KITAB NIKAH
I
Sebelumnya, hampir di setiap pagi kita mengaji pada lembar-lembar daun,
Huruf-huruf jujur yang kau sangka embun,
Hilang,
padahal matahari datang, menutup mimpimu, seperti pintu toko di saat hujan hadir; tiba-tiba.
Lalu, hendak kemana kau hari ini sayang?
Jalanan penuh sesak,
Rindu kita sekarat,
Beberapa dari mereka jatuh di sebuah got, bermain bersama cacing, begitu mesra, hingga tak terasa sampai di laut juga.
Aku mencintaimu, meski tak ada pegorbanan di sini,
Kau hadir seperti nafas,
Seolah masuk tanpa sengaja, dan membuatku tetap hidup.
Kita tak perlu heran jika kini begitu berdekatan,
Sebab, sepasang nama di Lauh Al-Mahfudz
Telah lama; berdekapan.
II
Aku ingin menjadi pagi,
Membangunkanmu melalui mimpi yang benar-benar tuntas,
Menjadi saksi saat kau tersenyum pertama kali,
Di setiap hari.
Dzuhur-pun tetap aku,
Berpenampilan sedikit dewasa,
Di saat kau lelah,
Menjadi tempatmu untuk bersandar, di saat jam-jam istirahat.
Kau perempuan manja, aku dengar itu dari ibumu,
Sang Kancil yang melompati Buaya,
Minta kau ceritakan berulang-ulang.
Semoga kau juga mencintaiku,
Yang melompati waktu kerjamu menjadi sore,
Dan membuatmu tertarik untuk pulang,
Ke dalam dekapan.
III
Danau matamu,
Bening,
Ikan-ikan bergerak membuatku panik,
Apa yang akan kujadikan pancing,
Dan membuatmu jatuh cinta kepadaku.
Bukankah mata beningmu adalah cermin yang membuatku malu,
Kubaca diriku sendiri di dalamnya,
Puisi yang hampir bisu,
Hanya berisi sepi,
Dan bait-bait tanpa lagu.
Puisiku adalah puisi tanpa wajah,
Hidung di mana, matapun entah,
Dia melangkah penuh debar ke arahmu,
Bisa-bisa putih tembok disangka kulit yang membuatmu ayu,
Memaksanya terbentur keras-keras,
Pecah,
Menjadi tema kesedihan.
IV
Seperti bumi, di dadaku menyimpan kapan saja waktu; yang menyulapnya menjadi letupan,
Mengaliri sekujur tubuh,
Menjadi keringat pembunuh,
Disaat harus kutahan bergunung-gunung rindu; kepadamu.
Cinta begitu memenjara,
Mataku telah terikat di simpul manis bibirmu,
Apa saja sudah menjadi maya,
Tak terlihat, selain senyummu yang hangat.
Tak ada pedang tajam yang pernah menancap di kepalaku,
Selain genggam tangan halusmu sore itu,
Yang terus membuatku merintih, di malam-malam selanjutnya.
V
Selamat datang di Kitab Nikah,
Kekasih,
Tak ada yang kusiapkan pada setiap lembaran,
Terkecuali niat mengabdiku, kepadamu.
Aku tak merebutmu dari dada ayah dan dekapan ibu,
Hanya ingin bersanding di sepanjang usia,
Paling tidak,
Seperti sebaris puisi,
dan tanggal titi mangsa.
Mei 2013
Sumber : Kompas, 14 Mei 2013
16 Mei 2013
Puisi-puisi Sobih Adnan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar