Oleh Tri Agus S. Siswowiharjo
PRESIDEN Amerika Serikat Barack Obama sedang menghadapi kontroversi. Sebab, dukungan terhadap rencana pembangunan Islamic Center di dekat Ground Zero -bekas menara kembar WTC- di New York, menuai kritik sebagian besar rakyat AS. Namun, Obama tak goyah. Itulah, setidaknya, satu di antara tiga pelajaran atau teladan dari seorang pemimpin dunia yang patut ditiru Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sebagai pemimpin, seseorang harus mementingkan nasib rakyatnya. Obama menunjukkan kepada SBY dan rakyat Indonesia ketika dia menunda kunjungan ke Jakarta -di antaranya bernostalgia di sebuah SD negeri di Menteng- menjelang disahkannya Undang-Undang Kesehatan yang sangat bersejarah. Obama, pada detik-detik pemungutan suara pengesahan undang-undang tersebut, tak bisa meninggalkan tanah air untuk memastikan semua lobi partainya berjalan mulus dan RUU itu disetujui menjadi UU.
Undang-Undang Kesehatan merupakan salah satu realisasi janji Obama dalam kampanye pada pemilu presiden 2008. Di beberapa negara bagian yang dikunjungi selama musim kampanye, Obama selalu mengungkapkan bahwa dirinya akan mewujudkan jaminan sosial bagi rakyat seperti yang selama ini diterima para angota kongres. Untuk hal tersebut, Obama tidak peduli dengan tuduhan Partai Republik bahwa kebijakannya sangat sosialis, bahkan mendekati komunis.
Sementara itu, SBY yang dicitrakan sebagai pemimpin prorakyat kecil, terutama menjelang pemilihan presiden 2009, tampaknya tak berlanjut ketika rakyat kembali memilihnya. Berbagai program seperti raskin (beras miskin), bantuan langsung tunai (BLT), dan kebijakan populer lainnya seakan menggelontor menjelang pemilihan presiden.
Setelah presiden kembali terpilih, terjadi kenyataan yang berbeda. Harga-harga bahan pokok membubung tinggi, tarif dasar listrik (TDL) naik, serta konversi dari minyak ke gas yang kurang sosialisasi berdampak jatuhnya korban ledakan tabung gas 3 kg.
Intinya, kebijakan pemerintah untuk mengentas kemiskinan tidak dilakukan secara mendasar -misalnya, menciptakan UU yang prowarga miskin seperti UU Kesehatan ala Obama-, melainkan hanya tambal sulam, apalagi hanya dilakukan menjelang pemilu.
Pelajaran kedua yang patut dicatat SBY adalah, lagi-lagi, penundaan kunjungan ke Indonesia gara-gara masalah dalam negeri. Kali ini, terjadi tragedi lingkungan. Yaitu, bocornya tambang milik British Petroleum (BP) di lepas pantai Teluk Meksiko sehingga terjadi pencemaran laut dan pantai yang dahsyat.
Obama tak tinggal diam. Dia memimpin rapat-rapat khusus dan terjun langsung ke lapangan. Tak hanya itu, dia juga ''mendamprat'' perusahaan raksasa minyak asal Inggris tersebut untuk bertanggung jawab menghentikan kebocoran dan mengganti seluruh kerugian yang diderita masyarakat pesisir pantai, satwa, serta biota laut.
Obama seolah ingin memberi tahu, beginilah berhubungan dengan perusahaan raksasa yang mencemari lingkungan. Tak sampai empat bulan, kebocoran minyak di lepas pantai itu bisa diatasi dan kerusakan segera diperbaiki serta korban mendapat ganti rugi.
Tentu, Obama tak mengetahui banyak perihal tragedi lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Namun, sebagai pemimpin tertinggi di suatu negara, Obama memberikan teladan bahwa presiden harus tegas dan berani serta wajib berpihak kepada rakyat. Obama tak peduli bahwa Inggris adalah sekutu terdekat Amerika. Dia lebih peduli kepada korban pencemaran lingkungan.
Penyelesaian kasus lumpur Lapindo yang belum tuntas hingga bertahun-tahun menunjukkan kepemimpinan SBY kurang berani dan efektif menghadapi perusahaan milik kelompok Bakrie. SBY terlalu mempertimbangkan rasa sungkan terhadap Aburizal Bakrie karena dia merupakan salah seorang penyumbang terbesar saat pemilu presiden lalu. Sebaliknya, SBY kurang mempertimbangkan para korban lumpur Lapindo.
Di sisi lain, hal itu merupakan kepiawaian seorang Aburizal Bakrie sebagai bos kelompok usaha Bakrie sekaligus ketua umum Partai Golkar dan ketua Sekber Koalisi Partai pendukung SBY-Boediono.
Pelajaran ketiga Obama bagi SBY, ya itu tadi, dukungan terhadap rencana pembangunan Islamic Center di New York. Obama jelas melawan arus mayoritas rakyat AS seperti yang ditunjukkan oleh hasil beberapa survei tentang hal tersebut.
Berdasar hasil polling CNN pekan lalu, sekitar 70 persen warga AS menentang pembangunan gedung Islamic Centre dan masjid di bekas Menara Kembar yang diserang teroris, 9 September 2001, tersebut. Dalam survei sebelumnya, Pew Research Center dan Pew Forum on Religion & Public Life menyebutkan, 18 persen rakyat AS percaya bahwa Obama adalah seorang muslim.
Namun, Obama tetaplah sosok yang cerdas dan keras. Cerdas berargumentasi dan keras membela prinsip. Dukungannya terhadap pembangunan Islamic Center bukanlah disebabkan adanya simpati terhadap komunitas muslim AS -karena dia dilahirkan oleh seorang ayah beragama Islam dan masa kecilnya pernah tinggal di Indonesia. Tapi, Obama justru ingin menunjukkan bahwa dirinya Amerika tulen.
Yakni, menjunjung tinggi kebebasan dan pluralisme. Komunitas agama apa pun di negeri itu bebas berkumpul dan mendirikan tempat ibadah. Karena itu, Obama tak peduli dengan popularitas dirinya dan masa depan partainya pada pemilu mendatang. Dia tegar membela prinsip kebebasan dan pluralisme Amerika.
Bagaimana dengan SBY? Sangat tampak SBY tidak setegas Obama dalam urusan kebebasan beragama. Pendapatnya tentang Ahmadiyah dan serangan Islam radikal terhadap penganut agama non-Islam sangatlah normatif dan tidak tegas. SBY tampak tak ingin kehilangan simpati dari partai-partai Islam yang mendukung pemerintahnya. Itulah perbedaannya dari Obama yang tak peduli dengan urusan citra dan suara, jika menyangkut prinsip negara, yaitu kebebasan dan pluralisme.
Karena itu, akhir-akhir ini, di beberapa situs jaringan sosial semacam Facebook, banyak diskusi mengenai sikap SBY atas perusakan masjid milik penganut Ahmadiyah dan penggusuran gereja HKBP di Bekasi. Ada yang menulis, bagaimana kalau SBY ditukar guling dengan Obama saja.
Ada pula yang menganalisis dengan mengutip hasil survei Pew Research Center, jika di Amerika satu di antara lima orang percaya Obama beragama Islam, bisa jadi di Indonesia, satu di antara lima orang percaya SBY mendukung kebebasan dan pluralisme. Lho? Artinya, empat di antara lima orang Indonesia percaya SBY tidak pro kebebasan beragama, melainkan pro-Islam radikal. (*)
*) Tri Agus S. Siswowiharjo, alumnus Magister Komunikasi Politik Universitas Indonesia, menulis buku ''Obama Bicara: Kumpulan 10 Pidato Obama Paling Memukau''
PRESIDEN Amerika Serikat Barack Obama sedang menghadapi kontroversi. Sebab, dukungan terhadap rencana pembangunan Islamic Center di dekat Ground Zero -bekas menara kembar WTC- di New York, menuai kritik sebagian besar rakyat AS. Namun, Obama tak goyah. Itulah, setidaknya, satu di antara tiga pelajaran atau teladan dari seorang pemimpin dunia yang patut ditiru Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sebagai pemimpin, seseorang harus mementingkan nasib rakyatnya. Obama menunjukkan kepada SBY dan rakyat Indonesia ketika dia menunda kunjungan ke Jakarta -di antaranya bernostalgia di sebuah SD negeri di Menteng- menjelang disahkannya Undang-Undang Kesehatan yang sangat bersejarah. Obama, pada detik-detik pemungutan suara pengesahan undang-undang tersebut, tak bisa meninggalkan tanah air untuk memastikan semua lobi partainya berjalan mulus dan RUU itu disetujui menjadi UU.
Undang-Undang Kesehatan merupakan salah satu realisasi janji Obama dalam kampanye pada pemilu presiden 2008. Di beberapa negara bagian yang dikunjungi selama musim kampanye, Obama selalu mengungkapkan bahwa dirinya akan mewujudkan jaminan sosial bagi rakyat seperti yang selama ini diterima para angota kongres. Untuk hal tersebut, Obama tidak peduli dengan tuduhan Partai Republik bahwa kebijakannya sangat sosialis, bahkan mendekati komunis.
Sementara itu, SBY yang dicitrakan sebagai pemimpin prorakyat kecil, terutama menjelang pemilihan presiden 2009, tampaknya tak berlanjut ketika rakyat kembali memilihnya. Berbagai program seperti raskin (beras miskin), bantuan langsung tunai (BLT), dan kebijakan populer lainnya seakan menggelontor menjelang pemilihan presiden.
Setelah presiden kembali terpilih, terjadi kenyataan yang berbeda. Harga-harga bahan pokok membubung tinggi, tarif dasar listrik (TDL) naik, serta konversi dari minyak ke gas yang kurang sosialisasi berdampak jatuhnya korban ledakan tabung gas 3 kg.
Intinya, kebijakan pemerintah untuk mengentas kemiskinan tidak dilakukan secara mendasar -misalnya, menciptakan UU yang prowarga miskin seperti UU Kesehatan ala Obama-, melainkan hanya tambal sulam, apalagi hanya dilakukan menjelang pemilu.
Pelajaran kedua yang patut dicatat SBY adalah, lagi-lagi, penundaan kunjungan ke Indonesia gara-gara masalah dalam negeri. Kali ini, terjadi tragedi lingkungan. Yaitu, bocornya tambang milik British Petroleum (BP) di lepas pantai Teluk Meksiko sehingga terjadi pencemaran laut dan pantai yang dahsyat.
Obama tak tinggal diam. Dia memimpin rapat-rapat khusus dan terjun langsung ke lapangan. Tak hanya itu, dia juga ''mendamprat'' perusahaan raksasa minyak asal Inggris tersebut untuk bertanggung jawab menghentikan kebocoran dan mengganti seluruh kerugian yang diderita masyarakat pesisir pantai, satwa, serta biota laut.
Obama seolah ingin memberi tahu, beginilah berhubungan dengan perusahaan raksasa yang mencemari lingkungan. Tak sampai empat bulan, kebocoran minyak di lepas pantai itu bisa diatasi dan kerusakan segera diperbaiki serta korban mendapat ganti rugi.
Tentu, Obama tak mengetahui banyak perihal tragedi lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Namun, sebagai pemimpin tertinggi di suatu negara, Obama memberikan teladan bahwa presiden harus tegas dan berani serta wajib berpihak kepada rakyat. Obama tak peduli bahwa Inggris adalah sekutu terdekat Amerika. Dia lebih peduli kepada korban pencemaran lingkungan.
Penyelesaian kasus lumpur Lapindo yang belum tuntas hingga bertahun-tahun menunjukkan kepemimpinan SBY kurang berani dan efektif menghadapi perusahaan milik kelompok Bakrie. SBY terlalu mempertimbangkan rasa sungkan terhadap Aburizal Bakrie karena dia merupakan salah seorang penyumbang terbesar saat pemilu presiden lalu. Sebaliknya, SBY kurang mempertimbangkan para korban lumpur Lapindo.
Di sisi lain, hal itu merupakan kepiawaian seorang Aburizal Bakrie sebagai bos kelompok usaha Bakrie sekaligus ketua umum Partai Golkar dan ketua Sekber Koalisi Partai pendukung SBY-Boediono.
Pelajaran ketiga Obama bagi SBY, ya itu tadi, dukungan terhadap rencana pembangunan Islamic Center di New York. Obama jelas melawan arus mayoritas rakyat AS seperti yang ditunjukkan oleh hasil beberapa survei tentang hal tersebut.
Berdasar hasil polling CNN pekan lalu, sekitar 70 persen warga AS menentang pembangunan gedung Islamic Centre dan masjid di bekas Menara Kembar yang diserang teroris, 9 September 2001, tersebut. Dalam survei sebelumnya, Pew Research Center dan Pew Forum on Religion & Public Life menyebutkan, 18 persen rakyat AS percaya bahwa Obama adalah seorang muslim.
Namun, Obama tetaplah sosok yang cerdas dan keras. Cerdas berargumentasi dan keras membela prinsip. Dukungannya terhadap pembangunan Islamic Center bukanlah disebabkan adanya simpati terhadap komunitas muslim AS -karena dia dilahirkan oleh seorang ayah beragama Islam dan masa kecilnya pernah tinggal di Indonesia. Tapi, Obama justru ingin menunjukkan bahwa dirinya Amerika tulen.
Yakni, menjunjung tinggi kebebasan dan pluralisme. Komunitas agama apa pun di negeri itu bebas berkumpul dan mendirikan tempat ibadah. Karena itu, Obama tak peduli dengan popularitas dirinya dan masa depan partainya pada pemilu mendatang. Dia tegar membela prinsip kebebasan dan pluralisme Amerika.
Bagaimana dengan SBY? Sangat tampak SBY tidak setegas Obama dalam urusan kebebasan beragama. Pendapatnya tentang Ahmadiyah dan serangan Islam radikal terhadap penganut agama non-Islam sangatlah normatif dan tidak tegas. SBY tampak tak ingin kehilangan simpati dari partai-partai Islam yang mendukung pemerintahnya. Itulah perbedaannya dari Obama yang tak peduli dengan urusan citra dan suara, jika menyangkut prinsip negara, yaitu kebebasan dan pluralisme.
Karena itu, akhir-akhir ini, di beberapa situs jaringan sosial semacam Facebook, banyak diskusi mengenai sikap SBY atas perusakan masjid milik penganut Ahmadiyah dan penggusuran gereja HKBP di Bekasi. Ada yang menulis, bagaimana kalau SBY ditukar guling dengan Obama saja.
Ada pula yang menganalisis dengan mengutip hasil survei Pew Research Center, jika di Amerika satu di antara lima orang percaya Obama beragama Islam, bisa jadi di Indonesia, satu di antara lima orang percaya SBY mendukung kebebasan dan pluralisme. Lho? Artinya, empat di antara lima orang Indonesia percaya SBY tidak pro kebebasan beragama, melainkan pro-Islam radikal. (*)
*) Tri Agus S. Siswowiharjo, alumnus Magister Komunikasi Politik Universitas Indonesia, menulis buku ''Obama Bicara: Kumpulan 10 Pidato Obama Paling Memukau''
Sumber : Jawa Pos, 24 Agustus 2010
0 komentar:
Posting Komentar