Namun, yang pasti, apa pun keputusan final nanti, kita berharap itu adalah solusi terbaik dalam menyelamatkan negeri ini. Jangan sampai anggaran puluhan triliun jatuh sia-sia kepada pihak yang tidak selayaknya menerima subsidi tersebut. Sudah cukup uang negara yang dihambur-hamburkan untuk kepentingan golongan elite saja.
Sekaranglah saatnya pemerintah melakukan sesuatu demi kepentingan rakyat yang sesungguhnya. Nah, kebijakan pembatasan BBM subsidi tersebut diharapkan menjadi langkah terbaik.
Subsidi yang Sia-Sia
Sebagaimana kita ketahui, faktor pendorong utama kebijakan ini adalah realisasi penyaluran BBM bersubsidi 2010 yang sudah melebihi kuota yang ditetapkan.
Berdasar data Pertamina, selama tujuh bulan pertama, total konsumsi BBM bersubsidi mencapai 21,83 juta kl atau 59,8 persen dari kuota 36,5 juta kl seperti dalam UU APBN-P 2010. Konsumsi tersebut terdiri atas premium yang telah mencapai 13 juta kl atau 60,65 persen dari kuota sebesar 21,45 juta kl, solar 7,38 juta kl atau 65,92 persen dari kuota 11,194 juta kl, dan minyak tanah 1,45 juta kl atau 38,15 persen dari kuota 3,8 juta kl.
Jika konsumsi itu terus meningkat tanpa pengereman, realisasi penggunaannya diperkirakan membengkak hingga total 38,6 juta kl. Padahal, menurut Badan Kebijaksanaan Fiskal (BKF), setiap penambahan 1 juta kl volume BBM bersubsidi, butuh subsidi tambahan Rp 1,9 triliun. Itu berarti, total defisit subsidi hampir mencapai Rp 6 triliun sampai akhir tahun ini. Sebuah jumlah yang tidak sedikit untuk sebuah hal yang sia-sia.
Mengapa? Sebab, penikmat subsidi tersebut adalah golongan orang mampu, bukan golongan orang miskin. Mereka adalah pemilik mobil pribadi, terutama mobil keluaran baru. Jadi, cukup logis jika kalangan ini dipaksa untuk tidak membeli BBM bersubsidi. Harapannya, jika mereka menggunakan BBM nonsubsidi, kuota tersebut tidak tembus sehingga dana untuk subsidi pun tidak melebihi anggaran.
Realiasasi Tidak Mudah
Namun, dari segi teknis, pembatasan itu jelas sangat sulit diimplementasikan. Perlu penjabaran yang lebih detail di lapangan. Logikanya, kalau membatasi pemakaian BBM per kendaraan, petugas SPBU akan mengalami kesulitan jika harus mengawasi setiap kendaraan untuk menentukan masuk kategori berhak mendapat subsidi atau tidak.
Kalau pembatasannya berdasar tahun pembuatan, mereka pasti mengalami kesulitan membedakan tahun keluaran sebuah mobil karena akan selalu ada pemilik mobil yang berusaha mengelabui. Jika harus mengecek STNK kendaraan satu per satu, akan timbul antrean panjang yang justru akan menambah kesemrawutan.
Begitu juga rencana penerapan klasterisasi wilayah SPBU. Misalnya, untuk wilayah tengah kota, premium dihilangkan dan diganti dengan Pertamax atau premium dikurangi dan Pertamax diperbanyak. Upaya ini tidak serta merta mengurangi masalah, malah bisa menjadi sumber masalah baru. Pemilik mobil pasti akan memilih SPBU yang menyediakan premium sehingga antrean akan semakin parah di SPBU tersebut. Bahkan, bisa muncul kecemburuan antar pemilik SPBU.
Mungkin yang paling tepat adalah cara Pertamina, dengan mengganti nozzle (mulut selang) dengan ukuran yang lebih besar untuk premium, sedangkan Pertamax tetap. Pertimbangannya, leher tangki mobil baru lebih besar daripada ukuran leher tangki mobil lama. Akan tetapi, itu membutuhkan investasi yang tidak sedikit dan masih mungkin untuk dimanipulasi oleh pemilik mobil.
Namun, yang namanya kebijakan, pasti ada yang pro dan ada yang kontra. Bisa ditebak, pihak yang paling tegas menolak kebijakan pembatasan BBM berubsidi adalah kalangan pengusaha otomotif. Mereka pasti takut, bahwa kebijakan tersebut akan mengurangi penjualan produk mereka secara signifikan.
Selain itu, sejumlah pihak juga mengkhawatirkan terjadinya inflasi yang cukup besar. Meski mobil pribadi terbaru yang dikenai, efek psikologis kadang berpengaruh terhadap harga. Apalagi jika truk angkutan barang nanti dikenai nonsubsidi, otomatis ongkos transportasi akan, yang ujung-ujungnya dibebankan ke konsumen.
Di sisi lain, pembatasan itu akan berimbas pada Pertamina sebagai BUMN yang mendistribusikan BBM. Jika tidak profesional, sebagian besar pemilik mobil dengan BBM nonsubsidi akan lari ke SPBU asing yang sudah banyak berdiri di Indonesia. Hal ini bisa berdampak negatif terhadap kinerja perusahaan pelat merah tersebut.
Kini semua kembali pada pemerintah, apakah terus maju dengan kebijakan pembatasan BBM atau kembali mundur oleh ruwetnya mekanisme yang harus disiapkan. Yang pasti, tidak ada kebijakan yang bisa diterima 100 persen oleh semua pihak. Konversi energi dari minyak tanah ke elpiji adalah contoh kasus mahalnya harga yang harus dibayar atas kebijakan yang dilaksanakan dengan setengah hati.
Pemerintah juga harus yakin betul dengan keputusan tersebut, termasuk dalam perhitungan. Jangan sampai terulang kasus kenaikan TDL, yang begitu diumumkan ternyata hitung-hitungannya keliru sehingga harus dihitung ulang. Itu menandakan bahwa pemerintah tidak profesional, terkesan main-main. (*)
*
Sumber, Jawa Pos, 20 September 2010
0 komentar:
Posting Komentar