Cerpen Agus Noor
TUBUH orang itu
menghitam—nyaris gosong—sementara kulitnya kisut kering penuh sisik
kasar dengan borok kering. Mulutnya perot, seakan ada yang mencengkeram
rahang dan lehernya. Ia terbelalak seolah melihat maut yang begitu
mengerikan. Sudah lebih delapan jam ia mengerang meregang berkelojotan.
Orang-orang yakin: dia terkena teluh, dan hanya kematian yang bisa
menyelamatkan.
Kiai Karnawi, yang
dipanggil seorang tetangga, muncul. Beliau menatap penuh kelembutan pada
orang yang tergeletak di kasur itu. Kesunyian yang mencemaskan membuat
udara dalam kamar yang sudah pengap dan berbau amis terasa semakin
berat. Beberapa orang yang tak tahan segera beranjak keluar dengan
menahan mual. Kiai Karnawi mengeluarkan sebutir kurma, dan menyuapkan ke
mulut orang itu. Para saksi mata menceritakan: sesaat setelah kurma
tertelan, tubuh orang itu terguncang hebat, seperti dikejutkan oleh
badai listrik. Lalu cairan hitam kental meleleh dari mulutnya, berbau
busuk, penuh belatung dan lintah. Dari bawah tubuhnya merembes serupa
kencing kuning pekat, seolah bercampur nanah. Seekor ular keluar dari
duburnya, dan—astagfirullah—puluhan paku berkarat menyembul dari
pori-pori orang itu. Lalu berjatuhan pula puluhan mur dan baut, potongan
kawat berduri, biji-biji gotri dan silet yang masih terlihat berkilat.
Orang itu mengerang panjang. Kiai Karnawi mengangguk ke arah yang
menyaksikan, ”Biarkan dia istirahat.”
Keesokan harinya, orang itu sudah bugar.
Kisah
itu hanyalah salah satu dari banyak kisah yang sudah Hanafi dengar
tentang Kiai Karnawi. Kisah paling dramatik yang Hanafi dengar, ialah
saat terjadi bentrok petani dengan aparat. Para buruh tani yang
bertahun-tahun menggarap lahan protes ketika diusir, karena hendak
dibangun perumahan mewah. Merasa protesnya tak ditanggapi, mereka
merusak pagar pembatas dan mulai bentrok dengan aparat yang mengepung.
Beberapa gubuk petani dibakar beberapa preman yang disewa pengembang,
membuat suasana makin kalap. Bentrokan tak bisa dihindarkan. Aparat
mulai melepaskan tembakan. Satu peluru nyasar mengenai seorang bocah,
tepat menghunjam kepalanya. Kemunculan Kiai Karnawi mampu meredakan amuk
buruh tani. Saat itu Kiai Karnawi berhasil menangkap sebutir peluru
yang ditembakkan kepadanya (Hanafi suka membayangkan adegan ini secara
slow motion seperti dalam film) dan langsung membentak komandan pasukan,
agar menarik mundur semua aparat. Bocah yang kepalanya tertembak
dibopong Kiai Karnawi, yang langsung menyuapkan sebutir kurma.
Pelan-pelan, peluru yang menancap dalam kepala bocah itu menggeliat
keluar. Dan lubang bekas peluru itu, menutup dengan sendirinya.
Kisah
lain adalah ibu hamil yang kandungannya sudah lebih dari 19 bulan, tapi
bayi itu tak juga mau keluar. Ia buruh cuci harian, yang tak punya
biaya untuk caesar. Perut itu menggelembung, seolah membopong sekarung
beras, membuatnya kepayahan berjalan. Belum lagi rasa sakit yang selalu
menyodok-nyodok dan mengaduk-aduk perutnya. Ia akhirnya hanya bisa
terkapar dengan perut yang semakin membesar. Orang-orang kemudian
kasak-kusuk, kalau bayi yang dikandungnya membawa kutukan. Kalaupun
lahir hanya membawa keburukan. Setelah kehilangan harapan, suaminya
mendatangi Kiai Karnawi, yang memberinya sebiji kurma. ”Pulanglah, dan
suruh istrimu makan kurma ini,” ujar Kiai Karnawi. Dua jam setelah makan kurma itu, bayinya lahir: selamat dan sehat.
Itu
kurma ajwah, kata orang-orang. Kurma Nabi. Kurma dari surga, yang bisa
menangkal sihir dan racun. Kanjeng Nabi sendiri yang menanam bibit pohon
kurma itu di Madinah. Warnanya kehitaman, tak lebih hanya setengah jari
orang dewasa, lebih kecil dibanding kurma lainnya, tapi paling enak
rasanya. Kiai Karnawi memetik langsung kurma itu dari pohon yang ditanam
Kanjeng Nabi. Kisah itu, sering diceritakan berulang-ulang Umar Rais
kepada Hanafi. ”Terkadang, setiap Jumatan, Kiai Karnawi sholat di Masjid
Nabawi,” ujar majikannya. ”Setelah itu, Kiai Karnawi selalu memetik
kurma ajwah dan membawanya pulang. Di bulan Ramadhan, Kiai Karnawi juga
sering sholat witir di masjid Madinah itu....”
Tapi ada lagi
cerita lain yang didengar Hanafi. Kabarnya Kiai Karnawi didatangi Nabi
Khidir dalam mimpi. Kiai Karwani diajak ke kebun kurma yang begitu luas,
seakan batas kebun itu jauhnya sampai ke lengkung cakrawala. Ada
beberapa tenda di dekat kebun kurma itu. Di sana sudah berkumpul
beberapa orang. Sepertinya mereka kafilah pengembara dari berbagai
negeri yang jauh. Nabi Khidir kemudian menyuruh mereka menunjukkan: yang
mana pohon kurma ajwah di antara ratusan pohon kurma yang tumbuh di
kebun itu. Dengan yakin, satu per satu orang itu menunjuk sebuah pohon.
Tapi Nabi Khidir menggeleng. Tak satu pun dari orang-orang itu berhasil.
Sampai tiba giliran Kiai Karnawi.
”Bisakah kisanak tunjukan, yang mana pohon kurma ajwah yang ditanam kanjeng Nabi, 14 abad yang lalu,” ujar Nabi Khidir.
”Sebelumnya,
maafkan sahaya yang daif ini, Sinuhun,” Kiai Karnawi bicara sopan,
”bisakan Sinuhun memberi tahu terlebih dahulu, di manakah arah
kiblat....”
Lalu Nabi Khidir menunjuk satu arah. Tepat, di arah yang ditunjuk itu terlihat satu pohon kurma.
”Terima kasih, Sinuhun. Itulah gerangan pohon kurma ajwah yang Sinuhun maksud....”
Nabi
Khidir tersenyum. Dipetik satu buah kurma, dan diberikan pada Kiai
Karnawi. Banyak yang yakin, kurma itulah yang selalu diberikan Kiai
Karnawi kepada orang-orang. Sebiji kurma itu, tak akan pernah habis
dimakan. Ada kejadian yang dilihat langsung Hanafi terkait hal itu. Ia
diajak majikannya mengikuti pengajian Kiai Karnawi. Ratusan orang hadir
di pengajian lailatut qadar di rumah Kiai Karnawi yang kecil dan
sederhana. Hanafi melihat sebutir kurma tersaji di piring seng yang
sudah tampak kuno. Bergiliran, ratusan orang yang hadir mengambil kurma
itu dan memakannya—atau ada yang mengantunginya untuk dibawa pulang—tapi
di piring itu: tetap saja masih ada sebutir kurma....
Kurma ajwah pemberian Nabi Khidir, begitu banyak orang meyakini.
Beberapa
kali Hanafi bertemu Kiai Karnawi, saat mengantar Umar Rais sowan. Tak
hanya pada acara-acara keagamaan, tapi pada tiap kesempatan—biasanya
pada akhir pekan dan saat ada bakti sosial seperti sunatan massal atau
pengobatan gratis di rumah Kiai Karnawi—majikannya selalu menyempatkan
datang.
Perawakan Kiai Karnawi kurus, agak pendek, berkulit coklat
gelap. Penampilannya sama sekali tidak meyakinkan sebagai seorang kiai
yang kharismatik. Tidak bergaya, gumam Hanafi saat pertama kali
melihatnya, tidak seperti kebanyakan tokoh agama sekarang yang sering
dilihatnya di televisi, yang selalu berpakaian modis atau bersurban
putih necis. ”Hehe, saya ini memang kiai jadul,” Kiai Karnawi tertawa
terkekeh, sambil melirik Hanafi. Langsung membuat Hanafi tertunduk. Ia
yakin, Kiai Karnawi bisa membaca yang dipendam dalam hatinya.
Sehari-hari
Kiai Karnawi hanya berpeci hitam—yang sudah kusam—dan mengenakan sarung
komprang, serta baju model kemeja warna gelap. Tapi kesederhanaannya
itulah yang membuat ia terlihat lebih berwibawa. Dan ini yang kemudian
membuat Hanafi terkesan: meskipun jarang mengutip ayat-ayat, nasehatnya
disimak dan dipatuhi. Bukan kiai yang suka mengobral ayat, begitu
komentar orang-orang. ”Tak perlu sebentar-bentar mengutip ayat, untuk
menjadi bijak,” ujar Kiai Karnawi, pada pengajian yang sempat Hanafi
ikuti.
SORE itu Hanafi melihat majikannya agak gugup. ”Cepat kamu
ke rumah Kiai Karnawi.....” Wajah Umar Rais yang tak bisa
menyembunyikan kepanikan membuat Hanafi malah jadi bingung, dan bengong.
”Ayo, cepat. Besok sudah pencoblosan. Kiai Karnawi mau memberi saya
kurma. Mestinya saya mengambilnya sekarang. Tapi saya mesti rapat
konsolidasi terakhir dengan para pimpinan partai pendukung. Jangan
sampai lupa. Biar saya dianter Hamid, kamu yang ambil kurma itu. Sebelum
jam dua belas nanti, kurma itu harus sudah saya terima. Jangan lupa!”
Mendengar
majikannya mengucapkan ’jangan lupa’ sampai dua kali dan bernada tegas,
Hanafi tahu, persoalan kurma itu amat penting bagi majikannya. Sejak
terjun ke politik, majikannya memang jadi terlihat gampang tegang. Dua
puluh tahun menjadi sopir Pak Rais, membuat Hanafi bisa merasakan
perubahan itu. Ia sebenarnya juga tak terlalu setuju ketika majikannya
mulai aktif di partai politik. ”Buat apa sih ikut partai politik,”
katanya waktu itu. ”Lebih enak jadi pengusaha kan.”
”Sekarang ini
tak cukup hanya jadi pengusaha,” jawab Umar Rais. ”Kamu tahu, jadi
pengusaha kalau tidak dekat dengan partai juga sulit dapat proyek. Tidak
bakalan dapat bagian. Semua politikus itu sudah melebihi pengusaha cara
berfikirnya. Mereka hanya berfikir untung, untung dan untung. Mereka
harus dapat bagian untuk setiap proyek yang mereka anggarkan. Proyek
belum berjalan, mereka harus diberi persekot di depan. Sementara
keuntungan pengusaha yang makin sedikit juga mesti dialokasikan buat
setor ke partai. Kalau tidak ya tidak bakal bisa menang
tender&hellip.”
Hanafi diam mendengar jawaban itu. Hanafi
sudah ikut Umar Rais sejak majikannya itu merintis usaha mebel. Ketika
krisis moneter membuat nilai tukar rupiah jatuh, usahanya mendapat
keuntungan berlipat, karena mebel yang diekspor dibayar dengan dollar.
Kemudian majikannya mulai berbisnis sebagai kontraktor dan pengembang.
Bagi Hanafi, itu dirasakannya sebagai masa-masa yang menyenangkan
menjadi sopir Pak Rais. Ia merasa dekat dan hangat. Pak Rais banyak
bercanda, dan punya banyak waktu buat keluarganya. Sebagai sopirnya, ia
juga merasa lebih santai, tak seperti sekarang yang setiap hari bisa
lebih sepuluh kali mengantar ke sana-kemari untuk pertemuan atau rapat
partai. Apalagi ketika majikannya mencalonkan diri jadi Wali Kota.
Setiap waktu jadi tampak serius dan tegang. Dari pagi Hanafi harus
mengantar dari satu rapat ke rapat lainnya. Yang membuatnya lebih capek,
ia harus sering mengirim bermacam atribut kampanye, berkardus-kardus
barang dan bingkisan amplop—yang ia yakin berisi bergepok-gepok uang—ke
posko-posko pemenangan hingga pelosok kampung. Bisa subuh ia baru
pulang, dan harus siap lagi jam enam pagi. Melelahkan. Lagi pula ia
takut, nanti kalau majikannya benar-benar jadi Wali Kota,
buntut-buntutnya akan kesangkut korupsi.
Terus terang, itu semua
yang tak terlalu membuat Hanafi suka. Ia sempat bilang, ”Kenapa sih
mesti mencalonkan diri jadi Wali Kota segala? Nanti malah repot....”
”Saya
tidak mencalonkan diri, Hanafi,” jawab Pak Umar sambil tersenyum. ”Saya
ini hanya dicalonkan. Banyak partai yang meminta dan mendukung. Yah,
saya ini ibaratnya hanya menjalankan amanah. Kalau nanti saya menang,
kan kamu juga ikut senang. Kamu nanti saya jadikan kader partai nomer
satu....”
”Jadi kader partai itu tidak enak, nanti malah jadi
tumbal,” Hanafi melirik majikannya yang terdiam. ”Saya lebih senang
Bapak jadi pengusaha saja. Politik itu mengerikan.”
”Mengerikan bagaimana?”
”Ya, takut saja nanti Bapak kena KPK....”
Umar
Rais hanya tertawa pelan. ”Kamu tenang saja. Saya mau dicalonkan jadi
Wali Kota begini ya setelah minta nasehat Kiai Karnawi kok. Beliau
memberi restu. Kalau tidak, ya saya tidak berani maju. Nanti, sehari
menjelang pencoblosan, Kiai Karnawi akan memberi saya kurma.”
Kurma itulah yang harus segera diambil oleh Hanafi.
HANYA
Hanafi yang terlihat bengong ketika hasil penghitungan suara pemilihan
Wali Kota resmi diumumkan: Umar Rais terpilih sebagai Wali Kota! Suasana
rumah majikannya dipenuhi sukacita kebahagiaan. Dua anak laki-laki Pak
Umar yang sudah mahasiswa bahkan tak bisa menyembunyikan kegembiraannya
dengan berlarian teriak-teriak keliling halaman, ”Yeaah, akhirnya Bapak
jadi Wali Kota! Wali Kota!!” Beberapa pendukung sujud syukur. Puluhan
orang bergiliran datang memberi selamat. Bu Umar terlihat selalu
tersenyum menyambut setiap ucapan.
”Kenapa kamu bengong begitu?” Hamid menepuk pundaknya. Membuat Hanafi tergeragap. ”Kamu tidak senang Pak Umar menang?”
Hanafi
mencoba tersenyum. Ia bukan tak suka majikannya menang. Ia hanya heran,
kenapa bisa menang?! Hanafi melihat majikannya melambai memanggilnya.
Buru-buru ia mendekat.
”Ada apa, Pak?”
”Nanti kamu antar
saya ke Kiai Karnawi. Saya mesti sowan. Mesti berterima kasih. Saya
yakin, berkat kurma Kiai Karnawi itulah saya bisa menang....”
Hanafi
cepat-cepat mengangguk. Bukan mengiyakan, tetapi lebih untuk
menyembunyikan kegugupannya. Tiba-tiba ia ingat ketika mengambil kurma
Kiai Karnawi sebagaimana disuruh majikannya. Ia berharap majikannya tak
terpilih, makanya kurma dari Kiai Karnawi itu ia makan sendiri. Adapun
kurma yang dia berikan pada majikannya hanyalah kurma yang ia beli di
pinggir jalan.
Bandung, 2012
Sumber: Kompas, 8 Oktober 2012
0 komentar:
Posting Komentar