Budaya baca rakyat Indonesia hingga saat ini masih dinilai rendah. Data-data berikut ini menguatkan pernyataan ini.
Berdasarkan
indeks baca nasional, indeks minat baca nasional hanya 0,01. Bila
dibadingkan dengan negara-negara maju, angka ini terpaut jauh. Sebab
rata-rata indeks baca di negara tersebut antara 0.45 sampai dengan 0,62.
Indonesia sendiri untuk minat baca menduduki urutan ketiga dari bawah di dunia. Membaca yang belum menjadi budaya dan lebih senang dengan budaya tutur serta menonton, ditenggarai menjadi penyebabnya [1]
Indonesia sendiri untuk minat baca menduduki urutan ketiga dari bawah di dunia. Membaca yang belum menjadi budaya dan lebih senang dengan budaya tutur serta menonton, ditenggarai menjadi penyebabnya [1]
International
Education Achievement (IEA) meneliti kualitas membaca anak-anak pada 31
negara yang terbesar di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika. Hasil survey
tersebut menunjukan bahwa kualitas membaca anak-anak Indonesia menduduki
urutan ke 29 dari 31 Negara yang diteliti.[2]
Minat
baca masyarakat Indonesia terbilang sangat rendah, karena indeks
membaca kita hanya 0,001. Artinya dari seribu penduduk hanya 1 orang
yang punya minat baca tinggi. Bandingkan dengan indeks minat baca di
Singapura yang mencapai 0,45 yang artinya dari seratus penduduk ada 45
orang yang memiki minat baca buku.
Lalu
bagaimana dengan minat membaca anak-anak didik kita? Jika kita
bandingkan dengan Negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang, mereka
memiliki waktu baca khusus dalam sehari. Rata-rata kebiasaan mereka
menghabiskan waktu untuk membaca mencapai delapan jam sehari. Sementara
di Negara berkembang,termasuk Indonesia, hanya 2 jam setiap hari.
Di
samping itu para siswa kita tidak pernah wajibkan membaca buku bacaan
dalam jumlah tertentu sebelum mereka lulus sekolah. Di beberapa Negara
maju, siswa SMA berkewajiban menamatkan buku bacaan dengan jumlah
tertentu sebelum mereka lulus sekolah.
Negara-negara
seperti Jerman, Prancis dan Belanda mewajibkan siswanya harus
menamatkan 22-32 judul buku, Jepang 15 buku, Malaysia 6 judul buku,
Singapura 6 judul buku, Thailand 5 judul buku, sedangakan di Indonesia
sejak tahun 1950 hingga sekarang tidak ada kewajiban untuk menamatkan
satu judul buku pun sebagai salah satu syarat untuk lulus sekolah.
Kondisi
ini sangat diperparah dengan budaya bertutur kita yang masih dominan,
sehingga tidak ada pembelajaran secara tertulis yang dapat menimbulkan
budaya membaca.
Dengan demikian tidaklah mengherankan bila indeks kualitas SDM (Human
Development Index/HDI) di Indonesia berdasarkan hasil survey UNDP hanya
menempati peringkat ke -117 dari 175 negara. [3]
Budaya
tutur dan menonton selalu menjadi kambing hitam ketika media massa
memberitakan tentang budaya baca bangsa ini yang masih rendah. Budaya
lisan dan menonton bisa berjalan seiring dengan budaya baca tanpa harus
mematikan salah satunya. Jerman, Prancis, dan Amerika adalah sebuah
peradaban yang juga memiliki budaya lisan dan menonton. Hanya saja,
pemerintahan mereka sangat antusias dalam membangun budaya baca. Proses
membangun budaya baca berjalan secara sistematis dengan memudahkan rakyat dalam mengakses buku-buku yang bermutu antara lain melalui perpustakaan.
Inilah
yang tidak terjadi di negeri tercinta ini. Pemerintah baik pusat maupun
daerah kurang serius dalam membangun budaya baca. Dengan kata lain pemerintahan yang berbudaya baca rendah akan melahirkan rakyat yang juga berbudaya baca rendah. Karena pemerintah tidak memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada rakyat untuk mengakses buku dengan mudah. Tidak
ada rencana strategis yang nyata dalam membudayakan minat baca. Prosesi
membangun budaya baca baru sebatas pada kegiatan seremonial dalam
bentuk pencanangan gerakan membaca.
Dalam catatan penulis, pemerintah sudah berulang kali melakukan pencanangan gerakan membaca di negeri tercinta ini. Kampanye membaca selama ini lebih terkesan sebagai ajang tebar pesona. Pemerintahan
orde baru mencanangkan Hari Kunjung Perpustakaan (14 September 1997),
pemerintahan Megawati mencanangkan Gerakan Membaca Nasional (12 November
2003), dan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan Gerakan
Pemberdayaan Perpustakaan di Masyarakat (17 Mei 2006).
Wakil
Presiden Boediono pada 27 Oktober 2011 mencanangkan Gerakan Nasional
Pembudayaan Gemar Membaca. Menindaklanjuti gerakan di atas Perpustakaan
Nasional RI menggelar acara Roadshow Perpustakaan Nasional RI 2012 yang
berupa deklarasi gerakan membaca nasional di beberapa provinsi.
Aneka
gerakan membaca di atas ternyata belum mampu memberikan perubahan yang
berarti terhadap budaya membaca di tanah air. Gerakan membaca seolah
berhenti seiring dengan selesainya waktu pencanangan. Tidak ada gerakan
inovatif dan kreatif dalam mendongkrak budaya baca. Yang ada hanya
gerakan rutinitas persis sama ketika belum ada pencanangan gerakan
membaca.
Untuk itu diperlukan “Resolusi Luar Biasa” untuk mengobarkan budaya baca penguasa agar melahirkan rakyat yang berkobar-kobar dalam membaca. Rakyat yang memiliki stamina dan energi yang luar biasa dalam membaca seolah mereka baru minum kratingdaeng.
Adapun “Resolusi Luar Biasa” ini adalah pertama,
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada rakyat untuk membaca.
Berhentilah menyalahkan rakyat sebagai biang kerok rendahnya minat baca.
Karena biang keroknya adalah pemerintah sendiri yang lemah, letih,
lesu, dan kurang berstamina dalam membudayakan membaca. Pemerintah perlu
minum “kratingdaeng” budaya baca.
Untuk mewujudkan hal ini pemerintah harus mendirikan perpustakaan di setiap kabupaten, kecamatan dan desa.
Selama ini pemerintah dan terutama pemerintah daerah kabupaten/kota
masih setengah hati dalam membangun perpustakaan. Otonomi daerah semakin
menyurutkan langkah untuk membangun perpustakaan. Jangankan untuk
membangun perpustakaan desa, perpustakaan umum kabupaten/kota pun saat
ini masih dalam kondisi yang memprihatinkan.
Menurut
Kepala Humas Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) Agus
Sutoyo, pengelolaan perpustakaan di daerah dinilai kurang maksimal.
Daerah dianggap tidak memiliki komitmen kuat untuk mengembangkan
perpustakaan daerah, khususnya dalam hal pergantian pimpinan
perpustakaan. Misalnya, ada kepala perpustakaan di daerah yang sudah
bagus, manajemannya bagus, berhasil dalam pengelolaan perpustakaan di
daerah, itu akan cepat sekali diganti oleh bupati atau gubernur (Suara
Merdeka, 16 November 2011).
Kabupaten
maupun kota merupakan wilayah kerja yang sebenarnya dari perpustakaan.
Perpustakaan dengan tugas utamanya memberdayakan masyarakat dengan
membaca sering menghadapi kendala ketika program dari Perpustakaan
Nasional RI hendak diaplikasikan di tingkat kabupaten/kota. Rencana yang
sudah disusun matang di tingkat pusat menjadi mentah kembali ketika
berbenturan dengan kebijakan pemerintah kabupaten/kota.[4]
Urusan
perpustakaan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan
daerah. Tanggung jawab pelaksanaan pembangunan bidang perpustakaan di
daerah adalah tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota. Perpustakaan bukan sekedar lembaga papan nama
yang ada sekedar untuk menggugurkan kewajiban. Perpustakaan adalah
lembaga yang didirikan untuk memberdayakan masyarakat kabupaten/kota.
Dahulu
kala, pernah ada seorang bupati yang dengan enteng berkata, “ Aku malu
dengan kondisi gedung perpustakaan daerah ”. Rupanya beliau yang
terhormat lupa bahwa keberadaan gedung perpustakaan daerah adalah bagian
dari tanggung jawabnya. Hilangnya rasa tanggung jawab inilah yang
menghambat pelaksanaan program perpustakaan di daerah. Ironisnya, di
tanah air amnesia tanggung jawab ini telah menjadi budaya sebagian besar pimpinan kabupaten/kota.[5]
Kedua, memberikan anggaran dan sarana-prasarana perpustakaan yang memadai. Dalam
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan diamanahkan
bahwa pemerintah (pusat dan daerah) wajib memberikan anggaran yang
memadai kepada perpustakaan. Ini artinya, segala hal yang diperlukan
oleh perpustakaan untuk tugas suci membudayakan membaca di kalangan
masyarakat harus dipenuhi. [6]
Ironisnya, banyak pemerintah kabupaten/kota yang mengabaikan hal ini. Lihat
saja anggaran APBD Kabupaten/Kota di tanah air ! Nominal yang
dianggarkan untuk pengadaan buku di perpustakaan masih jauh dari angka
minimal kebutuhan. Tanpa disadari banyak pemerintah daerah yang
menghancurkan minat baca masyarakatnya dengan memberi anggaran minim
untuk perpustakaan.
Dengan
anggaran seadanya, perpustakaan tak akan mampu membeli buku-buku baru
sesuai dengan keinginan masyarakat. Akibatnya, masyarakat akan merasa
bosan dengan perpustakaan karena koleksi bukunya kurang mengikuti
perkembangan zaman.
Sementara itu, di Kota Surakarta nasib perpustakaan daerah semakin tidak jelas. Karena dari dulu dibiarkan hidup nomaden,selalu direncanakan
berpindah-pindah tempat. Seolah tak memiliki pelabuhan terakhir untuk
membangun hidupnya. Di Karanganyar, nasib perpustakaan daerah semakin
merana karena di pindah ke lokasi bekas rumah sakit. Akibatnya, jumlah pengunjung menurun drastis.[7]
Meskipun demikian ada juga pemerintah kabupaten/kota yang memberikan perhatian
dan dukungan memadai kepada perpustakaan daerah. Sragen, Lubuk Linggau,
Wonosobo, Kota Malang, Batang, dan Kota Surabaya merupakan sedikit
contoh pemerintah daerah yang memberikan apresiasi kepada perpustakaan.
Ketiga, memberikan sumber daya manusia yang memadai kepada perpustakaan. Menurut
Kepala Humas Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) Agus
Sutoyo, pengelolaan perpustakaan di daerah dinilai kurang maksimal.
Daerah dianggap tidak memiliki komitmen kuat untuk mengembangkan
perpustakaan daerah, khususnya dalam hal pergantian pimpinan
perpustakaan. Misalnya, ada kepala perpustakaan di daerah yang sudah
bagus, manajemannya bagus, berhasil dalam pengelolaan perpustakaan di
daerah, itu akan cepat sekali diganti oleh bupati atau gubernur (Suara
Merdeka, 16 November 2011).
Sampai
saat ini masih cukup banyak pemerintah kabupaten/kota yang menganggap
perpustakaan sekedar “tong sampah”. Tempat untuk membuang
pejabat-pejabat yang “gagal dalam tugas”, “melakukan kesalahan”, dan
“sudah tidak produktif lagi”.
Perpustakaan
Umum Kabupaten/Kota masih dipandang sebagai tempat hukuman bagi para
PNS yang bermasalah. Bahkan para pejabat yang dimutasi di perpustakaan
umum karena kewajaran proses mutasi masih sering dipersepsikan memiliki
kesalahan besar sehingga harus dibina dan bertaubat di perpustakaan.
Kalangan birokrasi juga masih memiliki pandangan meremehkan terhadap dunia perpustakaan. Seolah
perpustakaan merupakan tempat yang tidak memiliki pekerjaan penting.
Pandangan menyesatkan ini menunjukkan betapa piciknya pola pikir bangsa
ini yang menganggap membaca dan buku bukan merupakan bagian dari elemen
pembangunan bangsa.[8]
Tokoh
sekelas Jokowi pun masih menganut “paham” ini. Bahkan Jokowi yang kini
menjadi Gubernur DKI Jakarta membuat kebijakan yang kontroversial dengan
menempatkan pejabat yang dianggap tak cakap menjadi walikota di Badan
Perpustakaan dan Arsip DKI Jakarta. Suatu langkah yang mengundang rasa gregetan insan dunia perpustakaan di tanah air.
Keempat, memberikan status kelembagaan yang terhormat kepada perpustakaan. Di
tanah air, bentuk kelembagaan perpustakaan umum kabupaten/kota cukup
beraneka ragam. Sebagian besar berbentuk kantor gabungan perpustakaan
dan arsip. Hanya sebagian kecil yang berdiri sendiri sebagai kantor
(eselon III/a) seperti yang dilaksanakan di Sragen, Kota Malang dan
Wonosobo.
Bentuk
kelembagaan yang direkomendasikan oleh Perpustakaan Nasional RI adalah
kantor mandiri dengan eselon III/a. Bentuk kelembagaan yang berbeda-beda
jelas akan menyulitkan Perpustakaan Nasional RI untuk mengambil
kebijakan di daerah. Diakui atau tidak derajad eselonisasi suatu SKPD
merupakan indikator tinggi - rendahnya perhatian yang diberikan oleh
pemerintah kabupaten/kota. Budaya baca bangsa ini yang masih rendah
tidak akan bisa diselesaikan hanya dengan memberikan bentuk kelembagaan
seadanya saja.
Kelembagaan
yang memadai ini diharapkan akan terus tumbuh ke bawah dengan
melahirkan UPT Perpustakaan Kecamatan, UPT Perpustakaan Desa, dan UPT
Perpustakaan Sekolah.
Inilah
langkah sistematis untuk membangun budaya membaca, menghadirkan
perpustakaan yang utuh bukan “pincang” hingga ke pelosok desa. Lengkap
dengan dukungan anggaran, pustakawan, dan sarana-prasarana yang memadai.
Oleh : Romi Febriyanto Saputro, SIP
Sragen, 28 Desember 2013
0 komentar:
Posting Komentar