Cerpen Dodiek Adyttya Dwiwanto
Banyak anak,
banyak rezeki. Pepatah ini benar adanya. Tidak salah kalau ayah,
kakek, kakek buyut, hingga kakek nenek moyangku selalu mengumbar
semboyan ini. Banyak anak memang banyak rezeki. Tidak usah takut akan
kehilangan harta dalam membiayai hidup anak-anak kita. Tidak perlu
gentar pula bila tidak memiliki cukup uang dalam memberikan kehidupan
yang layak. Tidak perlu risau dengan semua itu karena Yang Maha Kuasa
telah mengatur semuanya.
Semua itu selalu dikumandangkan oleh ayah
dan kakek kala keduanya masih hidup. Kau harus berani dalam mengarungi
hidup ini. Milikilah anak yang banyak. Tidak perlu risau jika kau
tidak punya cukup harta untuk membiayai mereka. Ingat setiap anak
membawa rezekinya masing-masing. Rentetan kata-kata ini selalu saja
diutarakan ayah dan kakek hingga akhirnya meresap dalam otakku, mengalir
dalam aliran darahku.
Ya, sudah akhirnya aku memiliki banyak
anak. Sejatinya, sih, tidak terlalu banyak. Hanya enam orang saja.
Buat orang yang hidup sejaman denganku jumlah itu tidak seberapa.
Rata-rata mereka punya minimal delapan anak. Jumlah anakku ya tidak
seberapa.
Semua anak-anakku kini telah dewasa. Semuanya telah
berkeluarga dan telah memberikan segerombolan cucu-cucu yang manis,
lucu, pintar, sekaligus menjengkelkan saat bandel atau merajuk. Dan
seperti apa kata ayahku, kakekku dan orang-orang sebelum mereka,
anak-anakku ini juga membawa rezekinya masing-masing. Semuanya sukses
menjadi “orang”. Punya karier dan jabatan yang bagus, keluarga
harmonis, rumah yang mewah, mobil yang mentereng, uang yang berlimpah.
Pokoknya yang bagus-bagus. Orangtua mana, sih, yang tidak bangga dengan
keberhasilan anak-anak mereka.
Anak sulungku yang laki-laki, kini
berada di Swedia. Ia menjabat sebagai Duta Besar di sana. Setelah
lebih dari 25 tahun menjadi diplomat, ia hanya bisa menjadi Duta Besar
dan bukan Menteri Luar Negeri. Tidak mengapa, tak banyak rekan-rekannya
yang bisa menjadi seperti itu. Paling banter hanya sebagai direktur di
lingkungan Deplu. Tidak percuma kalau aku menyekolahkannya hingga
tingkat sarjana. Di era akhir 1970-an tidak terlalu banyak orang yang
menyandang titel sarjana tapi anak sulungku bisa. Malah ia kemudian
bisa masuk Deplu, berkarier di sana dan juga meraih titel Ph.D! Karena
anakku sering berada di luarnegeri, maka istri dan anak-anaknya lebih
sering bertutur dalam Bahasa Inggris. Tidak hanya itu, sesekali mereka
juga berbicara dalam Bahasa Perancis.
Anak keduaku perempuan. Ia
bekerja di UNHCR, sebuah badan PBB yang mengurusi pengungsi di seluruh
dunia. Kini, ia tinggal di Perancis bersama suaminya yang seorang
pengusaha kerajinan etnik Indonesia. Karena sudah lama menetap di
Perancis, maka mereka sekeluarga lebih sering berbahasa Perancis.
Apalagi kalau bertemu dengan keluarga anak sulungku, mereka suka bercas
cis cus dalam bahasa yang menurutku seperti orang berkumur-kumur.
Anak
ketiga juga perempuan. Ia menjadi guru besar di Universitas Gadjah
Mada. S-1 dan S-2 diperolehnya di universitas negeri tertua di negeri
ini, sedangkan S-3 diperolehnya di Inggris. Saat mengambil kuliah
doktor inilah, ia bertemu dengan suaminya yang juga seorang dosen di
universitas yang sama. Mereka menikah tidak lama setelah lulus program
doktor. Kini, mereka memberikanku cucu-cucu yang lucu karena selalu
menggunakan tutur kata Bahasa Jawa yang krama inggil!
Anak
keempatku yang laki-laki, sekarang menjadi pemimpin redaksi sebuah
sindikasi penerbitan majalah dan suratkabar terbesar di Asia Tenggara.
Hmm, sepertinya ia mewarisi bakat kakekku yang seorang wartawan dan
tokoh pergerakan. Tadinya aku tidak menyetujui keinginannya untuk
menjadi seorang jurnalis, tapi aku menyerah saat ia mengatakan kalau
kakek buyut adalah seorang wartawan jempolan di jaman penjajahan
Belanda. Apalagi kemudian cita-citanya didukung oleh istriku. Ya,
sudahlah. Tapi kini ia bisa membuktikan kalau pilihannya untuk menjadi
jurnalis tidaklah salah.
Anak kelimaku perempuan. Ia hanyalah
seorang ibu rumahtangga. Meskipun aku telah menyekolahkannya hingga
S-2, ia malah lebih menyukai jadi seorang istri bagi suaminya sekaligus
ibu bagi anak-anaknya. Suaminya kini menjadi fungsionaris sebuah partai
politik besar dan tengah mencalonkan diri menjadi Wakil Gubernur Jawa
Timur.
Anak bungsuku seorang laki-laki. Seusai kuliah komputer di
Amerika Serikat, ia malah menetap di Bali dan menjadi programmer
freelance bagi perusahaan piranti lunak semacam Microsoft atau Oracle.
Ah, aku tidak terlalu tahu banyak tentang komputer.
Anak-anakku sukses!
Anak-anakku juga bisa menjadi kebanggaanku. Mereka juga memberikan cucu-cucu yang lucu.
Tapi semua itu tidak membuatku bahagia!
Di
masa tuaku ini aku makin kesepian. Sendiri dalam keterasingan.
Apalagi setelah istriku meninggal dunia. Hmm, semakin sepi saja hidup
ini. Tidak teman berbicara atau bertukar pikiran. Bertemu dengan
teman-teman sejawat juga percuma. Kebanyakan dari mereka sudah
meninggal. Kalaupun ada yang masih hidup eh sudah pikun. Seandainya
ada yang masih segar bugar, masih bisa dihitung dengan jari. Kalau aku
bertemu dengan mereka terus, lama-lama ya bosan.
Bosan bertemu dengan
teman-teman. Aku mencoba berdiam diri di rumahku di sebuah kawasan
elit di Surabaya, tetapi dari hari ke hari ternyata jenuh juga. Rumah
dengan pekarangan 1 hektar ini ternyata seperti hutan belantara Amazon.
Sunyi senyap. Yang ada hanyalah sederetan pembantu, tukang kebun dan
supir yang telah bertahun-tahun setia bersamaku.
Lantas apa pekerjaanku?
Menulis
biografi? Aku bukan seorang yang patut menulis catatan perjalananku.
Berbisnis? Aku sudah terlalu tua. Menjadi dosen? Aku tidak terlalu
pintar.
Akhirnya aku memutuskan untuk mengunjungi anakku satu
persatu. Aku mendatangi anak sulungku. Perjalanan puluhan jam Jakarta –
Singapura – Amsterdam hingga Stockholm masih bisa aku lalui. Sebagai
orang yang pernah ikut wajib militer, keperkasaanku masih ada sisanya.
Sayangnya,
impian indahku untuk bersama anak sulung, menantu perempuan dan
cucu-cucuku sirna. Mereka sibuk dengan diri masing-masing. Anakku
sibuk dengan pekerjaannya. Begitu juga menantuku yang sibuk sebagai
komandan para ibu dalam setiap acara di Kedutaan Besar. Sama halnya
dengan cucu-cucuku yang malah asyik ber-summer vacation ke Italia dan
Spanyol.
Aku mutung dibuatnya. Aku segera minta dipesankan tiket
pesawat ke Perancis. Siapa tahu anak perempuanku mau menampung ayahnya
yang kesepian ini! Ah, ternyata sesampainya di Paris, aku malah tambah
kesepian. Mereka tinggal di pedesaan di luar kota Paris. Sepi. Bahkan
lebih sunyi ketimbang aku berada di kampung halamanku di Batu, Malang.
Aku
memutuskan pulang ke Jakarta. Siapa tahu anakku yang menjadi wartawan
kondang sekaligus pemimpin redaksi itu mau menemaniku. Setali tiga
uang. Anakku sedang sibuk dengan pekerjaannya. Bahkan, ia sedang tidak
berada di Jakarta. Ia sedang berada di luarnegeri.
Aku hanya bisa
termangu. Aku telepon anak perempuanku di Yogyakarta, sedang apa ia
sekarang? Sibuk juga! Sibuk mengajar mahasiswa S-2 dan S-3!
Anak
perempuanku yang lain, yang suaminya pejabat juga pasti sibuk membantu
suaminya berkampanye. Tidak mungkin kalau ia tidak mendampingi suaminya
road show ke daerah-daerah. Tentunya ia tidak ingin suaminya kepincut
penyanyi dangdut seperti yang terjadi pada anggota parlemen lantas
terjadi skandal. Urusan dengan aku, ya lupakan sejenak!
Hmm, semua anakku sibuk!
Tidak adakah dari kalian yang tidak sibuk!
Aku
meratap dalam hati. Termangu sendiri di dalam sebuah taksi yang
membawaku wara wiri tiada tentu. Istriku, sedang apa kamu di surga?
Lihat anak-anak kita, mereka semua melupakanku! Tidak ada lagi yang
peduli denganku. Cuek dengan ayah kandung mereka!
Supir taksi
bingung ke mana lagi ia akan mengarahkan mobilnya. Aku bilang lurus,
lurus atau terus dan terus. Argometer sudah menunjukkan hampir 500 ribu
rupiah! Aku tidak peduli. Aku punya milyaran rupiah dan ratusan ribu
dollar di bank. Mendadak ponselku menjerit dengan kencang,
mengagetkanku dari lamunan.
Ternyata anak bungsuku. Ia
mengabarkan kalau putra ketiganya akan dikhitan minggu depan. Ia
memiliki anak yang paling banyak dibandingkan anak-anakku yang lain. Ia
punya empat anak, tiga laki-laki dan perempuan yang bungsu. Semua
anak-anaku rata-rata hanya punya dua anak saja. Hmm, program keluarga
berencana yang didengungkan oleh Orde Baru sepertinya berhasil.
Ia
mengundangku dengan segera. Aku langsung mengiyakan ketimbang aku
berputar-putar tidak karuan di Jakarta. Supir taksi kuperintahkan
menuju Bandara Soekarno Hatta. Aku segera mencari tiket menuju
Denpasar. Tanpa perlu bertanya berapa harganya. Pokoknya penerbangan
apa saja.
Tidak butuh lebih dari satu setengah jam, aku sudah
sampai di Denpasar. Aku langsung mengabarkannya kepada anak bungsuku.
Ia kaget bercampur senang. Bersama dengan istri dan keempat putra
putrinya, anak bungsuku menjemputku.
Ah, sudah berapa tahun aku
tidak melihatnya. Hmm, mungkin aku yang terlalu sibuk. Aku juga tidak
terlalu dekat dengannya. Aku lebih membanggakan putra sulungku dan anak
keempatku yang menjadi orang sukses sedangkan anak bungsuku sudah aku
sekolahkan jauh-jauh ke Amerika Serikat malah hanya jadi programmer
komputer. Istrikulah yang paling dekat dengan anak bungsu kesayangannya
ini.
Aku melihat anak bungsuku datang. Ia tampak lebih gemuk
dari sebelumnya. Rambutnya juga makin menipis, mirip mendiang
kakeknya. Ia memelukku. Begitu juga dengan menantuku. Di belakangnya
berderet tiga anak lelaki ganteng serta satu bocah perempuan yang cantik
dan pemalu.
Kami pun bergegas menuju rumah anak bungsuku.
Sudah
cukup lama, anakku tinggal di Pulau Dewata. Entah apa alasannya tinggal
di sini. Bukan di Surabaya atau Jakarta. Biarlah itu menjadi
pilihannya sendiri. Ia memang terbilang keras kepala sejak kecil.
Tidak
terasa sudah beberapa hari ini, aku tinggal di rumah anak bungsuku di
sebuah kawasan pedesaan di luar kota Denpasar. Suasananya tenang.
Sepertinya ini cocok untuk orang pensiunan seperti diriku.
Aku
merasakan ketenangan di rumah ini. Rumah ini memang tidak sehebat
kediaman anakku yang menjadi Dubes. Juga tidak seartistik rumah milik
anakku yang ada di Perancis, Jakarta, atau Yogyakarta. Rumah ini justru
sederhana, unik, dan artistik, tetapi rumah ini juga menawarkan
kedamaian yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya.
Rumah ini
begitu teduh. Entah apa karena penghuninya suka menjalankan perintah
Yang Maha Esa. Anak bungsuku sekeluarga tidak pernah lalai dalam
menjalankan salat lima waktu. Bahkan, kalau bisa mereka shalat secara
berjamaah. Tetapi aku tidak pernah ikut karena aku sudah melalaikannya
sejak lama.
Tapi pagi ini berbeda. Aku dibangunkan oleh anak
bungsuku. Aku bangkit dan kemudian mengambil air wudhu. Ah, betapa
menyegarkannya membasuh tubuh di pagi hari. Selesai wudhu, ternyata
anak bungsuku sekeluarga telah menungguku di ruang salat. Mereka
mempersilahkanku menjadi imam. Aku menggeleng. Aku menolak. Seumur
hidupku, aku belum pernah menjadi imam salat. Aku mempersilahkan anak
bungsuku untuk memimpin salat. Tetapi putra sulungnya langsung
mengatakan kalau salat lebih afdal bila yang memimpin shalat adalah yang
lebih tua dan itu adalah aku yang berstatus kakek. Aku menggeleng
pelan dan mengatakan kalau aku tidak bisa dan tidak mampu. Tanpa aku
sadari, aku meneteskan airmata. Cucuku yang masih duduk di bangku SMP
ini ternyata tahu banyak tentang agama dibandingkan kakeknya yang
luarbiasa tersesatnya.
Anak bungsuku segera memimpin salat. Aku
mengikutinya. Entah sudah berapa puluh tahun aku tidak salat. Aku malu
dengan anak bungsuku. Ternyata ia tidak hanya pandai dalam meraih
gelar master di bidang komputer, tetapi juga piawai dalam bidang agama.
Siapa yang mengajarkannya? Istrikukah? Sepertinya tidak.
Usai
salat subuh, anak bungsuku memimpin keluarganya untuk mengaji Al
Qur’an. Airmataku makin mengalir dengan deras. Aku malu. Di umurku
yang senja ini, aku belum pandai mengaji. Cucu-cucuku melihat dengan
tatapan yang bingung.
Cucu perempuanku mendadak bangkit dari
duduknya, menghampiriku. Ia memelukku dengan penuh kasih sayang. Ia
mengatakan kalau aku belum pandai, ia akan mengajariku. Kalaupun tidak
mau, cucuku bilang ayahnya akan membantu. Begitu juga dengan ibundanya
dan saudara-saudaranya yang lain. Aku tersenyum malu. Aku pun
mengangguk setuju. Aku memeluk dan memangkunya.
Aku rasakan pagi ini
begitu syahdu. Anak bungsuku dan keluarganya mengajarkanku pelajaran
hidup yang penting sebelum aku menutup mata. Mudah-mudahan mereka
memperbolehkan aku tinggal di sini lebih lama, apalagi bulan Ramadhan
telah menjelang. Aku ingin belajar agama. Aku tidak ingin sendiri.
Aku ingin bersama anak bungsuku dan keluarganya. Mudah-mudahan hidupku
tidak lagi sepi saat aku menjelang ajal di hari kelak nanti.
Rumahsakit Islam Siti Hajar, Mataram, Lombok, 7 November 2006
Dodiek
Adyttya Dwiwanto. Lulusan Ilmu Komunikasi FISIPOL Universitas Gadjah
Mada. Tulisan-tulisannya seperti cerita pendek, resensi buku, dan
artikel sepakbola dimuat di berbagai media cetak nasional. Saat ini,
bekerja sebagai humas di sebuah perusahaan, selain juga menjadi kolumnis
sepakbola di sebuah media cetak nasional.
Sumber: Kompas, 22 Februari 2013
25 Februari 2013
Lagu Kesunyian di Penghujung Hari
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar