertemu pertama kali di Universitas Exeter. Saat itu, setelah selesai mengikuti perkuliahan yang sama sekali tidak aku perhatikan, engkau pasti menyempatkan diri membaca ringkasan kuliah di bangku taman, di bawah pohon ek tua yang tengah meranggas menghadapi umur yang semakin kendur. Saat itu, diam-diam aku akan mendekatimu, menyapamu dan bila perlu aku akan duduk sejenak untuk menanyakan perihal ilmu falak yang baru saja kita bahas. Seringnya, kupandang wajahmu, kulihat kejernihan matamu serta kunikmati tiap desahan nafas yang keluar dari bibirmu. Aku tahu dan semakin mengerti, bahwa waktu tiada berarti apabila aku bersamamu. Saat itulah aku kekal; hanya kau dan aku.
Waktu pula yang telah memangkas umur-umur kita. Membuat tubuh kita semakin berkarat tersebab oksidasi hidup. Sepuluh tahun lalu, di tepi Exe River di bawah pohon cemara yang tetap menghijau pada musim salju, kita saling berdampingan menggenggam tangan. Kita duduk di pinggir sungai, menyaksikan air sungai sedang mengalirkan butiran salju yang turun seperti guguran kapas. Selepas itu, aku menatap wajahmu saat tepat kau menoleh kepadaku pula. Aku segera memalingkan wajah kembali ke arah sungai. Pada saat itu kulihat air sungai yang sangat jernih menampakkan dasarnya, air bening yang memantulkan segala bayangan pepohonan, langit, serta kita di atasnya—entah mengapa, padahal saat itu musim salju. Sudah kubilang, bersamamu segalanya akan menjadi indah. Barangkali surga itu adalah dirimu.
Namun tak lama kemudian aku merasakan kemuraman pada dirimu. Kau pandangi saja sungai yang tiba-tiba nampak mati oleh salju, genggaman tanganmu semakin erat. Salju yang turun satu-dua helai seolah jatuh sangat pelan, seperti bulu yang melayang di udara.
“Frank, bisakah kita tetap saling mencinta tanpa hidup bersama?” engkau tiba-tiba menanyakan hal tersebut. Hal yang menyebabkan udara dingin tiba-tiba menusuk paru-paruku, menyayatnya, meninggalkan bekas luka yang menganga. Sejenak aku tercekat, dengan terseret kau mengatakan kepadaku bahwa kau harus pergi ke sebuah negeri di mana tak akan pernah ada musim salju. Kupikir, kau telah bercanda kepadaku. Namun kau tetap murung. Di pipimu mengalir anak sungai baru dari kedua mata sendumu. Lantas aku tersadar bahwa bulir-bulir salju juga jatuh dari kelopak mataku.
Engkau tersenyum getir, meyakinkanku bahwa engkau akan pergi hanya sementara waktu. Aku akan menyelesaikan studiku, mungkin ini butuh waktu yang lama, dan tentu menyedihkan karena harus berpisah denganmu, begitu katamu. Aku diam, memalingkan wajahku melihat jajaran cemara yang kedinginan, kesepian. Lalu engkau berkata kembali, Aku akan kembali, tunggu aku di kafe favorit kita. Lalu kita berpelukan, jaket wol kita mengembang, udara di sela-selanya berjejelan. Sisanya, menghangat, menghilangkan kedinginan yang sebentar lagi akan membekukan isi hati kita…
Sepuluh tahun kerinduan, sepuluh tahun kesunyian, sepuluh tahun musim salju menyedihkan. Aku terus mengingat janjimu itu, dimana kita akan hidup bersama, menikmati bersama hari-hari yang selalu bertanggalan. Aku masih menunggumu. Sampai kini. Sampai salju Exeter telah menenggelamkan segala kenangan yang tersisa.
Kalibata, April 2011 M. Nurcholis lahir di Cilacap 22 Juni 1986. Menulis cerpen dan puisi di waktu senggangnya mengabdi kepada negara sebagai Pegawai Negeri Sipil. Bergabung di Komunitas Epistoholik Alumni STAN.
Sumber: Kompas, 30 September 2011
06 Oktober 2011
Exeter, Sepuluh Tahun Kesunyian
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar