Cerpen: Bustami Bin Arbi
Inilah tatapan terbeku yang tergambar di wajah sendu itu. Sinar purnama yang biasanya merekah, seakan hilang tergilas awan hitam. Sepasang mata cokelat itu menatap nanar, tak berjejak sisa-sisa binar yang pernah memancar indah bersama gemintang di taman langit.
Di balik kaca gelap pintu sedan merah yang setengah terbuka, sebenarnya mata itu dengan leluasa bisa menangkap siapa lelaki pemilik rambut semi gondrong dalam balutan helm. Entah setan apa yang menyelinap masuk, mengobrak-abrik ruang pikirannya. Dingin. Dengan ekor mata, perempuan berhidung mancung itu hanya menoleh sekejap ke arah lelaki yang kebetulan bersebelahan di sisi kiri mobilnya.
“Kas. Kasumi, ini Aku Dany”, ucap Aldany seraya membuka kaca helm yang ia kenakan.
Sial bagi Dany, Sumi keburu melaju ke jalur kanan. Sementara ia harus secepatnya bergegas lurus ke depan. Resiko besar bila nekat memutar haluan di trafic light saat lalu lalang kenderaan begitu padat. Tabrakan beruntun, atau mungkin juga pentungan Polisi Lalu Lintas akan didapat.
Tidak, Kasumi acuh dengan panggilan itu. Sepanjang perjalanan, Kasumi memilih puasa bicara. Hanya sesekali, bila Brahim suaminya memancing untuk buka mulut.
“Sayang, besok Abang ada urusan penting di Banda. Kalau nggak berani sendiri, pulang ke rumah Mak saja atau ajak si Ani nginap di sini,” ucap Brahim sambil merebahkan badan ke sofa empuk setiba di rumah kontrakan mereka.
Mendengar itu, Sumi ingin ikut mendampingi suaminya. Lagi-lagi Brahim melarang. Ia tetap beralasan sama, persis semenjak mereka menikah lima bulan lalu. “Ini bukan tamasya, sayang. Ini urusan bisnis, demi masa depan kita juga”, rayunya.
“Yahhh, selalu begitu. Bisnis..kerja..bisnis...kerja. Nggak pernah mau mengerti bagaimana nasib perempuan sendirian di rumah. Sekali-sekali kan boleh ikutan,” rengek Sumi.
“Atau jangan-jangan?” lanjut Sumi dengan nada menerka-nerka.
Sembari mengisap dalam-dalam rokoknya, Brahim berusaha memadamkan percikan bara api yang hendak disulut oleh sang istri. “Tenang sayang, jangan berpikiran macam-macam. Sudahlah, lain kali kita berlibur kesana.”
“Ahhhh, basa-basi. Muak, Aku sudah tahu semuanya. Kau kan pulang menjenguk istri dan anak disana? Ternyata benar apa yang digosipkan orang selama ini. Apa SMS ini bukan bukti nyata? Sudah, ceraikan saja aku dari pada hidup begini rupa?” dengan berapi-api perempuan berwajah tirus itu menumpah kesal sembari menunjuk-nunjuk HP milik suaminya yang sedang dalam kepalan tangan kirinya.
“Haaaah. Hahahahahah. Aku tahu, ini pasti gara-gara si lelaki yang tadi siang di Simpang Pelor kan? Baik, jika itu maumu,” Brahim pun mulai terpancing emosi.
Bagai bara yang dipercik bensin, pasangan itu kian memerah. Larut dalam perang kata-kata. Keduanya enggan mengalah. Tak terdengar lagi yang lain berbicara apa, hingga keduanya terpaksa memilih untuk diam.
Lengang. Suasana rumah minimalis bertipe tujuh puluh itu senyap sekejap. Penghuninya seperti sedang menatap sisa-sisa puing reruntuhan bangunan yang diterjang rudal tentara musuh.
“Aku memang tak pernah cinta sama kamu. Salahkan saja keluargamu yang dulu memaksaku. Kau seharusnya berterimakasih, Sumi. Selain aku, mana ada lelaki gila yang mau menikahimu disaat fisikmu tak lagi sempurna itu?” Lanjut Brahim sambil mengusap rambutnya yang tak gatal setelah lama membisu.
Pedas. Bak anak panah liar, lontaran kata-kata itu benar-benar terpacak di ulu hati Sumi. Tak dapat dibendung, air matanya jatuh membasahi kedua pipinya. Harga dirinya terasa kerdil. Ia sadar, kakinya tak lagi utuh. Tapi dikasihani bukanlah harapannya.
Semua bermula di minggu sore di Simpang Pelor. Barangkali sudah menjadi tradisi konyol warga kota itu, ketika lampu hijau hanya tinggal dua kedipan lagi akan menyala, suara klakson acapkali berlomba biarpun pertanda beranjak belum terpampang di tiang rambu trafic light. Sumi mendadak panik mendengar riuh gemuruh sahutan nakal disekelilingnya, ia pun latah menancap gas. Naas bagi Sumi. Kira-kira dua meter melaju, sepeda motor yang ia kenderai mendadak berulah. Pengendara yang mengekor dibelakangnya tak dapat mengelak. Tabrakan pun terjadi. Tubuhnya terkapar, ia terjerembab di badan jalan.
Sumi sadar sudah terbaring di ranjang kamar ruang inap pasien, entah bagaimana ia sampai disana, sama sekali ia tak hafal. Semua gelap. Ia tak sadarkan diri kala itu.
Sebagai gadis yang punya sejuta impian dan cita-cita, beban berat untuk menjawab ketika dokter menyarankannya amputasi. Lama ia terpaku, merenung di ranjang tua rumah sakit milik pemerintah. Banjir dukungan dari keluarga dan sahabat-sahabatnyalah, yang membuat ia rela kaki kanannya bercerai untuk selamanya. Kaki palsu menjadi pilihan.
“Nak, menikah dengan Ibrahim mungkin pilihan terbaik untukmu,” bujuk Ibunya usai rapat keluarga yang juga dihadiri peutua gampoeng suatu malam. Sebulan kemudian, Sumi pun berganti status menjadi Nyonya Ibrahim, kendati belum pernah terbersit di benak untuk menikah dengan lelaki yang sama sekali belum dikenalnya. Ia pasrah dan ikhlas.
“Kenapa diam, Kasumi? Usah bersandiwara, garis di wajahmu terlukis derita. Sungguh kau perempuan malang korban kecerobohan keluarga,” ucap Brahim sambil berlalu, meninggalkan saja istrinya dan rokok yang masih berasap di asbak.
“Benar, Aku memang perempuan kampung yang bodoh. Aku tak kuasa melihat orang tuaku bermurung muka. Aku resah bila mimpi-mimpi mereka ikut terkubur, hingga akhirnya aku rela kau hadir dalam hidupku,” dengan tubuh gemetar dan suara yang berat, Sumi pun bangkit.
Siti Kasumi, idola banyak lelaki di kampusnya itu berjalan gontai. “Becak...becak...becak, Bang.”
Tak butuh lama menanti tumpangan. Ia pun bertengger disana. Dari kejauhan, Brahim terdengar memanggil-manggil namanya. Sial, raungan mesin becak motor itu mengalahkan teriakan kerasnya. Dua persimpangan sudah dilalui. Simpang Kisaran, Simpang Pelor, hingga Sumi berada tepat di depan Tugu Kupiah Teuku Umar Johan Pahlawan.
“Sebenarnya kemana diantarnya, Bu?” tanya Abang becak heran saat Kasumi menyuruhnya berhenti sejenak di depan bangunan bersejarah itu. Sebab ke depannya adalah jalan buntu, tak ada lagi pemukiman penduduk di bibir pantai Samudera Hindia tersebut. Ludes dimangsa si gelombang raksasa tujuh tahun silam.
“Andai saja,” Sumi membatin.
“Ohhh, tidak. Hidup ini mesti dihadapi. Sumi, Kau bukan perempuan cengeng."
Cot Peuradi, 23-12-2011
Penulis: Bustami Bin Arbi, Peminat Sastra Kelahiran Nagan Raya, Aceh, 24 Juni 1986. Cerpennya pernah dimuat di Harian Serambi Indonesia. Penulis juga tergabung dalam jamaah Komunikasi Sastra. email: deboes_atjeh@yahoo.co.id
Sumber: Kompas, 14 Maret 2012
15 Maret 2012
Gerimis di Mata Sumi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar