Oleh : An. Ismato
ANDAI menjadi manajer sebuah toko buku yang agak besar, saya akan bergidik ngeri membayangkan prospek perbukuan ke depan. Rak-rak di toko saya terancam tetap penuh buku dalam waktu yang panjang. Perkembangan teknologi memungkinkan konsumen membeli dan membaca buku tanpa harus melangkahkan kaki ke toko buku. Bahkan, sekarang orang mulai bisa membaca novel di layar telepon genggam.Mungkin masih ada beberapa orang yang akan berkunjung ke toko saya. Namun, mereka hanya akan membuka-buka buku secara sekilas. Satu atau dua buku akan menarik perhatian mereka. Tapi, setelah melihat label harga, mereka akan meletakkan lagi buku itu di rak. Kemudian, mereka bakal pulang dan memesan buku yang mereka inginkan tersebut lewat internet. Sebab, mereka menganggap harganya lebih murah daripada yang ditawarkan toko.
Hal itu berarti bencana, bukan hanya buat saya sebagai manajer toko, tetapi juga seluruh pelaku industri perbukuan konvensional yang mencari rezeki dari buku cetak. Saya jelas tidak bisa mengharapkan penjualan dari para pengunjung yang tidak selalu membeli buku, apalagi pengunjung setia yang membaca satu bab buku setiap hari selama satu jam sambil berdiri di depan salah satu rak tanpa membeli.
Tentu saya harus melakukan sesuatu agar, paling tidak, orang masih mau berkunjung ke toko saya. Semakin banyak orang yang berkunjung, semakin besar pula kemungkinan buku terjual.
Saya perhatikan, orang zaman sekarang, terutama anak-anak muda, suka sekali berkumpul. Karena itu, saya akan menyediakan satu ruang atau sudut khusus di toko saya untuk tempat nongkrong, lengkap dengan meja dan kursi, lampu penerangan, televisi, dan musik. Ruang khusus itu bakal saya atur sedemikian rupa agar menghadap jalan raya yang ramai sehingga para pengunjung tidak cepat bosan. Pendek kata, saya akan membuat semacam kafe dalam toko saya. Dengan begitu, toko buku saya tidak semata-mata menjadi tempat usaha, tetapi juga menjadi community gathering space.
Selanjutnya, saya akan mengajukan tawaran kerja sama dengan para produsen komoditas nonbuku. Tentu mereka tertarik membuka gerai atau kios di toko buku saya. Sebab, banyak pengunjung di sana. Karena itu, saya harus menyisihkan beberapa rak lagi dari dalam toko saya. Rak-rak buku akan saya pindahkan ke lantai atas, sedangkan lantai bawah dikhususkan kafe dan gerai-gerai penjualan produk nonbuku, mulai telepon genggam hingga pakaian bayi.
Bisa juga rak buku saya letakkan di lantai bawah. Sedangkan lantai atas dikhususkan sebagai kafe, bersebelahan dengan ruang kecil yang bisa digunakan untuk diskusi atau performance art.
Tetapi, ruang usaha tentu terasa sempit kalau buku yang harus dijual tetap banyak. Maka, saya bakal menyeleksi lagi buku yang harus saya jual. Buku baru yang sudah cukup lama mendekam di rak dan jarang dilirik pengunjung bakal saya kembalikan kepada distributor. Namun, saya tetap menyediakan satu rak khusus untuk buku-buku lama.
Begitu diseleksi ulang, jumlah buku yang dipajang di rak tidak akan berlebihan. Tidak ada lagi buku yang menumpuk tidak rapi di rak.
Setelah perombakan, mungkin pendapatan terbesar saya tidak akan berasal dari penjualan buku, melainkan dari kafe, produk-produk nonbuku, atau biaya sewa gerai-gerai nonbuku. Bagi bos saya, tidak penting dari mana pendapatan toko berasal. Yang penting, cash flow lancar. Saya tidak akan berkecil hati kalau ada orang yang mengatakan bahwa saya telah menjadi manajer sebuah shopping center, bukan toko buku. Jika masyarakat memang menginginkan produk-produk nonbuku, itulah yang harus dimanfaatkan oleh perusahaan mana pun, termasuk toko buku.
Jika toko saya telah menjadi community gathering space, muncul keterikatan antara pengunjung dan toko. Pengunjung yang datang ke toko bisa langsung menuju kafe tanpa harus melirik rak buku. Mereka juga bisa berkencan atau bertemu dengan teman dan kolega, bahkan menghelat acara ulang tahun di kafe tanpa membeli buku. Tidak masalah. Lambat laun, mereka bakal menyadari keberadaan buku-buku yang menunggu untuk dibeli. Bukankah ada pepatah witing tresna jalaran saka kulina (cinta terjadi karena terbiasa)?
Tetapi, andai hanya menjadi seorang pemilik toko buku kecil di Taman Pintar Jogjakarta atau mampu membuka lapak bongkar pasang di Pasar Klewer, Solo, tentu saya tidak perlu menerapkan strategi menjadikan toko buku sebagai community gathering space. Mungkin saya memilih mengintensifkan berjualan buku-buku khusus. Misalnya, buku-buku lama atau buku-buku pelajaran.
Apa pun yang terjadi, saya akan berusaha keras tidak menutup toko buku. Sebab, saya percaya, buku selalu bisa memberikan rezeki. Entah bagaimana caranya. (*)
*) An. Ismanto, pembaca buku, tinggal di Jogjakarta
Sumber : Jawa Pos, 3 September 2010
0 komentar:
Posting Komentar