RHENALD KASALI
Pada tahun 2000-an, tak lama setelah para konglomerat lama menjadi pasien Badan Penyehatan Perbankan Nasional, muncul sejumlah nama pengusaha baru. Chairul Tanjung adalah salah satunya.
Racikan usaha konglomerat baru yang menarik perhatian publik itu bertulang utama di sektor keuangan, sebagian industri, properti atau perkebunan, dan tentu saja media massa. Konglomerat baru itu ingin mendapat pijakan dalam dunia hiburan atau media, menemani tumbuhnya kelas menengah baru domestik.
Berebut tempat atau memosisikan diri sebagai orang media sangat disyukuri, apalagi jika mendapat julukan sebagai tokoh pers, bahkan sebagian menyeberang ke dunia politik dengan motivasi yang berbeda-beda.
Tidak mengherankan jika ada dugaan, konglomerat baru pasca-Orde Baru dibidani oleh pemain lama yang butuh ”orang kepercayaan” untuk memutar kembali asetnya yang tidak dapat dibeli kembali dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Namun, membaca biografi Chairul Tanjung (CT), kita tidak akan menemukan jawaban itu meski gunjingan akan selalu terdengar.
CT mengambil Bank Mega (1995) ”atas tawaran” pejabat senior Bank Indonesia dan Bapindo melalui proses due diligence, jauh sebelum para konglomerat gulung tikar (1997). Namun, benar seperti yang dikatakan Jakob Oetama dalam pengantarnya, modal CT adalah kepercayaan. Dan, itu sesungguhnya adalah modal besar seorang pemimpin, modal utama seorang wirausaha.
CT dipercaya pasar, diminati pengusaha, dan disukai Presiden. Sepanjang buku ini kita disajikan langkah-langkah kecil yang menjadikan CT magnet. Sekali lagi bukanlah uang yang menjadi modal, melainkan kepercayaan. Bagi yang melihat uang sebagai constraint dalam berwirausaha tak akan percaya bagaimana seorang ”anak singkong” yang tinggal di Gang Abu, berdinding asal-asalan dan biasa ”nongkrong” di jamban beratap seng, yang masuk kuliah di UI tak punya uang, bisa menjadi sarjana dan bankir yang diperhitungkan. Pastilah, pikir mereka, ada tangan lain yang meminjamnya.
Kata orang bijak keberuntungan itu bukan karena fengsuinya bagus, melainkan karena persiapan diri yang kuat yang bertemu dengan kesempatan. CT membaca kesempatan sejak menjadi anak rakyat di kampus Salemba. Saat mahasiswa lain sibuk kuliah dan fotokopi diktat, ia justru melihat gap antara biaya fotokopi dan mencetaknya dalam bentuk stensilan di percetakan teman sekolah masa SMP-nya di daerah Senen. Selisihnya besar sekali. Ia pun mendatanginya, mengambil risiko, dan menawarkan harga lebih murah. Dipercaya di kampus membuatnya dipercaya dunia usaha sedikit demi sedikit.
Dari fotokopi ke alat-alat kedokteran, lalu jual beli mobil bekas, menjadi kontraktor kecil-kecilan, dan belajar menangani kesulitan. Saat bangkrut, bukannya pecah seperti telur yang jatuh, ia justru membal kembali seperti bola tenis. Bukankah Tuhan memberikan kita kesulitan agar kita berpikir? Seperti sopir yang mengekspos diri pada risiko, ia tidak mau menjadi penumpang yang berpangku tangan di belakang. Ia mengaku selalu didatangi tawaran untuk masuk ke bisnis-bisnis baru dan ia mau melakukannya. Kalau kita sekolah di kedokteran gigi, kemungkinan besar istri akan mengatakan, ”Ngapain jadi juragan sepatu? Kan, mas dokter?”
Demikianlah ia ditawari orang Taiwan membuat sepatu meski jadinya hanya pabrik sandal, celah yang sulit dimasuki ia ekspos terus. Dari situ ia dapat kepercayaan, menggabungkan keahlian dalam industri dan properti. Dari berhubungan dengan bank sebagai debitur sampai menjadi pemilik bank dan masuk ke dalam dunia pertelevisian. Secara spiritual kita bisa memercayai doa ibu yang menyertai keberuntungan seseorang. Hampir semua pemimpin dan pengusaha besar dalam biografinya selalu menyebut ibu. Aneh, ya, kok bukan bapak?
Namun, dalam kewirausahaan, keberuntungan seseorang hanya terjadi apabila kedua hal di atas terpenuhi: mampu membaca gap (peluang) dan mempersiapkan diri. Jangankan wirausaha, calon presiden saja harus mampu membaca kesempatan serta ilmuwan harus bisa melihat celah apa yang sudah diteliti dan yang masih menjadi masalah. Namun, mampu membaca saja tidak menjadikan Anda manusia beruntung. Manusia harus bergerak, mengeksplorasinya, yang berarti melakukan persiapan sampai ia didatangi oleh kesempatan-kesempatan yang lebih besar. Namun, siapa yang bisa didatangi kalau tidak ada kepercayaan?
Akumulasi semua ini sesungguhnya adalah harta-harta tak kelihatan (intangible) yang menjadikan Warren Buffet pengusaha besar, demikian juga dengan Bill Gates dan Steve Jobs, dan menjadi modal bagi Ir Ciputra, TP Rahmat, dan Peter Sondakh. Menurut saya, kemampuan manusia mengelola harta-harta tak kelihatan inilah (kepercayaan, pengetahuan, daya juang, informasi, pembelajaran, dan etika) masih kurang didalami di dunia persekolahan kita.
Kemampuan mengelola harta-harta tak kelihatan itu dikenal dengan istilah life skills dan menjadikan Jepang, Inggris, Jerman, Amerika Serikat, dan Singapura sebagai bangsa yang tangguh. Akan halnya CT, dia mendapatkannya dari perjalanan hidup.
Biografi ini dibuat dengan bahasa yang sederhana, dengan bab yang ditulis pendek-pendek, jauh dari jargon-jargon bisnis. Namun, seperti yang saya katakan di pembukaan, masih banyak yang bisa diceritakan CT, khususnya dalam ”kepercayaan” yang diberikan pemain-pemain lama, minimal bagaimana ia membedakan diri dengan mereka dan memosisikan sebagai pengusaha di era baru yang lebih didasarkan tata kelola yang baik. Refleksi kedekatan dengan penguasa perlu juga diuraikan agar pengusaha muda mampu mengambil pertimbangan yang masak.
Meski generasi CT sangat familiar dengan kata anak singkong, dalam buku ini tak ada ulasan yang menjelaskan mengapa ia mengklaim sebagai anak singkong. Dalam buku ini juga ditemui beberapa ulasan yang terkesan banyak dipotong sehingga muncul pertanyaan, mengapa harus disajikan jika informasinya hanya seadanya? Juga ditemui kegalauan penulisan antara otobiografi (menjelaskan tentang ”saya”) dan biografi yang ditulis orang lain berdasarkan hasil riset (hal 165).
Namun, kalau kita bisa memisahkan bagian-bagian tertentu, buku ini penting untuk menanamkan semangat kewirausahaan. Bagaimana menjadikan para sarjana sebagai manusia beruntung yang tak hanya menjadi pemain warung di kaki lima selama bertahun-tahun bersaing dengan rakyat jelata dan selalu meributkan constraint.
SUmber: Kompas, 12 Agustus 2012
0 komentar:
Posting Komentar