Kurikulum 2013 telah berlangsung kurang lebih enam bulan. Meskipun belum sempurna, kurikulum
2013 ini paling cocok dengan ruh perpustakaan sekolah yang berfungsi
untuk memacu minat baca peserta didik. Kurikulum 2013 menginginkan ada perubahan proses pembelajaran dari peserta didik diberi
tahu menjadi peserta didik mencari tahu. Peserta didik diajak untuk
lebih menikmati proses menelusuri informasi, mengolah, dan mengambil
suatu kesimpulan.
Menurut situs resmi Kemdiknas, inti
dari Kurikulum 2013 adalah ada pada upaya penyederhanaan, dan
tematik-integratif. Kurikulum 2013 disiapkan untuk mencetak generasi
yang siap di dalam menghadapi masa depan. Karena itu kurikulum disusun
untuk mengantisipasi perkembangan masa depan.
Hal
ini memiliki tujuan untuk mendorong peserta didik atau siswa, mampu
lebih baik dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan
mengkomunikasikan, apa yang mereka peroleh atau mereka ketahui setelah
menerima materi pembelajaran.
Melalui
pendekatan itu diharapkan peserta didik memiliki kompetensi sikap,
ketrampilan, dan pengetahuan jauh lebih baik. Mereka akan lebih kreatif,
inovatif, dan lebih produktif, sehingga nantinya mereka bisa lebih siap
dalam menghadapi berbagai persoalan dan tantangan bangsa di masa depan.
Perubahan
paradigma ini penting untuk dilakukan untuk mengubah karakter bangsa
ini yang lebih suka “menikmati” daripada “memproduksi”. Dengan kata lain
cenderung konsumtif daripada produktif dalam berbagai bidang kehidupan.
Suka cita dengan cara-cara instan dalam mencapai sesuatu. Duka cita
terhadap proses yang bertahap yang memang harus ditempuh dengan kerja
keras, kerja cerdas, dan kerja tangkas.
Menurut penulis, kurikulum tematik-integratif hakekatnya adalah kurikulum berjiwa perpustakaan. Manifesto Unesco Tahun 2000 menyatakan bahwa perpustakaan
sekolah memiliki arti penting bagi strategi jangka panjang pengembangan
literasi, pendidikan, penyediaan informasi sertaekonomi, sosial dan
budaya. Sebagai bentuk tanggung jawab para pejabat berwenang lokal,
regional dan nasional, maka hal itu perlu dukungan legislasi dan
kebijakan khusus.
Kurikulum
2013 ini menghendaki agar guru mengajak peserta didik menggunakan
sumber belajar yang beraneka ragam dalam proses kegiatan belajar
mengajar (KBM). Perpustakaan merupakan lautan ilmu yang kaya akan aneka sumber belajar. Buku, majalah, koran, koleksi
audio visual, dan alat peraga merupakan sumber belajar yang tak ada
habis untuk digali. Bahkan guru dan peserta didik dapat membuat sendiri
sumber belajar yang diinginkan di perpustakaan.
Pemerintah
secara resmi sudah menyediakan buku untuk kurikulum 2013 ini. Sekolah
tentu tak perlu bergaya untuk mengadakan buku tandingan sebagimana yang
lazim terjadi pada kurikulum sebelumnya. Tugas sekolah adalah merancang
program pengayaan kegiatan belajar-mengajar dengan memanfaatkan koleksi
perpustakaan. Modal pertama untuk mewujudkan hal ini adalah senantiasa
rajin memperbarui koleksi buku perpustakaan sekolah. Sumber dana bisa
diambilkan dari BOS (Bantuan Operasional Sekolah).
Kurikulum
baru menuntut guru dan peserta didik memiliki minat baca yang tinggi,
peka terhadap informasi, dan berani menyampaikan informasi. Ada tiga
tahapan yang harus ditempuh untuk mewujudkan hal ini. Pertama,
mengasah kemampuan menelusuri informasi. Biasakan peserta didik untuk
mencari informasi pertama dan utama adalah di perpustakaan. Jangan
menugasi peserta didik untuk mencari informasi di internet. Mengapa ?
Karena internet hanya menyediakan informasi secara instan. Selain itu
validitas sumber informasi belum sepenuhnya bisa dipertanggungjawabkan.
Saat ini masih cukup banyak “sampah informasi” yang beredar luas di
dunia maya.
Guru
bisa membangkitkan rasa senang menelusuri informasi di perpustakaan
dengan membuat permainan tebak buku. Guru memberi pertanyaan, peserta
didik mencari jawaban melalui koleksi buku yang tersedia di
perpustakaan. Tak ada salahnya jika guru memperbanyak tugas “open book”
untuk merangsang peserta didik agar gemar memburu informasi di
perpustakaan. Tumbuhnya naluri pemburu informasi inilah yang tak bisa
dihasilkan di “Mbah Google”. Karena hanya sekedar menyajikan kulit
informasi dan pengetahuan. Memburu informasi di perpustakaan akan
melahirkan kemampuan untuk mengunyah informasi selembar demi selembar
kertas.
Kedua,
menumbuhkan semangat membaca. Pembelajaran yang berjalan saat ini
cenderung mematikan bara membaca. Guru bicara, peserta didik mendengar
dengan serius. Komunikasi satu arah an-sich. Untuk
membangkitkan rasa senang membaca perlu dibangun komunikasi dua arah.
Proses komunikasi yang mengajak peserta didik untuk selalu rajin ingin
tahu bukan rajin diberi tahu.
Sebelum, selama atau sesudah proses pembelajaran guru bisa menugasi peserta didik untuk membaca buku koleksi
perpustakaan sesuai tema pembelajaran. Hasil bacaan peserta didik
inilah yang nanti akan menjadi bahan diskusi bersama. Peserta didik
harus dilatih untuk melakukah curah ide, curah pendapat maupun curah
debat secara sehat. Tidak seperti debat kusir antar pengamat yang sering
muncul dalam sajian televisi.
Ketiga,
membangkitkan syahwat menulis. Kebiasaan menulis mesti ditumbuhsuburkan
di lingkungan sekolah. Cara yang paling sederhana guru harus sering
memberi pertanyaan dengan “Jelaskan pendapatmu ” bukan “sebutkan” yang
cenderung tekstual belaka. Pertanyaan-pertanyaan dengan bahasa
kontekstual sudah menjadi keniscayaan untuk diinternalisasikan di
sekolah. Beri kebebasan peserta didik untuk menuangkan ide dalam bentuk
tulisan.
Di
Inggris dikenal istilah writing yang berdiri sebagai mata pelajaran
tersendiri. Dengan menulis sebagai mata pelajaran tersendiri, sejak
kecil siswa dilatih untuk mencintai menulis. Hal ini didukung data
penelitian yang dilakukan Tizard dan kawan-kawan yaitu
dari 108 siswa kelas 2 SD di Inggris yang memiliki kemampuan menulis di
buku 24 %, menulis deskriptif 23 %, menulis cerita 19 %, menulis berita
11 %, menulis indah 10 %, menulis pada kartu ucapan 7 %, labelisasi
pada gambar 3 % dan menulis puisi/drama 2 %. (Suyanto, 2003).
Romi Febriyanto Saputro, SIP
Sragen, 31 Desember 2013
0 komentar:
Posting Komentar