Oleh : Romi Febriyanto Saputro*
Menjelang tahun ajaran baru seperti saat ini sudah cukup banyak bermunculan spanduk pengumuman penerimaan siswa baru untuk Taman Kanak-Kanak dan Play Group “Unggulan” dan “Terpadu”. Taman Kanak-Kanak dan Play Group tersebut sangat diminati oleh masyarakat terbukti dengan frasa “tempat terbatas” dalam pengumumannya.
Meskipun mematok biaya masuk yang tergolong mahal untuk ukuran masyarakat kita, peminatnya tetap tinggi. Daya tarik utama dari pendidikan anak usia dini ini adalah penggabungan kurikulum umum dan agama. Selain itu, sekolah ini juga bersifat full day school yang semakin “meringankan” beban dan tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak-anaknya.
Fenomena semacam ini di satu sisi cukup menggembirakan karena menandakan bahwa masyarakat cukup peduli dengan pentingnya pendidikan anak usia dini. Kesadaran ini diharapkan dapat meningkatkan akses anak usia dini terhadap pendidikan. Mengingat angka partisipasi anak usia dini terhadap pendidikan di tanah air masih tergolong rendah .
Namun di sisi lain hal ini cukup memprihatinkan karena pendidikan anak usia dini telah bergeser ke arah eksklusifisme. Hal ini ditandai dengan kemunculan sejumlah TK dan Play Group unggulan yang menarik biaya cukup tinggi. Bahkan dapat dikatakan terlampau tinggi karena jauh melampaui biaya pendidikan dasar, menengah, dan tinggi.
Di Sragen saja untuk masuk ke TK dan Play Group yang dianggap unggulan harus mengeluarkan biaya di atas 2 juta rupiah. Di Semarang dan Solo lebih tinggi lagi sampai sekitar 5 juta rupiah. Sedangkan di Jakarta, konon mencapai angka 10 – 20 juta rupiah. Angka-angka ini sangat fantastis di tengah kondisi ekonomi bangsa yang katanya sedang mengalami krisis ekonomi tanpa ujung.
Selain bergeser ke arah eksklusifisme, pendidikan anak usia dini juga terperangkap pada harapan yang berlebihan terhadap anak. Harapan yang berlebihan ini pada titik ekstrim dapat berkembang menjadi beban pada anak usia dini. Penulis sempat terkejut ketika melihat kemenakan penulis yang duduk di TK sudah mendapat PR yang setara dengan murid SD.
Dunia anak adalah dunia bermain. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) harus bertitik tolak dari kaidah ini. Pembelajaran anak usia dini harus dibedakan dengan pembelajaran anak usia sekolah dasar. Nuansa bermain tak boleh hilang dari model pembelajaran anak usia dini.
Yang terjadi saat ini, anak usia dini memperoleh perlakuan yang sama dengan anak usia sekolah dasar. Pembelajaran terlalu fokus pada kemampuan baca, tulis, dan hitung. Orang tua dan guru akan senang sekali jika balita maupun batitanya sudah lancar membaca dan menulis. Sebaliknya akan merasa gundah jika balita dan batitanya belum lancar membaca dan menulis.
Padahal menurut Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010, Pendidikan anak usia dini bertujuan pertama, membangun landasan bagi berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkepribadian luhur, sehat, berilmu, cakap, kritis, kreatif, inovatif, mandiri, percaya diri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab; dan
Kedua, mengembangkan potensi kecerdasan spiritual, intelektual, emosional, kinestetis, dan sosial peserta didik pada masa emas pertumbuhannya dalam lingkungan bermain yang edukatif dan menyenangkan.
Salah kaprah ini terus berlanjut ketika sang anak harus mengikuti tes/ujian masuk SD (Sekolah Dasar). Cukup banyak SD favorit yang menyaring calon siswa dengan menguji kemampuan baca-tulisnya. Seolah hendak mengatakan bahwa syarat masuk SD tersebut adalah sudah lancar baca-tulis. Sehingga guru SD Klas 1 nanti tak perlu repot-repot mengajari peserta didik baca dan tulis. Padahal orang tua menyekolahkan anak ke SD adalah supaya anaknya diajari baca dan tulis.
Menurut Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan Informal (PAUDNI) Kemdikbud Lydia FReyani Hawadi (2011) , jenjang PAUDNI tidak membebani anak dengan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. Ia menilai saat ini semakin banyak SD yang terlena dan hanya mau “terima jadi” calon siswa yang sudah mampu membaca, menulis, dan berhitung. Siswa baru boleh di ajar baca, tulis, dan hitung di SD bukan di PAUDNI.
Membaca dan menulis merupakan hal yang penting dalam kehidupan manusia, termasuk anak usia dini. Namun proses pembelajaran membaca dan menulis pada anak usia dini tidak boleh mengganggu karakteristik psikologi anak. Nuansa bermain tidak boleh tercabut dari akar pendidikan anak. Dengan demikian anak tidak merasa terbebani sehingga dapat menikmati proses pembelajaran layaknya sebuah permainan yang mengasyikkan.
Pembebanan yang berlebihan justru akan berakibat kontaproduktif bagi perkembangan sang anak. Anak bisa menjadi trauma dengan membaca, menulis, dan berhitung. Jadi, pembelajaran pada anak usia dini mestinya lebih bersifat memberi rangsangan pada anak agar tumbuh minatnya dalam membaca, menulis, dan berhitung. Sehingga ketika mereka besar nanti semangat untuk belajar ini tetap terpelihara. Dengan kata lain mampu melahirkan generasi belajar.
Pembelajaran anak usia dini harus memperhatikan perkembangan masa peka anak. Maria Montessori membagi sembilan masa peka anak, yakni : 0 – 3 tahun (masa penyerapan total panca indera/sensorik); 1,5 – 3 tahun (perkembangan bahasa); 1,5 – 4 tahun (perkembangan dan koordinasi mata dan otot, anak mulai memperhatikan benda-benda kecil); 2 – 4 tahun ( perkembangan dan penyempurnaan gerakan, perhatian anak kepada hal-hal yang nyata, urutan waktu dan ruang); 2,5 – 6 tahun (penyempurnaan penggunaan panca indera); 3 – 6 tahun (peka terhadap pengaruh orang dewasa); 3,5 – 4,5 (mulai mencoret-coret); 4 – 4,5 tahun (indera peraba mulai berkembang); dan 4,5 – 5,5 tahun (mulai tumbuh minat baca).
Pendidikan anak usia dini memang sangat penting. Penelitian di bidang neurologi menunjukkan bahwa perkembangan otak anak tumbuh pesat di usia tersebut. Pada usia 4 tahun kapasitas kecerdasan anak mencapai 50 persen, dan pada usia 8 tahun mencapai 80 persen. Dapat dibayangkan betapa pesatnya pertumbuhan kecerdasan anak pada usia dini ini.
Ironisnya, sebagian besar anak usia dini di negeri ini belum terjangkau oleh pendidikan ini. Pendidikan anak usia dini masih bersifat eksklusif sehingga hanya dinikmati oleh segelintir kalangan yang mapan secara ekonomi. Ki Supriyoko (2006) mengungkapkan dari sekitar 13,5 juta anak usia 0 s.d 3 tahun ternyata baru sekitar 2,5 juta atau 18,74 persen yang terlayani. Di sisi lain dari sekitar 12,6 juta anak usia 4-6 tahun ternyata baru sekitar 4,6 juta atau 36,54 persen yang terlayani pendidikannya.
Bagi golongan miskin pendidikan anak usia dini masih merupakan “mimpi indah di siang bolong”. Bagi mereka bisa menjaga anak-anak mereka dari ancaman gizi buruk saja sudah merupakan prestasi yang bagus. Mengapa ? Menurut sebuah penelitian asupan gizi juga mempengaruhi kecerdasan anak. Setiap anak dengan gizi buruk beresiko kehilangan IQ hingga 10 – 13 poin. Sedangkan jumlah anak yang kekurangan gizi di Indonesia mencapai 1,3 juta. Itu berarti kita berpotensi kehilangan IQ sekitar 22 juta poin. Bahaya “The Lost Generation” sudah ada di depan mata.
*Romi Febriyanto Saputro, S.IP ialah Kasi Pembinaan, Penelitian dan Pengembangan Perpustakaan (Binalitbang) di Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen. Juara Pertama Lomba Penulisan Artikel Tentang Kepustakwanan Indonesia Tahun 2008 yang diselenggarakan oleh Perpusnas RI.
0 komentar:
Posting Komentar