Oleh Sori Siregar
Malam telah
merangkak jauh. Perlahan. Sebentar lagi pagi terjangkau. Hujan
rintik-rintik di luar. Maludin yang letih masih tidak dapat tidur.
Sepanjang malam menjelang pagi itu ia tetap terjaga.
Risiko
seperti ini tidak pernah terbayangkannya dua puluh tahun lalu. Ia,
istrinya, Maryam, dan putranya, Muammar, datang ke negeri yang jauh ini
untuk memulai kontrak kerjanya dengan sebuah lembaga pemerintah. Ketika
itu Muammar baru berusia dua tahun. Adiknya, Fatur, lahir di negeri yang
jauh ini dua tahun kemudian, disusul oleh Fayed dua tahun setelah itu.
Bagi
Maludin hidup di negeri baru ini jauh lebih menyenangkan daripada di
kota yang ditinggalkannya. Bukan saja karena pendapatannya lebih besar
daripada yang dulu diperolehnya sebagai guru SMA di kotanya, tetapi juga
karena ia berdomisili di lingkungan permukiman yang lebih baik, tidak
sumpek dan bersih serta berbagai hal lain seperti dekatnya jarak kantor
dan rumahnya, transportasi umum yang selalu tepat waktu dan dapatnya
Maryam sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga tanpa harus membantu Maludin
mencari nafkah dengan menjahit pakaian anak-anak.
Waktu berjalan
seirama dengan peredaran bumi mengitari titik pusat tata surya.
Perjalanan waktu itu sering luput dari perhatian. Maludin dan Maryam
baru menyadari bahwa mereka telah empat tahun tinggal di negeri yang
jauh ini, ketika Muammar memasuki usia sekolah. Semula suami istri itu
menduga beban ekonomi akan meningkat dengan masuknya Muammar ke sekolah.
Ternyata
tidak. Muammar dapat belajar tanpa biaya apa pun. Bahkan, Maludin tak
perlu mengeluarkan sepeser pun untuk membayar ongkos bus yang setiap
hari mengantar dan menjemput anaknya ke sekolah. Hidup sehari-hari pun
semakin menyenangkan buat Maludin dan Maryam. Pada saat tiba giliran
bagi Fatur dan Fayed untuk bersekolah, perasaan senang Maludin tetap
tidak berkurang, karena kedua anak ini pun tidak membebaninya dengan
biaya sekolah.
Sekolah gratis ini dilalui ketiga anak Maludin dalam kurun waktu yang cukup
lama, sehingga Maludin terkejut ketika anaknya harus membayar uang
kuliah untuk dapat belajar di perguruan tinggi. Beban pertama dalam
dunia pendidikan ini pun akhirnya tak perlu disandangnya, karena Muammar
dapat memperoleh pinjaman dari bank mana pun, dengan
jaminan ayahnya. Kelonggaran yang diberikan merupakan pertolongan yang
tidak terbayangkan sebelumnya, karena Muammar diizinkan untuk membayar pinjamannya setelah ia bekerja, seusai menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi.
Tanpa
disadari Maludin dan Maryam, Muammar, Fatur, dan Fayed melebur dengan
sempurna ke dalam kondisi lingkungan mereka. Satu-satunya kehidupan yang
mereka kenal adalah kehidupan di sekitar mereka itu dan semua nilai
yang melekat di sana. Tak ada yang perlu dikhawatirkan sebenarnya, jika
mereka bertiga masih mau mendengarkan suara ayah dan ibu mereka, suara
yang mengandung makna hidup, jalan yang tidak berliku, tetap berpijak
pada tempat asal dan keyakinan yang harus dipegang teguh di mana pun
berada.
Namun, mendengarkan suara ayah dan ibunya itulah yang
sangat sukar bagi Muammar, berbeda dengan Fatur dan Fayed. Kedua putra
Maludin yang disebutkan belakangan ini masih tetap anak-anak yang
menilai suara ayah dan ibu mereka sebagai pemandu jalan agar tidak
terpeleset di kegelapan. Ini menyejukkan perasaan kedua orang tua
mereka, yang tetap berpegang teguh kepada keyakinan yang mereka kenal
sejak masa kanak-kanak.
Karena itu, alangkah terkejutnya Maludin
dan Maryam, juga Fatur dan Fayed, ketika pada suatu hari Muammar
mengatakan akan membawa pacarnya menginap di kamarnya di rumah mereka.
Guntur menggelegar bagi Maludin dan Maryam. Bencana apa yang akan dibawa
anak sulung mereka itu? Itulah pertanyaan yang menyerbu ke dalam benak
Maludin dan Maryam. Mungkin pertanyaan itu pula yang hinggap di kepala
Fatur dan Fayed.
Maludin dengan halus meyakinkan Muammar bahwa
berdasarkan keyakinan yang mereka peluk, tindakan yang akan dilakukan
Muammar itu adalah salah. Bahkan, agama apa pun tidak akan membenarkan
hal itu. Mendengar keterangan ayahnya, Muammar menjelaskan, Joyce,
pacarnya itu, ingin menginap di rumah mereka karena ingin mengenal lebih
jauh Maludin, Maryam, Fatur, dan Fayed.
Maludin kembali
meyakinkan Muammar, kalau ingin mengenal keluarga mereka lebih jauh
silakan saja Joyce berkunjung setiap hari. Kemudian Maludin yang
bertanya, mengapa Joyce ingin mengenal mereka lebih jauh. Kan dia hanya
teman akrab Muammar. Bolehlah kalau anak sulung Maludin itu menyebut
Joyce pacarnya. Tapi Muammar harus ingat bahwa Joyce belum menjadi
pacarnya secara resmi.
Mendengar kalimat-kalimat yang meluncur
dengan lancar dari mulut ayahnya, Muammar tersenyum. Masih sekuno ini
ayahku, katanya dalam hati. Bukan hanya ayah, tetapi juga ibu dan kedua
adikku, kata hatinya melanjutkan. Ini harus diterobos untuk membuka
jalan baru. Pemikiran seperti itu muncul tiba-tiba dalam kepala Muammar.
Itulah yang dilakukannya keesokan harinya.
Pada suatu tengah
malam setelah pembicaraan ayah dan anak itu, Muammar pulang dengan
membawa Joyce. Empat anggota di rumah itu merasa dipojokkan, terutama
Maludin yang saleh itu. Setelah mempersilakan Joyce duduk dan bertanya
sedikit tentang keluarganya, Maludin meminta Muammar untuk mengikutinya
ke ruangan kerjanya. Begitu Maludin menutup pintu, dengan wajah merah
padam ia menghardik Muammar dengan suara keras. Ia berani berteriak
seperti itu karena ia tahu suaranya tidak akan terdengar ke ruang tamu.
”Apa
maksudmu membawa perempuan itu ke rumah ini? Kan Bapak telah berbicara
panjang lebar denganmu tentang hal ini. Sebagai mahasiswa semester empat
tidak mungkin kau tidak tahu apa yang Bapak jelaskan.”
Muammar
mendengarkan hardikan ayahnya dengan tenang. Baginya, kekunoan ayahnya
semakin dipertegas dengan teriakan itu. Muammar merasa ayah, ibu, dan
kedua adiknya telah terperangkap dalam kepicikan yang mengekang. Dua
puluh tahun di negeri yang jauh ini tidak membuat mereka dapat menyerap
keragaman nilai di sekitar mereka.
”Ajaklah Joyce pergi. Yakinkan
dia bahwa keluarga kita tidak menolak kehadirannya. Tapi, kita tidak
dapat memberikan ruang kepadanya untuk menginap di rumah ini sebelum ia
resmi menjadi istrimu. Joyce boleh menganggap Bapak kuno, konservatif,
atau apa saja karena sikap Bapak yang tak dapat ditawar ini.”
Tanpa
memberikan komentar sepatah kata pun, Muammar meninggalkan ayahnya
seorang diri di ruang kerja itu. Ia kembali ke ruang tamu menemui Joyce
yang sedang berbicara dengan Maryam. Ia membisikkan sesuatu ke telinga
perempuan kulit putih itu. Perempuan itu mengangguk dan tersenyum kepada
Maryam. Kemudian ia meminta diri untuk meninggalkan rumah itu. Ketika
Joyce dan Muammar melangkah keluar ruang tamu mereka dilepas Maryam
dengan ucapan selamat malam.
Satu minggu setelah peristiwa malam
itu, Muammar menelepon ayahnya. Dengan suara tenang dan perlahan ia
menyatakan kecewa dengan sikap ayahnya. Ia meminta ayahnya untuk
membebaskan diri dari belenggu keyakinan yang menghimpitnya. Keyakinan
atau agama, apa pun agama dan keyakinan itu seharusnya tidak membuat
pemeluknya senantiasa berdiri di tempat dan tidak berupaya untuk
melangkah maju.
”Ananda dibesarkan di negeri ini, di negeri yang
jauh dari tempat kita berasal. Negeri ini telah membentuk ananda menjadi
orang yang sangat mengutamakan otak. Karena itu ananda tidak ingin
mencampuradukkan keyakinan dan rasio. Salah satu di antaranya harus
diutamakan. Dan, ananda senantiasa memberi tempat utama kepada isi
kepala. Dengan alasan itu pula ananda telah melepaskan keyakinan
keluarga kita, yang juga keyakinan yang ananda pegang selama ini.”
Begitu
mendengar kalimat Muammar terakhir, Maludin tidak mendengarkan lagi apa
yang diucapkan anaknya, walaupun gagang telepon masih tetap terpegang
erat di tangannya. Lama ia terdiam sebelum meletakkan gagang telepon ke
tempatnya. Begitu mudahnya Muammar melepas keyakinan keagamaannya hanya
karena persoalan yang masih dapat dicari pemecahannya.
Sebenarnya
ada kalimat terakhir yang ingin diucapkan Maludin kepada Muammar sebelum
anak muda itu meninggalkan ruang kerjanya. Ia ingin menyarankan agar
Joyce menikmati malam yang dingin itu seorang diri di kamar Muammar,
sedangkan Muammar bergabung dengan kedua adiknya di kamar lain. Tetapi,
Muammar tanpa komentar apa pun telah meninggalkannya di ruang kerja itu
sebelum ia sempat melontarkan kalimatnya terakhir.
Berat bagi
Maludin untuk menyampaikan keputusan yang telah diambil Muammar itu. Ia
masih ingin bertemu dengan anaknya itu untuk menemukan jalan keluar yang
dapat diterima Muammar. Namun, ia tidak tahu bagaimana menemukan jalan
keluar itu, karena ia dan Muammar telah berada pada posisi
berseberangan. Kompromi untuk hal-hal prinsipil terutama untuk keyakinan
yang berkaitan langsung dengan Tuhan, adalah langkah yang tidak akan
pernah diambil oleh Maludin. Ia lebih siap untuk kehilangan anaknya
daripada mengingkari keyakinan yang telah dipeluknya puluhan tahun.
Malam
ini, sebenarnya hingga pagi ini, Maludin tetap terjaga. Keputusan
Muammar telah membuatnya menoleh ke masa lampau. Ke masa pada saat ia
dan istrinya merasakan kesenangan dan kegembiraan ketika menjejakkan
kaki di negeri ini. Kegembiraan dan kesenangan yang juga mereka rasakan
pada saat anak-anak mereka dapat bersekolah tanpa harus mengeluarkan
biaya, di samping mereka dapat berdomisili di lingkungan yang tidak
sumpek. Ditambah lagi dengan pendapatan yang jauh melebihi kebutuhan.
Dalam kondisi seperti itulah mereka membesarkan Muammar dan kedua
adiknya.
Beberapa hari Maludin menyimpan rahasia itu dalam
dirinya. Akhirnya ia tak mampu memiliki rahasia itu seorang diri. Ia
harus berbagi rahasia ini dengan istrinya Maryam, karena Muammar adalah
putra mereka berdua. Dan ia tidak ingin terlalu sering terjaga pada saat
ketika ia seharusnya menikmati istirahat pada malam hari.
Saat
yang ditunggunya itu akhirnya tiba ketika Maryam bertanya mengapa
Muammar tidak pernah pulang beberapa hari terakhir. Maryam mendengarkan
dengan hati teriris ketika suaminya membuka lembar-lembar cerita itu
kepadanya. Ia benar-benar merasa tersayat pada saat Maludin mengutarakan
bahwa Muammar bukan saja telah meninggalkan keyakinan yang dipeluknya,
tetapi juga berniat melepaskan ikatan keluarga dengan ayahnya kalau saja
hal itu tidak menyebabkan terputusnya jaminan untuk memperoleh pinjaman
dari bank yang digunakan untuk membiayai kuliahnya.
Anak
kesayanganku telah memilih jalannya sendiri, ujar Maryam dalam hati.
Setelah itu ia memandang suaminya dengan penuh pengertian.
”Kesenangan dan kegembiraan kita selama ini harus kita bayar terlalu mahal,” ujar Maludin kepada Maryam.
Perempuan itu mengangguk
Sumber: Kompas, 14 Oktober 2012
15 Oktober 2012
Muammar Memilih Jalan Sendiri
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar