Cerpen Dian Balqis
Pagi itu Bima datang ke kantornya lebih awal, sekitar pukul delapan. Ada meeting dengan para petinggi sebuah perusahaan tambang besar di Papua sebelum lunch time di kantornya siang ini, mengenai permintaan akan kebutuhan bus-bus bagi sarana transportasi para pegawai mereka. Beruntung, jalanan sepanjang Cipinang hingga Cilandak, di mana kantornya berada, pagi itu agak lancar.Tak semacet biasanya. Hingga apa yang ingin ia siapkan hari ini bisaterlaksana sesuai rencana.
Ditinggalkannya dahulu permasalahan dengan Tere, istrinya, yang sudah beberapa hari ini masih terasa panas saja.Tak ada gunanya juga untuk dimasukkan ke dalam otak, karena memang sepertinya pertikaian di antara mereka tak akan pernah ada habisnya. Dari masalah finansiil yang dirasa selalu kurang oleh istrinya itu karena gaya hidupnya yang hedonis, atau kadang hanya soal sepele karena kecemburuan Tere yang sama sekali tak beralasan. Padahal Bima sudah berusaha keras untuk bisa memenuhi segala yang diminta Tere.
Memang kadang diakuinya kalau ia seringkali menghilangkan kekesalannya dengan sedikit bersenang-senang dengan perempuan lain. Tapi itu cuma selingan pengobat stress-nya saja, yang tak pernah diambil hati.Hanya hubungan ragawi, tanpa ikatan batin. Petualangan-petualangan kecil yang dianggapnya sekedar sebagai suplemen penambah kekuatannya, bukan untuk ia jadikan sebagai toksin. Tak terbersit sedikitpun niat di hati Bima untuk menggantikan kedudukan Tere dengan salah satu dari perempuan-perempuan itu, walaupun dasar pernikahan mereka memang bukan karena cinta. Dan seharusnya Tere bisa mengerti. Toh ia tetap memenuhi kewajibannya sebagai kepala rumah tangga dan pulang ke rumah setiap hari.
Mungkin karena mereka berasal dari suku yang sama, sehingga menjadikan satu sama lain sama-sama keras dan seringkali tak ada yang mau mengalah. Lelah sebenarnya Bima menghadapi hari-hari penuh keributan seperti itu, namun sepertinyaia memang harus pasrah menerima keadaan. Adat istiadat Batak Toba yang masih dijunjung tinggi keluarga besarnya, membuatnya mengurungkan niatnya.
Perceraian seakan memang diharamkan dalam budaya mereka. Banyak proses yang harus dilaluinya jika ia nekat berpisah dengan istrinya, seperti juga pada pernikahannya dulu yang diiringi dengan berbagai macam upacara adat. Ia harus menemui para tetua adat dan juga kekerabatan dari Dalihan Na Tolu untuk
membicarakan hal-hal yang terjadi diantara kedua belah pihak dahulu, lalu akan berusaha didamaikan. Belum lagi Bima juga tak bisa membayangkan jika sampai tak bisa lagi bertemu dengan kedua anak kembarnya, Brenda dan Brandon, pasca perceraian mereka. Aaargh.. Mengingat proses yang sedemikian rumit itu dan akibat yang mungkin akan ditimbulkannya saja sudah membuat Bima serasa ingin memenggal kepalanya untuk sebentar diletakkan di meja, supaya ia bisa berhenti berpikir barang sejenak. Memusnahkan hasrat Bima untuk lepas dari penjara yang bernama sakral“perkawinan” dan dengan penuh kesadaran akhirnya memilih terkurung di dalam penjara itu, seumur hidup.
Sudah pukul 11 siang. Sekretarisnya memberitahukan bahwa calon kliennya sudah datang.Segera Bima menemui mereka dan mengantarnya kemeeting room. Sekitar satu jam Bima mempresentasikan penawaran yang diajukan oleh perusahaannya. Puji Tuhan, tak ada kendala yang berarti. Sebab perusahaannya memang sudah sangat terpercaya untuk urusan transportasi, jadi konsep yang ia ajukan langsung saja disetujui oleh mereka.
Waktunya makan siang.Bima pun mengajak para tamunya menuju sebuah resto favoritnya di kawasan Kemang. Sudah lama ia tak menyantap Wagyu Burger dan Nachos yang menjadi salah satu menu andalan resto tersebut, juga Blueberry Cheesecake sebagai penutupnya. Para tamunya pun terlihat sangat menikmati hidangan mereka. Semua terasa berjalan seperti yang ia mau, hingga tiba-tiba saja matanya tertuju pada satu titik secara tak sengaja. Seorang perempuan bergaun merah, yang wajahnya selama bertahun-tahun ini masih saja menghiasi mimpi-mimpinya, tanpa setahu Tere.
Shinta. Perempuan yang dikenal Bima saat ia masih kuliah semester akhir di fakultas teknik sipil sebuah perguruan tinggi swasta di perbatasan Jakarta Selatan. Perempuan Jawa berwajah lembut yang sempat mengisi hatinya selama hampir setahun, sebelum Bima mengetahui rencana ibunya untuk menjodohkannya dengan salah satu paribannya.Padahal hubungannya dengan Shinta sudah telanjur jauh. Sewaktu Bima tak kuasa menolak permintaan ibunya itulah, ia pun baru mengetahui bahwa Shinta tengah berbadan dua.
“Aku hamil,” kata Shinta saat itu, dengan wajah penuh kekhawatiran.Bima hanya terdiam, tak mampu berkata apa-apa. Bagai makan buah simalakama keadaannya saat itu. Adat menghendaki agar sebagai laki-laki Batak ia pun menikahi perempuan yang berasal dari suku yang sama. Jadi akan sangat menyalahi aturan jika ia sampai menikahi Shinta, apalagi ditambah perbedaan keimanan antara mereka berdua.
Pengecut memang, karena Bima kemudian lebih memilih untuk menuruti kehendak orang tuanya. Shinta memang tidak menuntut Bima untuk menikahinya, namun tentu saja Bima sangat tahu perasaan perempuan itu. Perasaan bersalah begitu menderanya, kala ternyata secara mendadak pihak keluarganya membawa Bima pulang ke Medan, tanpa sempat ia memberi kabar kepada perempuan yang sedang mengandung anaknya itu.
Setiba di Medan, Bima memang segera dinikahkan dengan Tere, pariban yang disodorkan keluarga untuknya. Seperti kerbau dicocok hidung, Bima hanya bisa mengikuti saja. Selama kurang lebih setahun Bima tinggal di kota kelahirannya itu, sebelum kemudian pada tahun berikutnya ia kembali ke Jakarta, memboyong Tere dan kedua anak kembarnya yang baru berusia beberapa bulan.
Selama di Medan, Bima bukannya tak peduli dengan Shinta. Dicobanya menghubungi perempuan itu lewat telepon, tapi jawaban yang ia dapat dari keluarga Shinta hanyalah kemarahan. Begitu juga melalui beberapa teman yang dikenalnya.Namun sepertinya Shinta menghilang begitu saja, bagai ditelan bumi.
Dan kini, perempuan itu ada di hadapannya. Penampilannya masih seperti dulu.Ayu. Garis kematangan yang menggurat di wajahnya justru menambah pesonanya.Beruntung, para tamunya tak punya waktu berlama-lama di tempat itu dan segera berpamitan. Membuatnya bisa segera menghampiri Shinta yang tengah asyik menikmati sushi-nya sendirian.Hingga tak sadar ada sepasang mata yang sedari tadi memperhatikannya, lalu menghampirinya.
“Boleh saya temani..??” sapa Bima kepada perempuan itu, sambil tersenyum. Shinta terlihat sangat terkejut mengetahui kehadirannya.Dengan tatapan yang mendadak terlihat garang.Kemarahan sepertinya masih terbekap di mata perempuan itu, namun cepat bisa dikuasainya.
“Apa kabar, Bim..??” tanya Shinta, dengan ekspresi dingin. Tak lama kemudian meluncurlah cerita-cerita perih masa ia kehilangan jejak perempuan itu, yang setelah diketahui hamil tanpa ada yang mau bertanggung jawab kemudian dinikahkan keluarganya dengan salah seorang kerabat jauhnya. Belakangan baru Shinta tahu bahwa laki-laki itu ternyata adalah seorang junkies. Pada masa kehamilannya, Shinta banyak mendapat kekerasan fisik dari suaminya yang sering pulang dalam keadaan mabuk, dan kemudian mengakibatkan pendarahan yang menyebabkan ia kehilangan bayinya. Laki-laki itupun lalu tewas beberapa tahun yang silam karena overdosis.
Ingin rasanya Bima bersimpuh mohon ampun kepada perempuan yang sampai detik ini masih sangat dicintainya itu.Memeluk erat seperti dulu agar tak ada lagi yang bisa melukainya.Gayung pun bersambut.Shinta meminta Bima untuk mengantarnya pulang.
Di jalan menuju rumah Shinta di Pamulang, mendadak ada sebuah taksi putih menyalip mobilnya.Terbaca oleh matanya, nomor taksi itu. JM 1300. Kode yang sepertinya sengaja diminta untuk ia pecahkan. Entah kenapa, seperti ada suara yang berbisik di telinganya, mengurai arti dari huruf dan angka yang dibacanya itu. “Jauhi masalah, atau kau akan sial selamanya,” begitu kata suara itu. Namun suara itu sama sekali tak diindahkannya, tenggelam dalam kegirangannya bertemu lagi dengan Shinta, Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam sejarah perkawinannya, Bima tidak kembali ke rumahnya semalaman dan dengan sengaja mematikan telepon selularnya.
Menjelang siang, Bima terbangun.Tak lagi dilihatnya Shinta, hanya secarik kertas di samping tempat tidur yang memberitahukan bahwa sarapan sudah disediakan di meja makan.Ia hanya meneguk secangkir kopi susu, lalu segera mandi dan bergegas pulang. Sudah disiapkannya sejuta alasan yang akan diajukannya kepada Tere sebagai alibi kepergiannya yang tanpa kabar.
Selagi di perjalanan kembali ke rumah itulah, baru dinyalakannya lagi telepon selulernya.Ada sejumlah pesan pendek yang berderetdari Tere. Sama sekali tak dibukanya, karena ia sudah tahu isinya pasti hanyalah makian saja. Namun ada satu pesan yang menarik untuk ia buka. Dari Shinta. Yang isinya ternyata sangat mengagetkannya.
“Welcome to the AIDS Club, Bima.. Kau pantas mendapatkannya, karena kau sudah membuat aku terpaksa menikahi seorang junkies yang membuatku mengidap penyakit ini..”
Ruang Hitam Putih, 1 Desember 2011
Inspiring by :Waktu Tersisa – Kla Project
Sumber: kompas, 3 Desember 2011
03 Desember 2011
JM 1300
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar