Cerpen Venesia Xandria
“Positif, Oh Tuhan...aku takut sekali. Ternyata hasilnya positif.” Gumaman itu adalah gumamanku lima tahun lalu, sebelum sekarang aku melihat sendiri bayi mungil keluar dari pintu rahimku. Setelah itu ribuan pikiran datang menghantam dari segala penjuru.
Waktu itu, terlintas pikirian Apa yang akan terjadi 9 bulan kedepan? Membuncit? Dibuang? Dikucilkan? Atau akan berkutat dalam 1 kata yaitu “terasing”. Apa semua orang terkasih mampu menerima? Lalu apa aku takut? Ah..jujur aku memang takut menanggung derita sedemikian rupa waktu itu, menelan pil pahit sendirian. Dalam kelam-kelam malam yang akan terlewati sendiri dalam sunyi yang sangat. Malam pun akan semakin buas mengigit. Rapuh dan lunglai aku akan merana.
Tentu sembilan bulan kedepan akan ada derita tidak tertangguhkan dan pasti akan sulit dihadapi jika berjalan sendiri. Ketidakmampuan berdamai dengan siapa pun akan menjadi cerita yang sangat pilu. Aku bertekad akan menyimpan sendiri berita itu, tidak pada bulan maupun matahari aku sanggup berbagi. Tidak pada kawan sekalipun musuh aku berniat bercerita. Ini apa yang harus kutanggung dengan harga diri yang masih tersisa.
Sesaat setelah mendapati hasilnya positif, Aku menaruh alat kecil berwarna putih itu ke atas meja rias. Aku duduk diam dan berfikir. Berfikir? Perihal apa? Semuanya sudah jatuh ke tanah. Terkubur dan akan segera mati dimakan belatung. Hamil, mempunyai anak, dan menjadi ibu adalah gambaran 9 bulan kedepan.
Akan ada sosok lain dalam perutku ini. Bisa jadi anak laki atau perempuan, bisa jadi anak yang sehat atau sakit, bisa jadi anak yang berbakti atau durhaka, bisa jadi anak yang patuh atau pembangkang. Tapi sekali lagi itu adalah tanggung jawab yang harus dinikmati.
Lalu bagaimana? Meminta pertanggung jawaban? Ke siapa? Bukankah ini yang harus dihadapi ketika seorang anak manusia berani melangkah jauh tanpa pertimbangan matang? Bukankah ini kenyataan paling nyata yang harus dihadapi tanpa mengeluh? Bukankah ini resiko dari eksplorasi liar atas kehidupan malam?
Aku tidak mencari pembenaran dan kebenaran, aku akui dengan sangat sadar bahwa aku bersalah dan mempunyai andil besar dalam menyukseskan kesalahan itu sendiri. Manusia gudang khilaf, tapi bukan berarti manusia bisa seenak udelnya melakukan dosa demi dosa. Ya..aku berdosa.
Lalu pada siapa kesalahan ini harus diletakkan? pada diriku sendiri? Ah tidak adil itu, kan yang berbuat 2 manusia, 2 insan yang saling mabuk cinta pada saat itu. 2 insan yang tidak lagi melihat hitam dan putih, dosa atau pahala, hamil atau tidak hamil. Lalu apa aku harus menyalahkan cinta? Ah … cinta itu kering kalau mau diikutkan dalam permasalahan ini. Cinta yang selalu dijadikan alasan dan pembenaran atas kekhilafan seorang manusia. Toh antara cinta dan nafsu hanya beda tipis, setipis benang mungkin. Tapi tetap berbeda.
Tidak, aku tidak mau cari pembenaran atas kesalahanku sebagai manusia yang buta membedakan antara cinta dan nafsu. Cinta kadang terlalu damai untuk di campur aduk dengan nafsu . Makna cinta itu sendiri jadi kotor dengan percampuran antara kesucian dan nafsu yang kerap tidak diimbangi dengan tanggung jawab.
Tapi aku takut. Wajar toh? Ketakutan itu punya alasan karena 9 bulan kedepan keterasingan akan cukup akrab menyapa. Kesendirian akan jadi sangat ramah dan dalam. Kesepian dan ditinggalkan adalah kenyataan paling jujur yang harus dihadapi. Karena memang tidak akan mudah bagi orang terkasih menerima hal ini.
Air mataku menitik deras. Entah rasanya apa, karena mungkin segala rasa sudah tercampur aduk sehingga tidak lagi jelas menangis untuk apa. Dihati terdalam, menyesal adalah kata yang paling jelas untuk menggambarkan air mata ini.
Ya, aku menyesal. Tidak semua dosa yang ada dapat aku amini. Tidak semua kesalahan dapat dimaklumi, sekalipun Tuhan Maha Pengampun. Waktu yang terus bergulir tidak akan memberi jeda kita untuk beristirahat. Detik akan berjalan ke menit, menit akan berjalan ke jam, jam akan berjalan ke hari dan seterusnya. Dan tidak akan pernah ada kata “mengulang kejadian”.
Semua hal yang menyangkut dengan hal ikhwal perjalanan kehidupan seharusnya dihadapi dengan sebuah pemikiran matang akan sebab akibat, dosa pahala, baik buruk. Luapan emosi sesaat ataupun syahwat adalah hal-hal yang harus diimbangi dengan rasa takut akan Tuhan. Mungkin aku tidak punya bagian itu, ketika semua luapan emosi, kemarahan dan syahwat menjadi satu , aku tidak punya Tuhan dalam hati. Aku kering sebagai manusia.
Pada waktu itu Aku jatuh kelantai, menangis tersedu. Aku mungkin tidak takut pada 9 bulan kedepan, tapi mungkin aku takut akan keterasingan dan rasa dosaku pada Tuhan. Aku adalah seonggok jiwa yang hampa. Jiwa yang hampa akan semakin kosong kalau dilepas begitu saja tanpa ada orang arif yang merengkuhnya. Jiwa yang labil dan kehilangan arah akan terduduk kaku dalam ruang dosa jika tidak diselamatkan dengan kasih lembut. Aku berdosa, tapi aku tidak ingin dibuang. Aku ingin diberi kesempatan untuk memperbaiki apapun dosa yang menyelimutiku.
Badanku runtuh kelantai, jatuh tergolek lemas. Tidak bisa kudapati apapun yang menarik didunia ini. yang dirasa adalah keputusasaan, ya..aku putus asa. Tidak ada lagi geliat hidup yang merona indah nantinya.
Kulihat bayanganku dari kaca yang ada dihadapanku. Tidak! Aku tidak akan membunuh nyawa yang ada dalam tubuh ini. Dia punya hak atas sebuah kehidupan yang layak. Layak? Apa yang bisa kuberikan? Kehidupan layak macam apa yang bisa kusajikan? Katakan kehidupan layak seperti apa?
Tapi, bukankah Tuhan sudah menggariskan sebuah kisah manusia jauh sebelum dia terlahir di dunia. Tuhan sudah menuliskan nasib umatnya jauh sebelum dia terlahir didunia, dan tinta itu sudah kering. Tuhan sudah menentukan apapun atas makhluknya.
Aku menyentuh perutku, kau punya hidup dan kau adalah kehidupan. Tidak sejengkal pun kau berhak di tiadakan karena Tuhan sudah punya cerita indah tentunya. Kita akan berjuang dengan cara yang terhormat. Kita keluar dari lingkaran hitam menuju sebuah kehidupan yang lebih baik. Walaupun hari ini aku tidak punya kepastian hidup layak macam apa yang bisa kuberikan untuk mu. Tapi kupastikan kehidupan itu akan jauh lebih baik dari hidupku.
Aku bangun dan terduduk diam. Mencoba tersenyum. Cinta mungkin adalah kesalahan paling purba kata seorang penyair. namun apapun itu, cinta mungkin adalah hal paling indah yang bisa dirasakan hingga detik ini. cinta tidak kaku, tidak berkisar antar 2 insan namun bisa kepada siapapun asal kita mau memberinya dengan ketulusan.
Aku mulai mencintaimu makhluk kecil zuriahku. Entah hidup macam apa nanti, kita bisa berjalan berdua, saling mencintai. Tentu tidak akan mudah, ya tidak akan pernah mudah. Apa yang terjadi padaku, tidak sepatutnya dialami oleh anak-anak lainnya. Menjalani hidup dengan penuh keimanan dan tanggung jawab adalah sebaik-baiknya jalan hidup.
Aku hanya seorang anak berumur 15 th yang duduk membisu menatap wajah anakku, bayi perempuan mungil yang sedang lelap. Kusematkan atasmu doa-doa yang khusyu, kubisikkan ditelinggamu serangkaian kata yang kerap menggetarkan hatiku sendiri, “Aku Ibumu, anakku. Kau sempurna layaknya rupamu, semoga Tuhan mengampuni kita, kita belajar bersama” Tuhan maha pengampun, ini garis yang sudah kulewati sedemikian rupa. Sudah kugenapi rasa sakit yang teramat dalam, ampuni kami ya Tuhan, ampuni kami ya Tuhan.
Jayakarta, 08 Januari 2008.
Sumber: Kompas, 9 Agustus 2011
10 Agustus 2011
Zuriahku
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar