Pernah di Suatu Masa
di suatu masa, ketika mentari menjadi seorang raksasa berhati durjana
bidadari bermata senja pernah meminta,
“tuan, berjanjilah engkau akan mendatangiku
ketika sayapmu sudah berjumlah dua tujuh
dan engkau akan terbang
membawaku
ke sangkar rimbun katakata di langit kesepuluh”
tentu saja janji itu tak pernah aku lupa
bahkan kini
ketika rahwana durjana
menjelma seolah ramayana bermata telaga
aku ingat sempat berkata, “aku akan mendatangimu”
bermasamasa kemudian
ketika sajaksajak mempertemukan
bidadari itu lantas kembali berkata,
tepat ketika sayap ke dua tujuh
tumbuh di lengan
di saat katakata berpeluh
mencapai puncak langit ke sepuluh
engkau salah tafsir
aku tidak hendak mendatangimu
tetapi meniadakanmu
dan kini, perlahan lelehan salju mulai membekukanku
Margahayu 23012012
Untuk Sebuah Janin
Saat senja bermaklumat
Hendak menggantikan cahaya jingga
Sebait sajak mengalir lewat lengkung pelangi
: Serenada
Untuk janin berisi sajaksajak
: Semoga kelak engkau lahir bersama katakata
Karena tiada pernah sekali pun berkhianat mereka
: Cepatlah besar dan bernyanyilah bersama rima
Biar hidupmu niscaya riang, segenap sukma penuh gembira
: Hisap terus baitbait susu dari payudara ibumu
Kelak bila kau besar kukisahkan dongeng indah tentang sebuah cinta berjudul kamu
: Tertawalah Nak, jangan hiraukan pemandangan menyedihkan di sebelah kiri
Kenestapaan, kenelangsaan, sementara biar aku dan sajakku yang menghadapi
: Bermainlah engkau dengan sajak yang telah kubuatkan untukmu
Percayalah Nak, hanya sajak bisa menentramkanmu
: berdoalah kepada Tuhanmu dengan sebaikbaiknya doa dan seindahindahnya sajak
Karena Tuhan tiada pernah berjarak
GA. 24012012
Mimpi
Menyesal saat pagi
Dalam rintik-rintik hujan di akhir Januari
Ternyata hanya mimpi
mimpi
Terbangun dengan sedikit sisa rautmu
Rautmu
GA. 25012012
Pernah di suatu malam
Pernah di suatu malam
bintangbintang meilhat pendaran dua hati
mengelilingi sudutsudut taman berkilauan
Mawar perlahan rekah di atas tanah yang masih basah oleh gairah
Gelisah gundah; gelisah resah; gelisah punah...
Keciprak tawa lamatlamat membungkus segala duka
nestapa lenyap melayap dalam lubang palung maha dalam, di malam itu
Dara, dengan apa lagi aku bisa menunjukkan kesungguhan
bila pendaran dua hati kini tersaruk
terpuruk
GA. 12012012
Sajak Pilu
Kusibak waktu dengan malumalu. Detik perlahan meninabobokan ku dalam kemesraan masa. Engkau berjalan tampak seperti tetes embun yang bergalayut pada dedaunan di waktu subuh. Menunggumu ingin rasanya kupercepat waktu. Bersamamu, ya Tuhan, lambatkanlah waktu.
Mari kuajak kau mengelilingi tamantaman dengan putaran roda tua berwarna merah delima. Meski berdua tak mampu membaca bunga, toh kita bisa menafsirkannya. Kutafsir bunga adalah kamu. Kuharap, dalam tafsirmu adalah aku. Sepetik bunga milikku, kau renggut. Bunga milikmu kau dekap erat. Lantas kau petik tiap kelopaknya. Membuang satu demi satu sambil bergumam. Entah apa yang kau gumamkan kala itu, aku merasa lebih piawai menafsir bunga daripada kamu.
Aku tahu mentari sedang menggoda kita. Sinarnya terlalu mendera. Kau dan aku, mari menjelma kupukupu. Terbang sambil melawan sinar dengan kepakan sayap kita yang meneduhkan. Ikuti aku kekasihku, ada anakanak nakal dengan jaring di seberang kolam itu. Cepat, aku takut mereka akan menangkapmu dan membiarkanmu menghiasi imajinya. Sedang kau hanya satu. Aku enggan bila dalam imajiku kau selalu berupa sajak pilu.
GA. 16012012
Kutafsir Senja Kamu
Senja mulai berencana mengetukngetuk pintu langit temaram
Jejakjejak burung di lelangit keemasan mulai terpecah
Sajak jiwa biar aku imla di ujung masyrik: agar kau tahu aku ada
sayupsayup kudengar celotehan anakanak guyub bermain petak umpet:
1...2...3...4...5...! Kena...!
Nah, kamu tertangkap, bersembunyi di belahan hati timur
Tidakkah demikian?
Melihat jejakmu di suatu sore ibarat menatap dedaunan sakura yang gugur tersibak januari
Lantas terinjak wisatawan pecinta senja di sebuah hamparan telaga
Ah, apa lagi yang hendak dikata
Saat kutafsir senja kamu
Saat itu pula kamu hadir di belahan bumi maha luas nan indah sebelah utara
Pernah aku bersembunyi menghindari senja ke timur sambil tertatihtatih mencari tiada sesiapa. Merangsek ke bawah perut bumi bersemayam dalam gelap bersahabat dengan pekat. Burungburung hantu sempat pula mengambil ruhku dan menyemaiku di dalam rohnya: ya, itu aku yang bersuara tiap malammalam sunyi sambil bertengger di atas pohon depan rumahmu.
Senja ternyata tidak serupa dengan cahaya. Ia tidak berkhianat dengan gelap. Senja tetap ada meski dalam sekatan pekat. Senja ada. Ia hanya tiada kini dan esok sementara. Sementaranya ada dan akan menyapa ia terus hingga terambil sebuah nyawa: Itu aku
GA. 19012012
Reka Yuda Mahardika adalah mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia. Sambil kuliah ia bekerja di perusahaan multimedia dan juga seorang guru bahasa Indonesia. Ia tergabung dengan komunitas sastra imajinasi mandiri. Dapat ditemui di FB/email tuxedobertopeng01@yahoo.com
Sumber: Kompas, 27 Februari 2012
28 Februari 2012
Puisi-puisi Reka Yuda Mahardika
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar