Penggalan Hidup
Ketika kebingungan menjadi keseharian, menjadi seni ketakmenentuan, maka puisi adalah jembatan menuju kedamaian jiwa
Ketika bencana di mana-mana, menjadi keseharian semesta, maka kembali pada alam adalah rumah paling menyejukkan
Aku ingin menjadi penyair, yang menghabiskan kata-katanya pada alam dan tuhan, sambil meneriakkan “alam, aku sahabatmu, aku akan merawatmu” jika malam aku menghisap tabsih dan siang aku menghisap bunga-bungamu yang masih menghijau di pelataran tubuhku
Aku bekerja dari hati, merebahkan setumpuk damai untuk hati yang sedang berseri.
Di bawa panas matahari aku meluangkan keringat, menyuburkan semangat untuk ummat, bunga-bungaku mulai subur dan kata-kata kubawa ke tepian waktu untuk manusia.
Aku berjalan, membawa setumpuk sejarah, bunga, alam, manusia dan alam untuk kuhaturkan pada Tuhan, bahwa ciptaannya kini mulai di rusak manusia
Ketika lonsor dan banjir menjadi langganan, maka kau akan menjerit ketakutan dan nyawa-nyawa menghilang tanpa makna
Aku datang membawa bayang-bayang mimpi, untuk satu tujuan memciptakan puisi, aku ingin menjadi penyair yang berjalan sepanjang waktu bersama alam sambil mengitari impian menjadi nyata
Jogja, 2011
Alam Ini
Hati-hatilah tubuhmu banyak yang sakit, banyak yang di tebang penyakit, aku yang sedang melihat nyeri, ketidakpedulian menjadi seni kebutaan dan tangan-tangan mulai gatel, itu bukan salah Tuhan.
Alam ini, ada untuk kau nikmati, kau rawat, kau semai, bukan untuk kau bunuh, aku menangis air hujan tak mengenangi bumi.
Lubang-lubang semakin lebar dan sungai menyempit di bangun gedung-gedung angkuhmu, lama waktu berjalan menemui detik, menemui kerusakan-kerusakan yang diakibatkan manusia, tapi engkau tak kunjung menyadari, hanya sadarmu yang berjalan, kesadaran kini belum lahir ke bumi, ia masih terdiam di kedalaman jiwa
Alam yang tampak nyata kau iyakan gersang, jiwamu gersang, lalu aku bermimpi menemukan kebun-kebun hijau di sana, di alam yang belum lahir.
Jogja, 2011
Bunga
Tiap pagi menyirami bunga-bunga, semua tanah langsung basah, sedang daunya masih berembun, tersangkut mata memandang langit, sesudah itu, bersama matahari, reranting menimpa jejakku, dan dari bunga lahir sejuta kesejukan, matahari panas sepanas keringat petani, seperti igauan malam yang sedang menunggu pagi.
Bungaku indah sekali, kututup matahari dan senjaku bersama malam yang hendak menidurkan daun bungaku.
Jogja, 2011
Begitu Sering
Begitu sering aku temui peminta, sungai kering dan manusia kehausan, daun kering, reroncean berjatuhan, alam rusak terkapar.
Yang kutemui hanya kenyerihan, yang tersingkap karena kemauan, matahari semakin panas, elang dan burung terbang mencari air dan kesejukan.
Begitu sering aku jumpai kesombongan, manusia menuhankan harta, dan ketakpedulian bangsa, yang kuinginkan hanya keinginan menemui Tuhan, menemui pemilik kedamaian yang sebenarnya.
Jogja, 2011
Air
Air kau sungguh indah, sungguh sejuk, sungguh nikmat, sungguh damai, air kau bisa saja menjadi obat, kau bisa menjadi penghidup semesta, kau mampu menjadi kehidupan.
Air, semestinya kau kutuk kesewenang-wenangan, buanglah penyakit was-was dalam jiwaku.
Apakah karena air tak berkata, sehingga kau buang sembarangan, air yang tak bertangan kau takpedulikan, ingat,,, tubuhmu terbuat dari air,
Apa salahku, kata air, hingga kewas-wasan menjadikan diriku kurang bersih, keraguan itulah penyakitmu, kewas-wasan itulah yang membuat air kering, jiwamu kering.
Ah.. itu hanya petuahmu, kata si was-was, yang sebenarnya tak memiliki makna apa-apa. Air untukku, di apakan juga terserah aku, kasih kau air, banyak manusia yang hanya menggunakan engkau, tapi tak banyak manusia yang peduli padamu.
Jogja, 2011
*Penyair, lahir di desa Banjar Barat, Gapura, Sumenep, Madura. Alumni Al-In’Am dan MA Al-Karimiyyah ini masih aktif menulis di media massa baik lokal maupun nasional.
Sumber: Kompas, 8 Mei 2012
09 Mei 2012
Sajak-sajak Matroni el-Moezany
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar