BANYAK kelompok muslim di Indonesia, bahkan di dunia, yang menyebut dirinya sebagai gerakan ahlusunah waljamaah. Akibatnya, banyak masyarakat muslim yang bingung mengidentifikasi dan menerjemahkan makna ahlusunah waljamaah tersebut. Meski istilah itu diperkenalkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW, banyak yang menerjemahkan dan melaksanakannya secara berbeda.
Bisa dimaklumi mengapa semua kelompok menyatakan diri sebagai penganut ahlusunah waljamaah. Sebab, Rasulullah mengatakan bahwa pengikut paham ahlusunah waljamaah akan masuk sebagai golongan yang selamat.
Secara bahasa, istilah ahlusunah waljamaah merupakan penggabungan dari kata Arab, yakni ahlun (keluarga, golongan, pengikut), al-sunnah (sesuatu yang diajarkan Rasululah), dan jamaah (komunitas pada masa khulafa'al rasyidin).
Dalam buku ini, penulis merumuskan tiga konsep yang dijadikan pegangan untuk menilai sebuah golongan ahlusunah waljamaah atau bukan. Pertama, golongan yang bisa dikatakan berpaham ahlusunah waljamaah selalu mengikuti sunah Rasul, baik secara normatif maupun dalam perilaku sehari-hari.
Kedua, orang-orang yang mengikuti paham atau ijtihad pada sahabat Nabi Muhammad SAW. Ketiga, istilah ahlusunah waljamaah dipahami sebagai sebuah kesatuan dari ulama yang konsisten menjaga, mengembangkan, dan mengamalkan apa yang dilakukan Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya.
Buku ini tentu tidak bisa menjustifikasi aliran-aliran dalam Islam mana yang masuk kategori ahlusunah waljamaah atau bukan. Di Indonesia, paham ahlusunah waljamaah juga dikaitkan dengan berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Kultur yang ada di lingkungan ulama dan kiai pesantren merupakan implementasi dari paham ahlusunah waljamaah. Kenyataan itulah yang membuat NU mendefinisikan dirinya sebagai organisasi berhaluan ahlusunah waljamaah (hlm. 12).
NU dalam menjalankan paham ahlusunah waljamaah menganut lima prinsip. Yakni, at-Tawazun (keseimbangan), at-Tasamuh (toleran), at-Tawasuth (moderat), at-Ta'adul (patuh pada hukum), dan amar makruf nahi mungkar. Soal sikap toleran pernah dicontohkan pendiri NU KH Hasyim Asy'ari saat muncul perdebatan tentang perlunya negara Islam atau tidak di Indonesia. Kakek mantan Presiden Abdurrahman Wahid itu mengatakan, selama umat Islam diakui keberadaan dan peribadatannya, negara Islam atau bukan, tidak menjadi soal. Sebab, negara Islam bukan persoalan final dan masih menjadi perdebatan (hlm. 81).
Politik NU
Kini,paham ahlusunah waljamaah sebagai pegangan warga nahdliyin perlu diuji dalam kancah politik praktis. Muncul banyak politikus NU yang setiap saat bersinggungan dengan iming-iming kepentingan duniawi sesaat. Puncak kejayaan perpolitikan NU di Indonesia disimbolkan oleh KH Abdurrahman Wahid yang menjadi presiden ke-4 RI. Sejak itulah bargaining position NU di jagat politik nasonal meningkat. Setiap pemilu maupun pemilihan presiden, warga NU menjadi rebutan parpol dan capres.
Harus diakui, keterlibatan NU dalam kegiatan politik merupakan desakan dan kebutuhan warga. Namun, kebijakannya sering kontraproduktif dengan garis perjuangan NU yang sudah ditentukan dalam keputusan kembali ke khitah 1926. Dengan demikian, prinsip independensi NU harus sama-sama dijaga dengan konsisten.
Sering munculnya kemudaratan ketika warga NU berpolitik melahirkan sebuah pemikiran tentang perlunya membangun karakter warga NU atau yang sering disebut dengan istilah mabadi khairo ummah. Gerakan membentuk umat terbaik itu pada 2008 dirumuskan sebagai suatu umat yang mampu melaksanakan tugas-tugas amar makruf nahi mungkar.
Keberhasilan gerakan mabadi khairo ummah bersandar pada pembangunan SDM di NU. Idealisasi gerakan mabadi khairo ummah bisa dimulai dari lingkungan terkecil, keluarga. Kemudian dikembangkan ke masyarakat, antarorganisasi, dan melebar ke entitas negara bangsa.
NU dan Tradisi Masyarakat
Bab 5 di buku ini menjelaskan bahwa NU sebagai organisasi keagamaan atau jam'iyyah diniyah yang dimotori pesantren sejak awal berdiri menerapkan ahlusunah waljamaah dengan tetap menaruh kepedulian terhadap tradisi masyarakat lokal. Tidak seperti organisasi Islam lain yang mudah mengeluarkan fatwa bidah dan taklid berdalih purifikasi Islam.
Tentu saja banyak kritik dan tantangan dari gerakan modernis terhadap tradisi-tradisi masyarakat yang tetap subur di NU. Inilah yang menarik, ketika tradisi-tradisi di masyarakat banyak dipertentangkan, NU justru menjadi pembela. Bahkan, NU mereproduksi tradisi tersebut selama tradisi itu tidak bertentangan dengan pokok ajaran Islam.
Untuk membentengi keyakinan warga NU agar tidak terkontaminasi paham-paham sesat yang dikampanyekan kalangan modernis, KH Hasyim Asy'ari menulis kitab risalah ahlusunah waljamaah yang secara khusus menjelaskan soal bidah dan sunah. Sikap lentur NU sebagai titik pertemuan pemahaman akidah, fikih, dan tasawuf versi ahlusunah waljamaah telah berhasil memproduksi pemikiran keagamaan yang fleksibel, mapan, dan mudah diamalkan pengikutnya (hlm. 191).
Karena itu, NU bisa menjadi fondasi bagi Islam khas Indonesia. Terbukti, warga nahdliyin sulit dirasuki atau diajak terlibat dalam aksi-aksi terorisme. Tradisi yang terjaga di NU membuat aliran radikalisme tidak bisa berkembang di kalangan nahdliyin.
Komitmen membela keragaman tradisi itulah yang menjadikan NU semakin eksis menyapa warganya. NU juga selalu kreatif mendialogkan tradisionalisme dan modernisme. Pada tingkatan itu, NU telah menanamkan paham ahlusunah waljamaah yang sekaligus sebagai pelopor perilaku modern dan toleran dalam kehidupan beragama.
Semoga pimpinan NU yang baru saja terpilih dalam muktamar ke-32 di Makassar tetap mampu mempertahankan eksistensi NU sebagai organisasi yang menganut paham ahlusunah waljamaah. (*)
Judul Buku: Ahlussunnah Wal Jama'ah; Telaah Historis dan Kontekstual
Penulis: Marwan Ja'far
Penerbit: LKiS Jogjakarta
Cetakan: Pertama, Maret 2010
Tebal: 251 halaman
*) Tomy C. Gutomo, wartawan Jawa Pos ( tom@jawapos.co.id )
Sumber www.jawapos.co.id
29 Maret 2010
NU dan Ahlusunah Waljamaah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar