Oleh: Yul Adriansyah/ATL Lisan
Sosok perempuan, seorang Pejabat Tinggi Negara, seorang ibu dari empat putra dan putri, Suryatati A Manan dengan kesibukannya sebagai Wali Kota Tanjung Pinang menjabat semenjak Tahun 2007 hingga kini, masih menyempatkan waktunya menghadiri dan membacakan karya puisinya yang juga termasuk dalam 22 perempuan Indonesia dalam buku "Antologi Puisi 22 Perempuan Indonesia - Hati Perempuan" diluncurkan pada Kamis malam, 22 Desember 2011 bertepatan dengan Hari Ibu di ruang Sonokeling, Gedung Manggala Wanabakti.
Sebagai orang nomor satu Kota Tanjung Pinang, menulis puisi bagi Suryatati juga merupakan alat komunikasi dengan rakyatnya. Entah itu dalam memperjuangkan hak mereka atau kaum perempuan. Bahkan puisi tentang bagaimana sulitnya ia menjalankan pemerintahan.
Mereka yang tergabung pada Antologi Puisi 22 Perempuan Indonesia yaitu Ana Mustamin, Aida Ismet, Anisa Afzal, Ariana Pegg, Dhenok Kristianti, Dyah Setyawati, Elis Tating Bardiah, Free Hearty, Heni Hendrayani Sudarsana, Linda Djalil, Martha Sinaga, Menur Haryati Adiwiyono, Nia Samsihono, Nona G Muchtar, Ratna Dewi Barrie, Rita Srihastuti, Sastri sunarti Sweeney, Soesi Sastro, Soedarnawati Yasni M, Susi Ayu, Suryatati A Manan dan Ully Sigar Rusady
Dalam buku yang diluncurkan malam itu bukanlah buku pertamanya, buku keempatnya itu masih berupa kumpulan puisi dan pantun dengan tema tentang keluarga.
Pejabat Wali Kota Tanjung Pinang ini berpantun atau menulis pantun bagi istri Ahmad Subroto (alm) ini bukanlah hal sulit, sebab pantun sudah menjadi santapan sehari-hari di Tanjungpinang. Mulai dari anak TK sudah bisa berpantun secara spontan ujar Suryatati. Namun, menulis puisi baginya adalah sesuatu yang baru.
Suryatati berkenalan dengan puisi semenjak Tahun 1993 sewaktu diberi hadiah ulang tahunnya ke-40 oleh putri pertamanya, Maya. Kemudian pada 4 November 2006. Saat itu ia diundang membaca dua buah puisi karya Tusiran Suseno dan Syarifuddin di Taman Ismail Marzuki.
Pengalaman menjadi seorang penyair baginya diceritakan ketika pada suatu waktu seorang wartawan bertanya kepada nya, "Sudah berapa puisi yang saya tulis, saya bilang belum ada" katanya. Pertanyaan wartawan tentang menulis puisi ternyata terus terngiang-ngiang di telinga ibu wali kota ini. Maka, pada suatu hari saat menjelang tidur, tambahnya, pada bulan November 2006 seingatnya, mulailah ia menulis puisi berdasarkan ungkapan perasaan-perasaan yang dialami semasa hidupnya.
Pada waktu itu, ia memang baru saja kehilangan suami tercinta, maka dimulailah merajut kata demi kata diucapkannya puisi yang dituangkan pada secarik kertas, ngakunya "Ada saya tersenyum, tertawa, mencibir, bahkan terkejut" pikirnya dipenuhi carut-marut khayalanya tersebut. Kadang ia tidak menyangka pada dirinya, "masih mudakah saya ini".
Puisi pertama yang ditulis Suryatati diberi judul Janda. Setelah menulis puisi Janda, Suryatati pun terus menulis hingga lahirlah buku kumpulan pantun dan puisinya yang pertama Melayukah Aku?. Tahun berikutnya, Oktober 2008, buku kumpulan puisinya kedua berjudul Perempuan Walikota terbit.
Menurut wali kota yang beberapa kali tercatat di Museum Rekor Indonesia (Muri) ini, ide menulis puisi muncul dari mana saja. Bisa dari koran, aktivitas sehari-hari di kantornya, atau realitas di masyarakat saat ia mengadakan kunjungan kerja. Kadang saat di jalan menuju pulang ke rumah muncul ide, langsung Suryatati tulis di secarik kertas terkadang belum ketemu judulnya, tetapi sudah tertuang maksud puisi nya. "Biasanya langsung saya tulis biar tidak lupa" tutur Suryatati. Bahkan ketika ia jengkel melihat ulah para stafnya di kantor Wali Kota pun ia tuangkan lewat puisi, baca pada puisinya ke-135 berjudul Stafku.
Suryatati yang hobinya menata tanaman adalah sosok seorang perempuan yang beranggapan bahwa, "sebagai perempuan sudah sepatutnya adalah yang mengerti peranan dan tanggung jawabnya sebagai pengemban amanah sebagai ibu rumah tangga di rumahnya serta lingkungannya, oleh karena itu para ibu-ibu di Kota Tanjung Pinang selain tanggung jawabnya sebagai seorang ibu rumah tangga saya himbau selalu menjaga kebersihan, merawat, menanam pepohonan dilingkungan sekitarnya" itu sesuai pada puisi yang ditulisnya dibacakan pada peringatan 17 Agustus Tahun lalu. Saat itu, ia melihat para istri pejabat di pemerintahan kota bukannya ikut upacara, melainkan malah pelesir ke luar negeri.
"Masyarakat juga perlu tahu kesulitan kita menjalankan pemerintahan" tambahnya. Puisi-puisi Suryatati terus mengalir mengandung sindiran itu tertuang pada puisi berjudul PLN. "Saya pernah membacakan puisi ini di suatu acara, dan ada orang PLN, tetapi mereka tidak marah. Cuma senyum-senyum. Puisi juga saya jadikan alat untuk menyampaikan aspirasi rakyat atau memperjuangkan hak-hak mereka" ujar Suryatati lagi.
Karya puisi seorang perempuan pejabat Wali Kota jelas bisa kita rasakan. isi maknanya bersentuhan dengan hidup kesehari-harian nya. Suryatati menulis puisi berdasarkan realitas, itu yang membuat ia menjadi seorang penyair bahkan budayawan, dosen filsafat Tommy F Awuy menyimpulkan setelah dia membaca puisi-puisi Suryatati mengekspresikan kejujuran yang sangat personal. Suryatati bahkan tidak latah bermanis-manis kata dalam mengukir realitas hidup yang dihadapinya, justru sebagai Pejabat Tinggi Negara ia berani melayangkan wajah sosial masyarakat yang carut-marut pada pemerintahannya. Bahwa mengomentari buku kumpulan puisi Perempuan Walikota, puisi-puisi Suryatati sebagai bentuk komunikasi pejabat daerah dengan masyarakatnya. Ini suatu pendekatan kultural yang seyogianya terus dikembangkan oleh mereka yang memegang amanah rakyat.
Sementara itu, penyair sekaligus periset puisi Medy Loekito melihat Suryatati dalam menulis puisi mengambil masalahmasalah di luar dirinya sendiri. Dari seluruh puisi dan pantun yang ada dalam Perempuan dalam Makna, hanya satu puisi yang bermuara pada dirinya sendiri. Selebihnya, ia menyuarakan ketidaknyamanan atau keganjilan yang ada di sekelilingnya dengan menggunakan cara penyampaian sederhana, lembut, jelas, komunikatif, namun berani. Hal itu bisa dilihat dalam Gali Lubang Tutup Lubang, dan PLN.
Kini, pembacaan puisi atau pantun sepertinya menjadi tradisi tiap kali ada kegiatan di pemerintahan Kota Tanjungpinang. Tiap kali ada sambutan-sambutan, pasti ditutup dengan pembacaan puisi. Ibu Wali Kota sendiri tiap kali melakukan kunjungan kerja selalu berpantun atau membaca puisi, "Masyarakat Tanjung Pinang mencintai sastra. Sebab banyak orang berpikir dunia sastra kurang ada ekonominya. Padahal kalau dikemas bisa menghasilkan uang". Ia bahkan telah memindahkan kota pemerintahan dari Jalan Haji Agus Salim ke kawasan Senggarong pada 2002, sehingga daerah itu mulai muncul geliat ekonominya.
Dulu, karena sepinya, kalau kita berjalan di wilayah itu selama 1 jam paling berpapasan dengan satu orang. Kini sudah ramai. Nanti kantor- kantor lain juga akan pindah, ujarnya.
Sumber: Kompas, 23 Desember 2011
24 Desember 2011
Suryatati A Manan: Puisi untuk Berkomunikasi dengan Rakyat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar