Petani Nasibmu Kini
Kau semakin terpuruk, di diperbudak kapital Nasibmu kini bagaimana kamu
Apakah engkau ikut atau berdiam di kearifan Menjunjung semestamu sendiri Menguak kekayaan diri Lalu menikmati
Bukankah itu yang kita cari?
Engkau begitu kaya, tapi mengapa tak jua kau tampakkan? Apakah keringatmu hanya untuk orang? Sehingga kearifanmu di biarkan menghilang
Apakah karena darah tak mengalir? Engkau tak sakit atau engkau tak merasa? Padahal luka-luka sungguh mendalam Yogyakarta, 6, Agustus, 2011
Daun Emas
Kau terlena pada setumpuk uang nyata Membiarkan yang lain meluka
Kini, mimpi Tinggal nama yang terlukis indah di sana Ia menjadi memori di samping cermin besar Berkaca melihat setumpuk di depan mata
Berhamburan senyum sinis melukis daun-daun Sesekali kekayaan menjadi raja dan tak henti-henti bertadabur meminta Walau sejarah kelam bersisa marah dan luka Daun emas ternyata harapan masa ketika bermimpi
Yogyakarta, 8, Agustus 2011
Tepuk Tangan
29/7/11 Malam menggemah Lampu-lampu menyinari perselingkuhan gelap Kata-kata menyerbu dari sudut-sudut cakrawala
Kata untuk para petinggi: Bangsaku di jual; kau tepuk tangan Rakyatku di gadai; tepuk tangan Petani hancur; tepuk tangan Rakyat lapar; kau tepuk tangan
2/8/11 Hidup memang beda Aku hanya menyampaikan Bunyi tepuk tangan Yang melukai semesta
Aku ingin saja melukiskan, kesakitan-kesakitan Lalu, kubuang, entah kemana
Pertemuan sungai-sungai saling menyapa Tentang api dan puisi dan lautan harus menjawabnya
Kuikuti bunyi, sunyi yang tak pernah di huni Bunyi itu seperti percikan petir, meruntuhkan
3/8/11 Apakah masih di rahim bangsa? Sehingga tak kenal waktu dan pikiran
Aku duduk menghadap selatan Terdengar tepuk tangan lucu, menggores malam
Senja, senja yang sebenarnya Aku menyebar satu bungkus nasi buat tukang becak Terima kasih, sambutnya Sambil teriring senyum kebahagiaan
10/8/11 Sunyi sebenarnya Memperpanjang gelisah mengusai luka Bagaimana nasib niat Yang satu tahun ingin mendamaikan semesta masa?
Masa dimana aku harus bersanding dengan rembulan Dalam waktu yang utuh
11/8/11 Hausku menggersangkan cakrawala Lukuku darah menbanjiri semesta Gelisahku imaji memasuki lekuk kata Diriku ladang menghidupi puisi
Aku berharap pohon puisi hijau, sejuk dan berbuah Dan ditepian kata aku duduk menikmati keindahannya
Hausku tumbuh dari benih musim Lukaku tumbuh dari benih masa Gelisahku lahir dari gumpalan airmata yang bernama luka
Tak ada yang subur dengan airmata Kecuali kata-kata dan tepuk tangan penguasa
Tepuk tangan adalah racun rahasia Engkau bertepuk tangan, karena kearifan kalah oleh capital
Yogyakarta, Juli-Agustus 2011
Gapura-Kalianget
Mengingat Hj. Mariyam Aisyah
Gemetar kata Semerbak rasa Membentur malam menghisap kematian
Suara angin kencang Membawa awan, meliuk seperti ular Malam terakhir Aroma bunga menyebar wangi
Berhamburan isak tangis batin Mengisi langit Membuat rumah dari nafas-nafas matahari Beratap bulan, beralaskan malam Sunyi, tapi menderang Sendiri, tapi tenang Sumenep, 2011
*Penyair, lahir di desa Banjar Barat, Gapura, Sumenep. Aktif menulis di media massa baik lokal maupun nasional. Buku antologi bersamanya adalah “Puisi Menolak Lupa” (2010) “Madzhab Kutub” (2010) dan Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan 2010 Dewan Kesenian Jatim. Kini tinggal di Yogyakarta.
Sumber: Kompas, 8 Oktober 2011
10 Oktober 2011
Sajak-Sajak Matroni el-Moezany
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar