Mendiang Adam Malik, sosok Batak bermarga Batubara, konon merupakan agen CIA (Central Intelligence Agency), sebagaimana diungkapkan Tim Weiner dalam bukunya Legacy of Ashes, the History of CIA (Membongkar Kegagalan CIA)?
Sebagaimana diketahui, Weiner yang juga wartawan koran The New York Times tersebut menulis tentang peran agen itu berdasar wawancaranya dengan perwira CIA, Clyde McAvoy, pada 2005. Kepada Weiner, McAvoy mengklaim bertemu Adam Malik pada 1964 dan merekrutnya sebagai agen CIA. Bahkan, guna mendukung peran Adam Malik sebagai agen, CIA menyerahkan uang tunai 10.000 dolar AS untuk membiayai pembasmian Gestapu (hal 332 edisi Indonesia).
Sebagian besar publik kita langsung menolak tulisan Weiner. ''Saya tidak percaya Pak Adam Malik menjadi apa yang ditulis itu (agen CIA). Sebab, garis politik Pak Adam Malik tidak sesuai dengan pandangan politik Amerika,'' katanya. ''Beliau pendiri Partai Murba, lebih condong ke pemikiran sosialis. Mana mungkin orang Amerika percaya orang sosialis bisa jadi agennya? Selain itu, mana mungkin orang Murba jadi agen CIA,'' timpalnya.
Meski demikian, Wapres Jusuf Kalla mengakui ada kemungkinan Adam Malik tidak sadar telah direkrut sebagai kontak CIA (Jawa Pos, 25 November 2008).
Menurut sejarawan Asvi Warman Adam, atas terbitnya buku itu, keluarga Adam Malik dan pemerintah harus bersikap, antara lain, dengan mengeluarkan bantahan. Dia beralasan, Adam Malik adalah tokoh yang harus dijaga nama baiknya. Apalagi, saat ini akan dibangun bandar udara di Sumatera Utara bernama Adam Malik. Penarikan buku dari peredaran, kata Asvi, juga bisa menjadi alternatif untuk menghentikan tuduhan kepada Adam Malik.
Tak Perlu Ditarik
Toh, menurut saya, buku itu tidak perlu ditarik. Bukankah selama ini juga sudah beredar rumor dalam lingkup terbatas tentang Adam Malik sebagai agen CIA. Jadi, Weiner perlu diapresiasi karena mengkat rumor itu dalam sebuah buku berdasar laporan perwira CIA, Clyde McAvoy.
Lagi pula, apakah keterlibatan sebagai agen CIA harus selalu dimaknai secara negatif? Bergantung perspektif atau sudut pandang saja. Penulis jadi ingat rumor di Belanda pada awal 1990-an yang gencar menyebut mendiang Paus Yohannes Paulus II kabarnya juga menjalin kerja sama erat Vatikan-CIA sejak 1980-an untuk meruntuhkan komunisme di Eropa Timur. Tidak heran jika ada yang menyebut Paus pun direkrut jadi agen CIA.
Lalu, TV Nederland III dalam suatu programnya memaparkan tentang kerja sama erat CIA-Vatikan di bawah Paus Yohannes Paulus II. Program itu diperkuat berbagai dokumentasi guna menguak keterlibatan Vatikan-CIA-Lech Walensa yang memimpin gerakan buruh Solidaritas untuk menggulingkan pemerintahan sosialis Polandia di bawah Yaruzelsky.
Atas perannya tersebut, Paus Yohannes Paulus II hingga kini justru dianggap sebagai pahlawan penumbang komunisme di Eropa Timur. Adam Malik juga bisa dilihat sebagai salah seorang pahlawan penumbang PKI.
Karena itu, seandainya Adam Malik sungguh jadi agen CIA dalam konteks untuk membendung semakin kuatnya pengaruh PKI pada dasawarsa 1960-an, di mata penulis, citra dia tidak akan ternoda. Warga kita yang hidup pada era 1960-an bisa memberi kesaksian betapa kuatnya pengaruh komunis ketika itu seolah dominasi tersebut tidak bisa dipatahkan.
Sanggahan dan Klarifikasi
Tentu saja kita bisa menyangkal keterlibatan Adam Malik sebagai agen CIA. Tapi, jangan lupa, Tim Weiner selama 20 tahun telah bekerja secara profesional menelaah dunia intelijen, khususnya CIA.
Memang, keterlibatan CIA dalam kudeta terhadap Bung Karno dan PKI pada 1965 selalu disangkal beberapa kalangan. Namun, berbagai sumber asing, seperti Peter Dale Scott dan Geoffrey Robinson, menyebut CIA justru sebagai dalang utama peristiwa 1965. Untuk itu, CIA bekerja sama dengan sebuah klik di dalam AD untuk memprovokasi PKI.
Apalagi, George M.T. Kahin juga mengungkap keterlibatan CIA dalam berbagai pemberontakan di tanah air seperti kasus PRRI dan Permesta. Jadi, tidak mustahil CIA juga berperan dalam percobaan kudeta 1965.
Jangan lupa pula, sebagai negara adikuasa, AS lewat CIA-nya selalu ingin terlibat dan campur tangan dalam berbagai urusan negara lain. Uniknya, buku Weiner kali ini secara implisit justru seperti mengesankan bahwa CIA, dinas rahasia AS) dan pemerintah AS tidak terlibat secara langsung dalam perencanaan kudeta 1965 di Indonesia.
Jadi, ada ''contradictio in terminis''. Di satu sisi, Adam Malik dinyatakan sebagai agen CIA, di sisi lain CIA tidak terlibat langsung dalam Peristiwa 1965.
Karena itu, sanggahan atau klarifikasi secara ilmiah atas tulisan Weiner harus dibuat sesegera mungkin oleh para sejarawan kita. Kita boleh menolak temuan Weiner, tapi penolakannya tidak boleh sekadar emosional. Di sinilah ada tugas mulia sejarah.
Mendiang sejarawan Kuntowijoyo mengingatkan, tugas sejarah bukan seperti hakim yang menentukan hitam putihnya seorang tokoh sejarah. Kalau ada sebuah laporan sejarah yang salah, pelurusannya hanya bisa lewat penulisan dengan bukti-bukti terbaru. Bukan dengan menarik buku atau membakar buku itu.
Agaknya, kita harus mengakui, bangsa ini belum mampu menilai secara jujur peran sejarah, termasuk sejarah para tokohnya seperti Adam Malik secara holistik dan objektif. Orang masih lebih suka berada pada posisi memihak yang satu seraya menolak yang lain.
* Endang Suryadinata, peminat sejarah, alumnus Erasmus Universiteit Rotterdam
Dikutip dari Jawa Pos, 25 November 2008
26 November 2008
Adam Malik-CIA dalam Buku Tim Weiner
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar