Oleh : Tomi C Gutomo
Berita-berita tentang Pak Beye dan istana kepresidenan yang muncul di televisi, radio, koran, atau majalah adalah berita-berita yang serius. Mulai laporan tentang rapat kabinet, upacara detik-detik proklamasi, tamu negara, hingga reshuffle kabinet. Semua adalah berita penting yang harus segera disebarluaskan ke publik. Nah, tulisan Wisnu Nugroho di buku ini adalah hal-hal yang tidak penting tentang Pak Beye dan segala sesuatu yang ada di kompleks istana kepresidenan selama satu periode (2004-2009). Sesuatu yang sifatnya tidak mendesak untuk diberitakan dan kurang pas disajikan di media mainstream. Tapi, sebagai wartawan istana yang pernah mengenyam pendidikan filsafat, penulis mampu membuat sesuatu yang tidak penting tersebut menjadi tulisan yang penting untuk disimak. Lebih menarik lagi karena dilengkapi dengan foto sederhana sebagai ilustrasi tulisan.
Tulisan-tulisan yang sebelumnya merupakan posting-an di blog itu menunjukkan bahwa penulis adalah wartawan yang jeli, kritis, ngeluthus, sering iseng, dan sekaligus usil. Dari parkiran istana, misalnya, digambarkan merek-merek mobil para pejabat negara, kerabat istana, atau tamu Pak Beye. Lengkap dengan pelat nomornya. Tidak sembarang orang bisa memarkir mobilnya di halaman istana.
Mobil putra bungsu Pak Beye, Edhie Baskoro Yudhoyono, tak lepas dari catatan Wisnu. Setidaknya dua mobil Ibas -sapaan Edhie Baskoro- terekam kamera Wisnu, yakni Audi bernopol B 24 EB dan Chevrolet bernopol B 2411 EB. Masih ada Mercedes-Benz, BMW, dan merek lain yang juga kerap ditunggangi Ibas. Pada setiap pelat nomor mobil Ibas, dua huruf belakangnya selalu sama, yakni EB. Itu menunjukkan siapa pemilik mobil-mobil tersebut. Selain itu, selalu ada unsur angka 24 yang menunjukkan tanggal kelahiran si empunya (hlm. 39).
Saat rapat kabinet, halaman Istana Negara menyerupai showroom mobil. Puluhan Toyota Camry hitam, mobil dinas menteri saat itu (sekarang Toyota Crown), berjajar rapi. Rupanya, ada satu mobil yang berbeda mereknya. Mobil berpelat nomor RI 13 itu bermerek Lexus (hlm 13). Itu adalah kendaraan Menko Kesra kala itu, Aburizal Bakrie.
Sebelum diumumkan oleh Forbes Asia sebagai orang terkaya di Indonesia, mobil Ical -sapaan Aburizal Bakrie- bernopol RI 14. Namun, sejak jadi orang terkaya di republik ini, nomor pelat mobil Ical menjadi RI 13. Sejak itu, kesialan sering menghampiri Ical.
Saat krisis keuangan global merontokkan nilai saham pada 2008, termasuk saham perusahaan Bakrie, Ical tak lagi terlihat menggunakan Lexus itu ke istana. Dia menggunakan Toyota Camry jatahnya untuk menghadiri acara-acara di istana. Tapi, setelah kondisi pasar saham membaik, lima bulan kemudian, Ical kembali menggunakan Lexus ke istana. Tidak ada yang tahu alasannya kecuali Ical sendiri.
Selain Ical, ada pembantu presiden yang tak menggunakan Toyota Camry jatah menteri. Fahmi Idris, menteri perindustrian saat itu, memilih menggunakan Kijang Innova untuk melekatkan pelat nomor RI 22 (hlm. 29). Fahmi beralasan, 75 persen komponen mobil Kijang adalah buatan dalam negeri. Tapi, selidik punya selidik, tidak digunakannya mobil jatah Camry oleh Fahmi Idris itu ternyata berkaitan dengan ukuran tubuh pejabat yang gemar mengoleksi motor besar tersebut. Camry ternyata kurang familiar untuk ukuran tubuh Fahmi, maka dipilihlah mobil yang memiliki kabin lebih lega.
Tapi ada penunggang Kijang lain yang kurang beruntung. Kalau Fahmi mulus masuk istana karena pelat nomornya khusus, lain lagi dengan Ketua KPK (saat itu) Taufiequrracman Ruki. Mobil Kijang Pak Taufieq kerap dicegat petugas Paspampres dan diperiksa cukup lama di pintu gerbang istana. Lebih lama daripada pemeriksaan yang berlaku pada mobil-mobil mewah yang masuk halaman istana.
Mobil tamu Pak Beye yang pernah parkir di istana tak lepas dari sorotan Wisnu. Suatu hari ada Rolls-Royce warna cokelat muda kinclong terparkir (hlm. 7). Dari angka pelat nomornya, 234, mobil tersebut sangat mungkin milik pengusaha rokok dengan nama belakang ''Sampoerna''. Apa hubungan pengusaha itu dengan Pak Beye? Keduanya saling menutupi.
Tidak hanya Rolls-Royce, mobil mewah lain yang tidak pasaran dan pernah mejeng di istana adalah merek Bentley warna hitam dengan nopol B 65 HT. Mungkin karena takut terpapar sinar matahari langsung, mobil itu diparkir di bawah tenda yang biasa dipakai ibu negara Ani Yudhoyono untuk mendukung program Indonesia Pintar ke seluruh Indonesia. Tulisan di tenda itu: Gemar Membaca Meraih Cita-Cita. Dari dua huruf belakang pelat nomor itu, bisa ditebak nama pemilik mobilnya (hlm. 18).
Menjelang pemilu, ada keajaiban di halaman parkir istana dan sekretariat negara. Setiap malam Jumat puluhan metromini dan mikrolet berjajar rapi. Metromini dan mikrolet itu mendapat keistimewaan karena mengantar anggota Majelis Dzikir SBY Nurussalam yang sepekan sekali rutin pengajian di Masjid Baiturrahman, samping Istana Merdeka.
Cerita soal mobil hanyalah satu bab di antara enam bab di buku ini. Yang tak kalah menarik adalah tulisan-tulisan di Bab V tentang Pernak-pernik Pak Beye (hlm. 175). Bab tersebut dibuka dengan tulisan tentang menu makan siang Pak Beye. Kebetulan, penulis dan beberapa wartawan berkesempatan melongok meja makan presiden. Siang itu di meja makan Pak Beye tersaji soto ayam, lengkap dengan telur rebus, telur dadar, perkedel kentang, dan ayam goreng bumbu. Masih ditambah dengan kerupuk kampung, kerupuk udang, dan rengginang. Di meja itu juga tersaji sambal hijau dan kecap manis. Dua gelas sirup cocopandan ikut mendampingi dua gelas air putih.
Sehari-hari makanan Pak Beye masuk kategori tidak neko-neko. Pemasaknya, Bu Budi, juga memilih belanja di pasar tradisional daripada di supermarket. Alasannya, ikan, ayam, atau daging di pasar tradisional lebih segar. Menu yang kerap dimasak Bu Budi untuk Pak Beye, antara lain, gado-gado, pecel, trancam, sayur asam, ikan asin, tahu goreng, tempe goreng, dan empal. Sedangkan camilan yang paling disukai Pak Beye adalah tahu sumedang. Jika masih hangat dan dihidangkan dengan cabai rawit, Pak Beye bisa menghabiskan sepuluh potong tahu.
Menyambut Tahun Baru 2007, ada yang hilang pada diri Pak Beye, namun banyak yang tidak menyadari karena memang tidak mungkin diumumkan secara resmi. Mulai 2007, tahi lalat di atas alis sebelah kanan Pak Beye sudah tidak ada (hlm. 194). Tanpa tahi lalat itu, penampilan Pak Beye menjadi lebih ''sempurna''. Tidak penting memang, tapi menarik untuk diketahui.
Suasana saat Pak Beye dan keluarga boyongan dari Istana Merdeka ke Istana Negara juga diceritakan dengan unik oleh penulis. Meski dua istana itu hanya berjarak sekitar seratus meter, tetap saja heboh. Sebagai gambaran, kasur Pak Beye yang superjumbo sampai harus digotong beramai-ramai.
Ada beberapa tulisan di Bab IV yang merupakan ''rahasia'' Pak Beye dan para wartawan istana. Kalau Anda menyaksikan Pak Beye diwawancarai doorstop atau konferensi pers dari layar kaca, seolah-olah presiden begitu dekat dengan wartawan dan mau dicegat untuk menjawab pertanyaan wartawan. Jangan salah sangka. Presiden mau memberikan keterangan di halaman istana bukan karena dicegat wartawan. Ada skenarionya untuk itu semua.
Kalau presiden tidak ingin terlihat formal, wartawan dikumpulkan di halaman dalam istana, blocking-nya di-setting dalam posisi setengah lingkaran. Kalau sudah siap, presiden muncul dari kantor presiden dan menghampiri wartawan. Lalu, dengan gaya polos bertanya, ''Ada apa ini?" Salah seorang wartawan yang sudah ditunjuk lebih dahulu oleh juru bicara presiden langsung mengajukan pertanyaan titipan. Tentu saja jawabannya juga sudah siap dari awal. Jangan pernah berharap presiden gelagapan saat ditanya wartawan.
Begitu juga saat konferensi pers di istana atau di kediaman Pak Beye di Cikeas yang disiarkan langsung oleh stasiun televisi. Semua sudah diatur. Pertanyaannya sudah disiapkan dan dititipkan kepada sejumlah wartawan ''kepercayaan''. Kadang-kadang wartawan diberi kesempatan mengirim SMS pertanyaan dengan deadline sejam sebelum konferensi pers. Nanti dipilih, pertanyaan mana yang pantas untuk dijawab presiden. Dengan skenario seperti itu, penampilan Pak Beye di layar kacar akan tampak perfect.
Tapi suatu malam, skenario yang digagas tim Pak Beye tidak berjalan mulus. Semula Pak Beye ingin diwawancarai dengan model doorstop di depan ruang kerjanya. Ternyata, tak ada seorang pun kamerawan televisi yang mau bergerak. Alasannya, lampu di depan kantor presiden tidak terlalu terang sehingga akan kurang bagus gambarnya. Pihak istana sempat mendatangkan lampu sorot agar skenario presiden berjalan lancar. Setelah dicoba, justru lampu sorot itu akan menyilaukan Pak Beye. Keterangan Pak Beye tentang fokus pemerintah menghadapi krisis keuangan global akhirnya dipindahkan ke tempat biasanya, ruang jumpa pers lengkap dengan podium garuda yang selalu dibawa saat Pak Beye berkunjung ke daerah. (*)
---
Tomy C. Gutomo, Wartawan Jawa Pos, pernah bertugas meliput di istana kepresidenan
---
Judul Buku: Pak Beye dan Istananya
Penulis: Wisnu Nugroho
Penerbit: Kompas, Jakarta
Cetakan: I, Juli, 2010
Tebal: 256 halaman
Sumber : Jawa Pos, 8 Agustus 2010
0 komentar:
Posting Komentar