Biografi Sunyi Sepasang Sapi Sonok
Kami adalah perempuan-perempuan yang dilahirkan pulau ini. Pulau yang memiliki
tarian sunyi. Pulau yang mengikat hati kami. Seperti dalam sebuah mesteri. Hingga kami
tumbuh menjadi penari-penari yang setiap hari mesti mendengar bermacam bunyi
yang berasal dari dasar pulau ini. Dan merasuk ke dalam jiwa kami.
Angan kami melayang tinggi. Mengarungi mimpi yang dibawa bulan dan matahari. Dan kami
taklukkan keduanya dengan tarian paling sunyi. Dan kami bawa berlari ke jantung pulau ini
yang detaknya tak pernah mati. Lantaran di dalam jiwa ini selalu kami
nyanyikan bait-bait puisi. Ya, puisi yang telah menyatukan jiwa kami dan jiwa pulau ini.
Caturtunggal, September-Oktober 2011
Keringat Sapi Kerapan
Keringat itu menyamai bercak darah di punggungku. Mengalir ke goresan luka-luka yang
desahnya terdengar lampaui pulau ini. Sampai rasa perihnya menjadi matahari yang meleleh
di atas tandus pulau ini. Meresap ke daging tulangku. Menyala di kedua mataku.
Aku berlari di atas nyala api. Dengan bunyi mimpi yang kau kalungkan di leher dan kaleles
yang kubawa berlari. Sambil kubakar pulau ini. Sambil kubakar bayanganku sendiri. Sampai
tak kudengar lagi desis mati. Sementara api itu telah menjalar ke jantung hati.
Maka kukekarkan lagi kaki. Kuterjang bumi ini lebih kuat lagi. Sampai tanahnya berhamburan
ke langit sunyi. Bersama percik-percik luka yang mulai menyala dan bersuara dari kedalaman
jiwa. Kubawa ia terus mengembara. Sebagaimana api itu terus berkobar di dalam jiwa.
Sleman, 2011
Jalan Seorang Penyair
Seorang penyair berjalan menempuh jarak yang tiada batas. Melewati semak dan belukar di
tiap-tiap bait yang ia takar. Kemudian ia pun harus menyusup ke tengah malam yang gigil
dalam kesunyiannya. Agar suara kakinya yang paling datar terdengar lantang
ke langit lalu tumpah kembali ke bumi. Menjadi kelopak-kelopak yang bermekaran di
sepanjang jalan.
Ya, penyair itu telah tumbuh menjadi pohon di dalam puisinya. Harum kembangnya. Ranum
buahnya. Di ranting yang bercahaya. Terus bersuara.
Yogya,2011
Surat dari Seberang
Elyana, baru saja selesai kutulis paragraf ke tiga. Setelah di paragraf pertama dan kedua
aku sempat tersesat di antara aksara-aksara samar yang sukar
kulihat warnanya; seperti cerah, seperti teramat tawar. Di paragraf ini aksara itu kulihat lebih hidup seperti letup jantungmu yang setiap pagi mengejar ombak di tengah laut. Suaranya bergemuruh lintasi kampung kita itu. Bahkan di dalam dadaku seperti ada ruang waktu untuk
menampungnya.
Elyana, di paragraf ke empat aku belum menemukan aksara bernyawa sebagai pembuka
bahkan dalam tubuhku yang penuh luka darah dan perihnya tak kunjung menyala. Hanya
sempat kudengar suara-suara gelombang bersahutan dari dalam tubuhku.
Ya, dari luka yang menganga, Elyana, ombak mulai datang membawa serta matahari dan bulan
dari seberang. Menuju suratku. Hingga dalam waktu tak kuduga surat itu telah sempurna. Dan
besok pagi sudah bisa kau baca.
Yogya, 2011
Imaji I
:buat Nika Prince Kamilah Jiwa
Kita bersama-sama
menempuh jalan
yang memanjang ke langit
dengan kaki-kaki
baru
yang menyala
di pelupuk mata.
Suaranya
ikut memanjat bak doa
dan lebih dulu sampai di sana.
Kita bersama-sama
menjaga cahaya yang ada
merapikannya, merangkainya
dari kaki hingga kepala
sampai dalam jiwa
Sebab getar itu
semakin dekat dengan nadi kita
Yogya, 2011
*F. Rizal Alief adalah nama pena dari Faidi Rizal, lahir di Sumenep Madura, 15 November 1987. Alumnus MA NASA dan Madrasah al-Huda Gapura. Kini masih tercatat sebagai mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab fak. ADAB dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pernah aktif di Lesehan Sastra dan Budaya KUTUB Yogyakarta, Sanggar Nuun, Komunitas Jum’at Malam Gajahwong Yogyakarta. Tulisannya termuat dalam media massa nsional dan lokal seperti; Majalah Horison, Kompas.com, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Jawa Post Group, Lampung post, Surya, Surabaya Post, Banjar Masin Pos, Majalah Annida, KR Bisnis, Koran Merapi, Minggu Pagi, Majalah Actifita dll, juga terkumpul antologi tunggal dan bersama.
Seperti; Mengukir Cahaya Ramadhan (Puisi bersama, 2011), Kitab Lintas Musim (Puisi tunggal, 2011) Bulan Purnama Majapahit Mojokerto (Cerpen bersama, 2010) Bukan Perempuan (cerpen bersama, Obsesi, 2010) Rendezvouz di Tepi Serayu (cerpen bersama, Obsesi 2009) Narasi Batang Rindu (pangabesen.publishing puisi bersama 2009).
Lewat puisi “Sepasang Puisi di Kota Tua” ia dinobatkan sebagai juara III bulan Oktober 2011 di kota Padang dan mendapat kesempatan untuk wisata sastra ke Malaysia. Kini aktif juga di Komunitas Rumah Senja Bandungan Madura.
Sumber: Kompas, 1 Februari 2012
02 Februari 2012
Puisi-Puisi F Rizal Alief
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar