Oleh : Ridlwan Habib
SEBAGAI alumnus Pondok Pesantren Al Mukmin di Ngruki, Cemani, Sukoharjo, keresahan Noor Huda Ismail tak kunjung reda. Konsultan keamanan investasi itu risau karena pondok tempatnya mencari jati diri remaja (1985-1991) masih selalu dicitrakan sebagai "kawah candradimuka" kader-kader teroris. Yang terbaru, pendiri pondok Ustad Abu Bakar Ba'asyir lagi-lagi ditangkap dan disangka polisi terlibat kasus terorisme di Aceh.
"Saya ingin dunia punya tafsir yang berbeda tentang Ngruki, tidak monolitik seperti sekarang," kata Huda suatu hari pada Desember 2009.
Saat itu draf naskah buku Temanku, Teroris? sudah selesai dan siap masuk ke percetakan. Namun, judul yang dipilih kala itu Jendela Kecil Santri Ngruki.
Ini adalah buku pertama Huda yang mantan wartawan Washington Post. Buku ini mengisahkan perjalanan hidup si penulis dan seniornya di Ngruki, yakni Utomo Pamungkas alias Fadlulah Hasan. Utomo, pria asal Temon, Kulonprogo, Jogjakarta, tersebut, sekarang masih ditahan karena divonis terlibat pengeboman Bali 2002 bersama jaringan trio Tenggulun: Amrozi, Mukhlas, dan Imam Samudera.
Huda, 37, adalah adik asuh Utomo, 39, sejak masuk Ngruki pada 1985. Dia belajar menata kamar, tata krama santri, dan menjalani orientasi awalnya bersama Utomo. Utomo juga yang mencarikan lemari pakaian cuma-cuma bekas senior agar Huda tak melulu menyimpan baju-bajunya di dalam koper (hlm 123). Namun, setelah Utomo lulus tingkat tsanawiyah (SMP) dan masuk mualimin, mereka berpisah kamar.
Jarak semakin jauh saat Utomo berangkat ke Pakistan, lalu menyeberang ke Afghanistan bersama Fathurahman Al Ghozi (tewas ditembak aparat Filipina pada Oktober 2003). Utomo yang dipanggil Huda dengan Akhi Fadlul itu menempuh jalan sebagai mujahidin dalam perang melawan Rusia.
Dalam buku ini, gaya bertutur Huda khas wartawan. Runtut dan detail. Mungkin karena khawatir agar tidak ada yang terlewat, alur cerita dalam buku setebal 386 halaman ini jadi melompat-lompat. Selain itu, banyak cerita "bumbu" seperti saat Huda naksir santriwati bernama Nanik, yang bisa mengaburkan alur utama buku.
Huda membuka kisahnya dengan Bab Kesaksian. Yakni kisah Utomo saat berjihad di Afghanistan. Seru! Sebab, deskripsi dan diksi yang dipilih bisa membuat seolah-olah Huda melihat langsung sepak terjang Utomo di Negeri Para Mullah tersebut. Padahal, itu hanya diperoleh dari wawancara Huda terhadap Utomo di tahanan selama proses penyusunan buku tersebut dilakukan.
Misalnya deskripsi soal Utomo yang nyaris mati karena saat sedang mandi, tiba-tiba pesawat Rusia datang dan membombardir daerah sekitar sungai (hlm 47). Juga kelucuan para mujahidin "ndeso" yang tiba-tiba merasakan salju di Afghanistan. Ada yang iseng mengerjai rekannya dengan membuat sirup es dilumuri obat merah. Ada juga yang berlomba ngoshin, yakni membuat uap putih dari mulut seperti serial Oshin yang kondang di TVRI tahun-tahun itu.
Juga diceritakan keluguan orang-orang Afghanistan. Misalnya saat mereka memakai celana dalam milik mujahidin Indonesia di kepala karena mengiranya sebagai topi (hlm 44). Maklum, kebiasaan mereka berpakaian tanpa mengenakan baju dalam.
Setelah kisah Utomo itu, baru Huda menceritakan reuni mereka setelah belasan tahun tak bertemu. Yakni saat Huda ditugasi kantornya meliput pengeboman Bali I pada 2002. Dia kaget, bahkan nyaris pingsan, saat polisi menunjukkan sketsa wajah Utomo sebagai salah seorang anggota jaringan teroris. Rekan kantornya, Alan Sipress, juga kaget karena tak mengira bahwa Huda lulusan Ngruki.
Huda memilih karir sebagai jurnalis lantaran terpengaruh seniornya di pondok, Agus Trianto, yang rajin menunjukkan kliping artikel dan puisinya yang dimuat Jawa Pos pada 1987-1988 (hlm 172). Lulus dari Ngruki, dia kuliah di UIN Sunan Kalijaga dan Jurusan Komunikasi Fisipol UGM. Huda juga sempat bekerja di Jakarta Convention Centre sebelum akhirnya bergabung dengan Washington Post. Huda juga berhasil memperoleh beasiswa International Security dari St Andrew University Scotlandia (2005).
Setelah yakin Utomo yang dimaksud adalah murobbi (pembinanya) di pondok, Huda pun berupaya menemuinya di tahanan. Kisah pertemuan Huda dan Utomo di penjara yang penuh tangis harus diceritakan secara khusus di halaman 254-255. Pertemuan yang awalnya kaku dan canggung akhirnya lumer setelah mereka bercakap-cakap dengan bahasa Arab. Reuni itulah yang kemudian menginspirasi terbitnya buku ini. Dan juga membuat Huda tergerak untuk membangun Yayasan Prasasti Perdamaian yang khusus berkonsentrasi pada pembinaan para mantan narapidana terorisme serta keluarganya.
Di bagian akhir bukunya, Huda menampilkan kisah Titin, istri Utomo yang harus membesarkan anak-anaknya tanpa ayah. Juga kisah Mbak Laksmi, janda korban bom Bali yang harus mengasuh dua anaknya tanpa ayah. "Aksi-aksi pengeboman hanya melahirkan anak-anak yatim baru, bagi pelaku maupun bagi korban. Buku ini memang saya dedikasikan untuk anak yatim yang lahir karena terorisme. Royaltinya pun untuk mereka," ucap Huda.
Menurut Huda yang sekarang bermukim di Tembalang, Semarang, bukunya itu telah memancing banyak kritik sekaligus banyak dukungan. Mereka yang mengkritik berpendapat, Huda kurang mengelaborasi fakta bahwa negara-negara seperti Amerika dan sekutu-sekutunyalah, terutama Israel, yang saat ini paling banyak membuat dan memproduksi anak-anak yatim dari kalangan kaum muslimin di negara-negara Islam, seperti Afghanistan, Iraq, dan Palestina. (*)
*) Ridlwan Habib, Wartawan Jawa Pos
Judul Buku: Temanku, Teroris?
Penulis: Noor Huda Ismail
Penerbit: Hikmah, Mizan
Cetakan: Pertama, Juli 2010
Tebal: 386 halaman
"Saya ingin dunia punya tafsir yang berbeda tentang Ngruki, tidak monolitik seperti sekarang," kata Huda suatu hari pada Desember 2009.
Saat itu draf naskah buku Temanku, Teroris? sudah selesai dan siap masuk ke percetakan. Namun, judul yang dipilih kala itu Jendela Kecil Santri Ngruki.
Ini adalah buku pertama Huda yang mantan wartawan Washington Post. Buku ini mengisahkan perjalanan hidup si penulis dan seniornya di Ngruki, yakni Utomo Pamungkas alias Fadlulah Hasan. Utomo, pria asal Temon, Kulonprogo, Jogjakarta, tersebut, sekarang masih ditahan karena divonis terlibat pengeboman Bali 2002 bersama jaringan trio Tenggulun: Amrozi, Mukhlas, dan Imam Samudera.
Huda, 37, adalah adik asuh Utomo, 39, sejak masuk Ngruki pada 1985. Dia belajar menata kamar, tata krama santri, dan menjalani orientasi awalnya bersama Utomo. Utomo juga yang mencarikan lemari pakaian cuma-cuma bekas senior agar Huda tak melulu menyimpan baju-bajunya di dalam koper (hlm 123). Namun, setelah Utomo lulus tingkat tsanawiyah (SMP) dan masuk mualimin, mereka berpisah kamar.
Jarak semakin jauh saat Utomo berangkat ke Pakistan, lalu menyeberang ke Afghanistan bersama Fathurahman Al Ghozi (tewas ditembak aparat Filipina pada Oktober 2003). Utomo yang dipanggil Huda dengan Akhi Fadlul itu menempuh jalan sebagai mujahidin dalam perang melawan Rusia.
Dalam buku ini, gaya bertutur Huda khas wartawan. Runtut dan detail. Mungkin karena khawatir agar tidak ada yang terlewat, alur cerita dalam buku setebal 386 halaman ini jadi melompat-lompat. Selain itu, banyak cerita "bumbu" seperti saat Huda naksir santriwati bernama Nanik, yang bisa mengaburkan alur utama buku.
Huda membuka kisahnya dengan Bab Kesaksian. Yakni kisah Utomo saat berjihad di Afghanistan. Seru! Sebab, deskripsi dan diksi yang dipilih bisa membuat seolah-olah Huda melihat langsung sepak terjang Utomo di Negeri Para Mullah tersebut. Padahal, itu hanya diperoleh dari wawancara Huda terhadap Utomo di tahanan selama proses penyusunan buku tersebut dilakukan.
Misalnya deskripsi soal Utomo yang nyaris mati karena saat sedang mandi, tiba-tiba pesawat Rusia datang dan membombardir daerah sekitar sungai (hlm 47). Juga kelucuan para mujahidin "ndeso" yang tiba-tiba merasakan salju di Afghanistan. Ada yang iseng mengerjai rekannya dengan membuat sirup es dilumuri obat merah. Ada juga yang berlomba ngoshin, yakni membuat uap putih dari mulut seperti serial Oshin yang kondang di TVRI tahun-tahun itu.
Juga diceritakan keluguan orang-orang Afghanistan. Misalnya saat mereka memakai celana dalam milik mujahidin Indonesia di kepala karena mengiranya sebagai topi (hlm 44). Maklum, kebiasaan mereka berpakaian tanpa mengenakan baju dalam.
Setelah kisah Utomo itu, baru Huda menceritakan reuni mereka setelah belasan tahun tak bertemu. Yakni saat Huda ditugasi kantornya meliput pengeboman Bali I pada 2002. Dia kaget, bahkan nyaris pingsan, saat polisi menunjukkan sketsa wajah Utomo sebagai salah seorang anggota jaringan teroris. Rekan kantornya, Alan Sipress, juga kaget karena tak mengira bahwa Huda lulusan Ngruki.
Huda memilih karir sebagai jurnalis lantaran terpengaruh seniornya di pondok, Agus Trianto, yang rajin menunjukkan kliping artikel dan puisinya yang dimuat Jawa Pos pada 1987-1988 (hlm 172). Lulus dari Ngruki, dia kuliah di UIN Sunan Kalijaga dan Jurusan Komunikasi Fisipol UGM. Huda juga sempat bekerja di Jakarta Convention Centre sebelum akhirnya bergabung dengan Washington Post. Huda juga berhasil memperoleh beasiswa International Security dari St Andrew University Scotlandia (2005).
Setelah yakin Utomo yang dimaksud adalah murobbi (pembinanya) di pondok, Huda pun berupaya menemuinya di tahanan. Kisah pertemuan Huda dan Utomo di penjara yang penuh tangis harus diceritakan secara khusus di halaman 254-255. Pertemuan yang awalnya kaku dan canggung akhirnya lumer setelah mereka bercakap-cakap dengan bahasa Arab. Reuni itulah yang kemudian menginspirasi terbitnya buku ini. Dan juga membuat Huda tergerak untuk membangun Yayasan Prasasti Perdamaian yang khusus berkonsentrasi pada pembinaan para mantan narapidana terorisme serta keluarganya.
Di bagian akhir bukunya, Huda menampilkan kisah Titin, istri Utomo yang harus membesarkan anak-anaknya tanpa ayah. Juga kisah Mbak Laksmi, janda korban bom Bali yang harus mengasuh dua anaknya tanpa ayah. "Aksi-aksi pengeboman hanya melahirkan anak-anak yatim baru, bagi pelaku maupun bagi korban. Buku ini memang saya dedikasikan untuk anak yatim yang lahir karena terorisme. Royaltinya pun untuk mereka," ucap Huda.
Menurut Huda yang sekarang bermukim di Tembalang, Semarang, bukunya itu telah memancing banyak kritik sekaligus banyak dukungan. Mereka yang mengkritik berpendapat, Huda kurang mengelaborasi fakta bahwa negara-negara seperti Amerika dan sekutu-sekutunyalah, terutama Israel, yang saat ini paling banyak membuat dan memproduksi anak-anak yatim dari kalangan kaum muslimin di negara-negara Islam, seperti Afghanistan, Iraq, dan Palestina. (*)
*) Ridlwan Habib, Wartawan Jawa Pos
Judul Buku
Penulis
Penerbit
Cetakan
Tebal
0 komentar:
Posting Komentar