Dwi Bayu Radius
Bermacam wadah bisa digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan bijak, salah satunya adalah kesenian. Melalui puisi, lagu, atau tarian, pesan-pesan itu bisa diungkapkan tanpa menggurui. Demikian pula di Kalimantan. Tarian-tarian Dayak dijadikan sarana untuk mengutarakan berbagai kisah keteladanan. Salah seorang seniman yang memanfaatkan tari sebagai media untuk menyebarkan contoh-contoh kebaikan adalah Chendana Putra (32) dari Kalimantan Tengah.
Tari bujang linga danum jalayan kreasi Chendana misalnya, menggambarkan kepiawaian, kejujuran, ketangkasan manusia dan hubungan dengan keesaan Sang Pencipta. Dalam tari ciptaannya yang lain yakni manyaluh batang danum pasang, disisipkan nasihat kepada generasi muda untuk menjaga etika dan menghindari pergaulan bebas.
Demikian pula dengan kinyah atau tarian perang dengan mandau, dan manasai yakni tarian pergaulan masyarakat Dayak. Saat ini, sudah puluhan tarian yang diciptakan Chendana. Walau pun, ia masih berusia relatif muda. Gempuran budaya asing yang kuat serta tak mencukupinya pemahaman generasi muda terhadap kekayaan budaya Dayak menggerakkan Chendana untuk terjun dalam dunia seni.
"Generasi muda sekarang semakin meninggalkan kebudayaan setempat. Sosialisasi kesenian juga kurang gencar dilakukan," katanya.
Chendana terlahir sebagai sulung dari empat bersaudara. Bersama adiknya yang paling kecil, ia memilih terjun dalam dunia seni. Ayah Chendana juga seniman, yakni Syaer Sua yang menggeluti kesenian karungut serta pelestari betang atau rumah khas suku Dayak. Sejak ingatannya mulai terbentuk, Chendana sudah dikelilingi alunan musik tradisional, denting kecapi, dan gendang yang bertalu-talu. Lantunan musik itulah yang mengiringi setiap tarian digelar. Seiring itu, tumbuh pula kecintaan Chendana yang besar terhadap kesenian daerahnya.
Dalam menyampaikan pesan-pesan kebajikan, ia menggunakan dua jenis tarian yakni tradisional pedalaman serta garapan pesisir. Tarian tradisional pedalaman bercirikan gerakan yang diiringi dengan alat musik seperti gendang, kecapi, rebab, suling dan diiringi musik serta vokal berbahasa Dayak Ngaju.
Sementara, garapan pesisir lebih banyak menggunakan irama melayu dan lantunan bahasa Indonesia dengan alat-alat musik seperti gambus, rebana, dan akordeon. Kedua tarian itu banyak berkembang dan kerap dipentaskan dalam lomba-lomba kesenian di Kalteng. Chendana menampilkan tarian bersama rekan-rekannya. Rata-rata, jumlah penari yang tampil setiap mereka beraksi sekitar 20 orang.
"Teman-teman yang datang berasal dari berbagai daerah di Kalteng. Kami berlatih di bagian belakang rumah saya di Jalan Patih Rumbih, Palangkaraya, Kalteng," katanya.
Chendana memutuskan untuk konsisten berkonsentrasi mendalami tarian. Ia tak menekuni profesi apa pun, selain sebagai seniman. "Saya sudah benar-benar merasakan dan mencintai kebudayaan yang diwariskan nenek moyang secara turun temurun," katanya.
Bidang yang dikuasainya membuat Chendana pernah diminta membantu proses pembuatan klip video tarian tradisional Kalteng. Meski dibayar tak seberapa, motivasi Chendana untuk membantu lebih kepada keinginan untuk mempromosikan kesenian tersebut secara luas. Selain tarian, Chendana juga belajar memainkan alat-alat musik tradisional secara otodidak. Awalnya, ia belajar karena rasa ingin tahu.
"Keluarga hanya mengajarkan dasar-dasar bermain. Saya lalu belajar sendiri dengan melihat ayah, kakek, atau paman bermain musik," katanya.
Chendana juga menjadi anggota Dewan Pembina Yayasan Pelestari Budaya Betang di Betang Budaya Bintang Patenlu, Desa Tumbang Manggu, Kecamatan Sanaman Mantikei, Kabupaten Katingan, Kalteng. Yayasan itu bertujuan melestarikan betang sebagai rumah adat Dayak.
Sumber: Kompas, 31 Juli 2011
01 Agustus 2011
Menyerap Pesan Bijak Lewat Tarian
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar