Kenangan
Kenanglah
Bahwa kau pernah bersamaku, pada detik yang kita sebut kemarin, pada rentang yang kita namai masa lalu. Jika akhirnya kini, entah sejak dulu ataukah sebelum kau bersamaku, aku tak memainkan detak lagi, kenanglah, setidaknya aku pernah menyebut namamu, sesekali di lamunanmu. Sebab, mengenang adalah langkah puisi paling indah dalam mencatat masa depan. Dan kenanglah, sepuas kau ingat, sebab melupakan adalah siasia.
Bahwa kau pernah bersamaku, pada detik yang kita sebut kemarin, pada rentang yang kita namai masa lalu. Jika akhirnya kini, entah sejak dulu ataukah sebelum kau bersamaku, aku tak memainkan detak lagi, kenanglah, setidaknya aku pernah menyebut namamu, sesekali di lamunanmu. Sebab, mengenang adalah langkah puisi paling indah dalam mencatat masa depan. Dan kenanglah, sepuas kau ingat, sebab melupakan adalah siasia.
Secawan air hujan
aku tadahkan, seluas wajah kita dulu, di antara rintihrintih genting
terbentur rintikrintik hujan di horizon. Aku tertawa dan menangis dalam
satu langit, bernyanyi perihal masa silam
Kenanglah
dari rahim rindu yang gembur
masa depan yang tersumbat
lalu hadir di ujung lorong, menyambutmu pada sebuah malam dingin
dari rahim rindu yang gembur
masa depan yang tersumbat
lalu hadir di ujung lorong, menyambutmu pada sebuah malam dingin
langit yang hampa, terang perlahan hilang, di antara matahari dan bulan
aku datang berayun di sudut lentik bulu matamu, bersiap berjalan lewat poripori kulitmu yang membuka dan menutup malu. Hendak aku berlari ke serambi hatimu, yang ingin aku bersemayam di dalamnya setelah lama kosong tak bertuan. Kenanglah sepuas kau mengenang, sebab aku telah bernisan bersemayam pada serambi kamar hatimu.
aku datang berayun di sudut lentik bulu matamu, bersiap berjalan lewat poripori kulitmu yang membuka dan menutup malu. Hendak aku berlari ke serambi hatimu, yang ingin aku bersemayam di dalamnya setelah lama kosong tak bertuan. Kenanglah sepuas kau mengenang, sebab aku telah bernisan bersemayam pada serambi kamar hatimu.
Bila kehilangan adalah keramat
Biarkan kita saling hilang dan menyilang
dari kehilanganlah aku belajar mengenang
dan mengenang membawaku pada arti memiliki
Biarkan kita saling hilang dan menyilang
dari kehilanganlah aku belajar mengenang
dan mengenang membawaku pada arti memiliki
aku tak pernah tahu kau akan kemana,
dari nirwana aku hanya bisa tersenyum melihat kau memetik kenangan
dari nirwana aku hanya bisa tersenyum melihat kau memetik kenangan
Secangkir Kopi
Tuangkan
segelas kopi hitam,legam,juga malammalam. Taburkan beberapa butir
gulagula, yang membuat kita gila sebab memilih bersama. Aduklah dengan
perlahan seperti dulu aku mendekatimu, berhentilah disaat kau rasa
cukup. Sebab gula tak patut larut seluruhnya, biarkan kita menengok
kembali apa yang telah kita lakukan. Berbekaskah ia? begitu juga kita
pada cinta, mengejar cinta tidak bisa selamanya, sampai kita larut
habis, mati tak bersisa kita. Sebab cinta bermukim pada batasbatas yang
tak mudah dilihat, rasakan ia dengan hati. Seperti mengaduk kopi yang
kau rasa perlu sudahi dan tibalah waktu kau seduh di bibir gemburmu.
Ku aduk segelas kopi
bercampur ragu bertabur gula batu
kuaduk berputar dalam ruang waktu,
lalu
kehampaan ada dalam tiap putaran itu...
Gula melarut air memanis..
Terangkat sendok besi,memanja gelas kaca,
relung kaca yang kelindan
Mata air air mata yang sedusedan
larut dalam kedipan bersama gula
bercampur ragu bertabur gula batu
kuaduk berputar dalam ruang waktu,
lalu
kehampaan ada dalam tiap putaran itu...
Gula melarut air memanis..
Terangkat sendok besi,memanja gelas kaca,
relung kaca yang kelindan
Mata air air mata yang sedusedan
larut dalam kedipan bersama gula
Secangkir
kopi, merangkum elegi berbulirbulir pasir. kau hanya mengenal kopi
pekat, yang sedianya kau pesan dan siapkan: lewat sandiwara kita dari
meja makan
ke meja makan. Dan kau bilang “Cinta kita bermula dari meja makan, yang
sewaktuwaktu perlu kita singgahi untuk membicarakan aku, kau, dan
cinta” sebab itu Kau pilihkan aku kopi hitam pekat, yang membuatku
terjaga dan terikat padamu. Mata yang terjaga membaca buah ceri merah di
bawah hidungmu.
Pada secangkir kopi, kita sepakati perjalanan
hari. Pada segelas kopi yang ketas, kita berjanji bahwa semua selesai,
ketika ada cinta. Pada deras panas gelas kopi, kita mencatat tentang
halhal yang akan menjadi rahasia kenangan. Sebab hidup adalah memilah
kenangan. Meski nanti, resah saat segalanya pergi dan tak kembali. Dan
secangkir kopi, membuat kita terjaga pada cinta.
Tak perlu kita habiskan kopi
Sebab nanti
Kita akan kembali ke sini
Meski sekadar mengusap air mata yang tertumpah
Pada meja makan tua ini
Sebab nanti
Kita akan kembali ke sini
Meski sekadar mengusap air mata yang tertumpah
Pada meja makan tua ini
Kepada Laut
perahu kecil, jala mungil, burungburung pelikan, senyapsenyap ikan, debur ombak, batu retak, aku dan mata kosong, menunggu: kepada laut. Aku melamun saja, bertanya pada angin, darimana angan ini, yang ingin dari dingin basah asin laut kecup bunga siput, sejak kau berlayar ke arah yang tak pernah kudengar, tak ada kabar, dan aku terkapar. Kepada laut: Aku berdiri saja, melipir ke dermaga pinggir, aku mencari kerang tak karang, adakah dia melihat jejakmu yang tersapu para pembajak.
perahu kecil, jala mungil, burungburung pelikan, senyapsenyap ikan, debur ombak, batu retak, aku dan mata kosong, menunggu: kepada laut. Aku melamun saja, bertanya pada angin, darimana angan ini, yang ingin dari dingin basah asin laut kecup bunga siput, sejak kau berlayar ke arah yang tak pernah kudengar, tak ada kabar, dan aku terkapar. Kepada laut: Aku berdiri saja, melipir ke dermaga pinggir, aku mencari kerang tak karang, adakah dia melihat jejakmu yang tersapu para pembajak.
Kepada
laut: aku masih menunggu kebaikan hatimu, sebab arusmu menghanyutku ke
pulau rindu. Kepada laut: aku hanyut
Kepada kamu, kepada laut,
kepada kita yang kalut. Boleh aku berlaut menjemputmu? mengejar kau,
yang membuatku larut di harihari kusut. Biar aku memelukmu lagi, dan
merasakan keras debar dada ini. Kerna Debar adalah lagu yang
menghantarku pada bisik, jejak, dan merah pipimu. Seperti ombak dan
deburnya, yang cepatnya pergi dan dekat kembali pada ujung jemari kaki.
Itulah aku yang teguh, laut akan memperpendek keraguan. Cinta terbaik
mestilah tak lama menuju janji mati. Dan kau pun segera tau, pada dada
siapa harus bersandar
laut pasang malam larut
entah aku atau bayangku yang terlebih dulu sampai
kukirim dulu keinginanku
lewat nyanyian ombak, dan senja laut
ketahuilah: aku menjemputmu
entah aku atau bayangku yang terlebih dulu sampai
kukirim dulu keinginanku
lewat nyanyian ombak, dan senja laut
ketahuilah: aku menjemputmu
dan kepada laut: jagalah dia di pelukanmu
sampai aku
hilang rindu
sampai aku
hilang rindu
Ditengah Hujan
Tubuhnya basah, kuyup dikukup hujan. Dan di seberang, seorang wanita masih berdiri pada tepian jalan. Tampak suntuk terkantuk, matanya sayu seperti pilas, dibelai angin dingin malam kota. Adakah yang dinanti? Rambutnya yang melambai, kisut awutawut disapuh buih. Wajahnya tampak sedih. Bagai menahan perih lukaduka
Tubuhnya basah, kuyup dikukup hujan. Dan di seberang, seorang wanita masih berdiri pada tepian jalan. Tampak suntuk terkantuk, matanya sayu seperti pilas, dibelai angin dingin malam kota. Adakah yang dinanti? Rambutnya yang melambai, kisut awutawut disapuh buih. Wajahnya tampak sedih. Bagai menahan perih lukaduka
Hendak kemana ia? Rendarenda pakaian gugur
dilipur. Seakan hujan adalah atap ketenangan. Seakan hujan, mereda
kemarahan. Ia Menarinari tanpa ragu dalam ketukrintik hujan. Dari
lalulalang lelah sampai kota basah, tak ada lagi yang bisa menyapanya.
Sungguh penuh tanya, adakah rindu semadu menunggu hujan reda. Bila tak
ada yang dirindukan, haruskah mencintai hujan. Berdiam diri hirau disapu
hujan yang suaranya kian sengau. Senarai wajahnya yang lunglai menjadi
jawab, hujan adalah kepasrahan. Hujan tak perlu dicintai, tapi menjadi
milik orangoorang yang kadung disekap rindu. saat airmata mengucur,
carilah hujan yang siap berbagi kerapuhan.
Wanita itu masih kaku,
dan semakin lugu di basah kota, yang lekang dari lalulalang. Kau memang
sendiri, tapi pada hujan kau bisa dapatkan hilang sepi. Begitu mungkin
pikirmu, dari kebas tanganmu yang mengembang. Wajahmu tengadah pasrah
pada awan. Berharap hujan terus datang. Bahwa hidup boleh hampa, tapi
pada hujan kau meramu rasa. Kau mengembang senyum juga, dari rimbun
bulir air. Kemana lagi harus merindu, saat tak ada yang ditunggu,
kecuali pada hujan. Meskikah mengutuk hujan, bila rintikrintiknya
melantunkan lagu kerinduan. Dan hujan tanpa kenangan, adalah sepi paling
tepi.
Wanita itu pun hilang bersama hujan.
Pada genang jalan, senyummu mengembang tenang.
Pada genang jalan, senyummu mengembang tenang.
Penulis saat
ini bergiat di Komunitas Langit Sastra dan Pendiri AADT. Bisa
dihubungi @ijonkmuhammad dan ijonkmuhammad.tumblr.com. Tulisannya
banyak dimuat media massa. Buku pertamanya saat ini berjudul “Belajar
Merawat Indonesia”.
SUmber : Kompas, 15 Mei 2013
0 komentar:
Posting Komentar