Cerpen : Sutan (a*)
Gelap. Segelap malam ketika bulan enggan menampakkan diri, dan bintang terselimuti hamparan awan menggelimpang kelam.
Tak sekilas cahaya pun berkelebat mengitari bumi, seolah tersuruk oleh ketakutan oleh entah apa. Tak sebongkah benda yang bias tertampak meski disorong ke depan mata ke dekat hidung. Begitu kelam sehitam bongkah hati yang terajam oleh dosa-dosa tak terampuni.
Segelap penjara bawah tanah yang dibentengi dinding-dinding besi kokoh dan kusam, menghadap matahari yang hendak masuk menyinar. Sungguh gelap tak menyisakah setitik pun cahaya, walau di ufuk yang tak berarah. Sungguh kelam tak menyisakan asa dan harapan bagi mereka yang memiliki sedikit semangat untuk memacu hidup ke depan.
Gelap. Sungguh menakutkan seolah tak mau berbagi cerah kepada umat yang telah rontok oleh kekalahan demi kekalahan dalam melawan angkuhnya dunia. Gelap dan Kelam seakan berlomba untuk menutupi hati yang selkalu mingin bergerak maju merubah detak nasib.
Gelap dan kelam begitu menyesakkan, bak tak hendak menampakkan secercah pelita sekadar penunjuk arah kemana akan melangkah. Tak ada arah hendak dituju, tak ada jalan yang hendak ditempuh. Terbutakan oleh kegelapan yang memuncakkan dendam dan amarah oleh kekalahan hidup. Tak hendak beranjak dari gulatan keseharian yang menggeluti sedih, menjadikan kehilangan asa menjalani hari-hari ke depan. Kacau. Galau. Gelap membutakan mata, membutakan matahati.
Dalam Gelap, hadirnya terang adalah anugerah tak terimpikan. Menjadikan Terang bagai setitik harap yang muncul dalam pekat, meski itu hanyalah titik api diujung antah berantah. Titik di tempat yang tak mungkin tergapai seketika. Titik ditempat yang mesti mengarungi derita dan nestapa untuk kesana.
Terang. Walau harus menembus belantara tak bertepi, menerjang karang tak berbatas, melawan ombak tak berwaktu, datanglah kau wahai Terang. Biar aku kesana menerjang apapun yang menghalang. Terang. Engkaulah sesuatu yang selalu diimpi dan diangan. Imajinasi melayang nan tak mungkin tejadi meski sekejab.
Terang. Walau cuma setitik lidah api, namun bak sebongkah mentari siang memanggang bumi. Cukup memberi tanda kehidupan pada alam jagad raya, cukup menunjuk tanda kemana akan beranjak. Cukup menerangi ujung dunia akan dicapai. Terang, tapi kenapa tak hendak juga datang? Agar bisa bercerita tengang indahnya memandang fana, dan nikmat menatap harap.
Kenapa gelap yang selalu hadir, dengan setia setiap waktu, setiap saat kaki melangkah. Itu adalah pertanyaaan yang tak akan pernah terjawab. Pertanyaan yang seolah menyalahkan Tuhan atas takdir-takdirnya. Pertanyaaan yang menyesali kehendak Tuhan atas Mau Nya. Pertanyaan yang menafikan Kekuasaan Tuhan atas jagad rayaNya. Pertanyaaan bodoh yang tak boleh terucap dari mulut orang-orang saleh: bahwa Tuhan Berkehendak atas apapun yang IA mau.
Jauhkan diri dari pertanyaan tentang Gelap dan tentang Terang ini. Yang boleh terucap adalah ungakapan syukur atas segala nikmat yang telah dilimpahkan. Bersyukur disetiap saat, dalam hidup dan dalam mati. Bersyukur di setiap darah mengalir, setiap jangtung berdetak, di setiap nafas terhembus. Bukankah setiap saat terucapkan kata: sesungguhnya sholatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Tuhan semata. Lantas kenapa masih ada pertanyaan tentang Gelap dan tentang Terang ini?
Huh ! Begitu ruwet bias mengerti perihal ini dan itu. Yang diingin Cuma mencari sesuap nasi, menyiasati hidup yang detik ini, saat ini dan hari ini. Kenapa harus begitu rumit dengan tahapan-tahapan yang harus dijalani, dilakoni, Sungguh melelahkan dan menyesakkan. Huh !
“Huh …! “, selalu terlompat dari mulut lelaki berwajah kusut berusia menjelang senja. Carut marut hidup terekam dalam wajahnya yang kusam. Sejarah panjang perjuangan yang meletihkan raga dan meletihkan hati, adalah goretan yang tak akan pernah habisnya. Dari kehancuran menuju kehancuran adalah takdir yang seolah melekat dalam takdirnya. Gelap dan kelam adalah kesehariannya. Susah ke nestapa adalah selimutnya menyiang gigitan dingin dikala subuh tiba. Ada lukisan derita dalam mata, dalam kening dan dalam kerut mata. Perjalanan hidup itu sungguh panjang, sungguh aku ingin istirahat, begitu bathinya sering berucap.
Huh…! Seperti hari ini, terlentang dalam kamar sempit dan pengap rumah kontrakan. Di ujung lorong becek dan kumuh. Ketika hujan baru usai menghasilkan bau anyir dan pesing. Ditengah pasar dikitari tumpukan sampah penuh lalat dan tikus. Dilumuri berbagai kuman dan virus penyakit. Disitulah dia bermukim disisa usia yang tak tau akan sampai ke berapa.
Huh…! Termenung, tecenung dengan kedua belah tapak tangan menutup separuh wajah adalah erkspresi galau dan kacau diri. Kenapa semua selalu kembali ketitik nol. Tempat dimana dulu memulai, disitulah kerap berakhir. Sudah empat puluh tahun. Sepanajng 20 tahun menamatkan sekolah dilewati dengan cucuran kertingat dan airmata seluruh keluarga. Semua begerak dalam sengsara demi sehelai kertas bertuliskan: SARJANA.
Tak jua member arti disisa 20 tahun sesudahnya. Tetap dilalui dengan perjuangan dan kesengsaraan. Tak pernah mencapai titik aman, tak pernah menggapai puncak yang diangan. Bagai punduk merindukan bulan. Jauh dan tak mungkin digenggam. Naik dan turun adalah menu sehari-hari dari pergerakan panjang mengitari bumi. Naik dan terus jatuh tak terperih adalah sarapan pagi yang hadir disetiap mata terbuka. Sungguh hidup ini sakit tak tertahan:
“Selusurilah lorong-lorong becek dan berbau penuh kubangan sampah bersatu dengan lumpur, tempat lalat dan kecoa mencari makan, dan tikus-tikus mengais-ngais sisa hajatan pesta pora manusia. Ketika orang-orang menjauh dari semua itu, kesanalah mereka-mereka yang kalah meletakkan harap. Luapan air kotor dari got-got menghamburkan aroma beragam busuk, karena itulah air buangan dari segala bentuk buangan manusia. Termuilah aku di situ.
Kitarilah, hiruk pikuk derungan berbagai jenis kendaraan meraung-raung, dibarengi teriakan kondektur dan kenek bus-bus, mikrolet, metromini dan lainnya mencari penumpang. Penuh debu berterbangan, asap rokok mengapung bercampur kewringat-keringat mengalir membasahi bahu dan pundak siapa saja yang lewat. Bau panggang daging, bau sampah berserakan dan bau segala jenis bau menyatu meramaikan suasana kerontang siang. Copet, garong dan calo-calo saling intip untuk menemukan mangsa. Semua demi sesuap nasi. Temuilah aku disitu.
Jelajahilah. Hamparan sawah-sawah tempat pentai menyemburkan keringat menghujamkan tenaga untuk mencari panen. Atau puncak-puncak gunung yang berhampar rumput tempat petani melepas kerbau dan sapi mencari makan. Hutan lebat tempat mencari kayu untuk memasak, menyambung hidup. Naik turun lembah dan ngarai adalah keseharian yang penuh semangat. Hujaman lintah dan sengatan nyamuk kebun adalah suntikan vitamin, Sayatan daun-daun kasar dan tajam adalah perjalanan yang harus dilalui. Teruilah aku disitu.
Carilah di tempat-tempat orang-orang kecil menyatu dalam semangat dan putus asa. Carilah tempat-tempat orang-orang kalah meringkuk dalam ketidakberanian menatap dunia. Carilah tempat-tempat itu, karena pasti aku ada disana. Karena aku adalah mereka., Orang-orang kecil dan orang-orang yang kalah”. (b*)
Lelaki itu masih di situ. Walau hari telah berputar beberapa waktu. Telentang dalam bisu menikmati kelam dalam pejam. Tercenung dalam angan menerawang kesemua arah. Cuma itu yang ia punya. Masih ingat, ketika dua bocah kecil miliknya paling berharga dialam jagad raya ini, dengan riang mengajak untuk bersama merayakan lebaran di rumah. “Semua orang dating, kenapa ayah masih sibuk bekerja””, begitu protes si sulung.
Huh…! Kasihan anak-anakku. Ia masih saja mengidolakan ayahnya yang tak memiliki daya. Menganggap sama dengan ayah-ayah yang ada pada teman-temannya. Ayah-ayah yang normal yang punya segalanya. Kerja, penghasilan dan harga diri. Aku tidak nak. Kasihan anak-anakku. Masih juga menjadikan ayahnya superman, manusia serba hebat yang selalu hadir setiap dibutuhkan. Yang selalu diceritakan dengan nada bangga kepada teman-teman sekolahnya, apapun yang dihadiahkan ayahnya, walau itu cuma secuil barang berharga obral. Kasihan anak-anakku. Walau beberapa orang mendengar ocehan dengan cibiran, tetap saja mereka meletakkan aku diatas segalanya. Meski untuk itu kadang sdambil menangis mempertahankan kebanggaan itu. Karena memang itu yang mereka punya. Kasihan anak-anakku. Huh…!
Memang indah angan mereka. Lebaran, setelah sebulan mengabdi kepada Yang Maha Agung dalam bentuk tunduk dan patuh pada semua perintah dan laranganNya. Berpuasa. Adalah kenikmatan tiada tara merayakan bersama keluarga besar, saling berma”afan, bersilaturahmi. Indah dan manis. Seperti anak-anakku, aku juga mengimpikanitu. Itulah Terang yang kumaksud.
Tapi, bukankah gelap selalu mengitari takdirku? Lebaran yang dimaksud anak-anakku itu, selalu berbeda dalam kenyataan yang ada selama ini. Lebaran tak lain adalah ajang pamer keberhasilan, pamer kekayaan. Bahwa si anu sudah punya ini sudah nambah benda itu. Bahwa si entu sudah naik kesana pindah ke sini tempat yang lebih tinggi. Atau di enyong, sudah jadi itu dan jadi ini. Sedangkan aku? “Huh…!”, cuma kata itu yang aku punya selama 40 tahun. Inilah gelap yang aku maksud.
Dan gelap inilah yang masih menaungi saat ini. Bagaimana mungkin aku bisa hadir? Justru itulah yang ingin dihindari. Tak sanggup menghadapi seringai manis yang penuh basa-basi dari semua orang yang akan bertanya segala macam hal. Dengan nada merendahkan yang akan berujung pada pamer kekayaan mereka. Tawa palsu yang dibaluti rasa keingintahuan sudah sampai dimana perjalanan Lelaki ini?
Bukankah selama ini Ia akan mendapat sanjungan setinggi langit ketika sukses datang dan dikucilkan disaat gagal dan gagal menghampiri. Begitulah selalu.
Lantas kalau harus hadir, apa yang harus dijawab andai berbagai pertanyaan kemana, mengapa dan ada apa menghujami selama pertemua berlebara itu? Selain itu, kalau tidak hadir, apa yang mesti dijawab oleh anak-anakku apabila beribu peretanyaan meluncur, kemana ayah, kenapa ayah tak hadir, kenapa ini dan kenapa itu? Ujungnya, pasti anak-anakku akan menangis. Kenapa ayah tidak datang.
Huh…! Inilah Gelap… Biarlah waktu hapus itu (c*). Biarlah waktu jawab itu. Dan waktu itulah yang diingatkan Tuhan, agar kamu selalu memanfaatkan waktu yang diberikan Tuhan, kalau tidak mau menjadi manusia yang merugi. Waktu itu adalah waktu subuh, waktu ashar, waktu 2/3 malam. Sujudlah, sembahlah Aku, karena itulah jalan yang benar, begitu Tuhan berkata (d*).
Jadilah manusia yang bersabar dan bersyukur, karena Tuhan selalu bnersama mereka.
Ampuni aku Tuhan…..
Bogor, 10 Juli 2012
Catatan:
a. Nama alias, nama asli adalah: Almansyah ----lihat profil penulis
b. Puisi: Temui Aku Disitu, karya almansyah, depok 1994.
c. Penggalan lagu Grup Band Niji.
d. Firman aslinya: “wa ani”buduuni haadzaa shirathun mustaqim (dan hendaklah kalian menyembahKu, karena inilah jalan yang lurus)”.
Sumber: Kompas, 7 Agustus 2012
08 Agustus 2012
H u h....!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar