Cerpen: Endah Raharjo
Selembar kartu nama warna putih tulang tergeletak di atas meja jati bundar berpelitur hitam. Sepasang mata membaca nama yang tertulis di atas kertas itu. Gigi tonggos sedikit mengintip di balik senyum sinis yang terukir di bibir yang terpoles lipstik merah jambu.
“Asistennya menunggu di luar, Mak.” Darto memberi tahu perempuan yang hanya duduk diam memandangi kartu nama yang terbuat dari kertas mahal itu. “Orangnya ada di dalam mobil. Katanya dia perlu bantuan Emak untuk menemukan laptopnya yang dicuri tadi malam. Kalau Emak mau, Emak akan diajak ke kantornya untuk bicara. Dia menyebut ratusan juta.”
Perempuan berpakaian sewarna bulu burung kepodang yang dipanggil Emak itu tetap tidak bergerak. Matanya terpaku pada kartu nama di atas meja kerjanya. Darto tak berani bersuara lagi. Sikap Emak yang diam itu pertanda kurang baik. Ia sedang berpikir keras dan tak ingin diusik.
“Bilang aku sedang tidur dan tak seorangpun berani membangunkanku.” Kibasan tangan kiri perempuan itu menjadi isyarat pada Darto agar ia cepat keluar dari ruangannya. Tubuh tinggi besar berotot itu segera menghilang di balik pintu. Sebagai tangan kanan, Darto akan melakukan apa saja untuk perempuan itu. Selain Darto, masih ada empat orang lainnya. Berlima mereka bergiliran menjaga majikan perempuan yang dikenal oleh setiap penghuni dunia hitam sebagai Emak. Semua copet, jambret, maling dan preman di kota itu takut pada Emak.
“Dasar pengecut!” gerutu Emak. Tangan kirinya meraih kartu nama itu, lalu menyobeknya menjadi kepingan-kepingan kecil yang ia sebar di bawah meja. Sobekan-sobekan kertas yang melayang jatuh itu mengingatkannya pada hatinya yang patah berkeping-keping hampir 30 tahun lalu.
“Bersihkan!” perintahnya pada perempuan muda yang sedari tadi duduk menunduk bagai pajangan di pojok ruang.
Yogi Sukmajaya. Si ganteng kaya dan populer itu tak menganggap Sugirah ada. Andai saja wajahnya secantik Farah, tubuhnya seindah Triana, rambutnya setebal dan sehitam Vina dan orang tuanya sekaya orang tua Pipit, mungkin Yogi senang berteman dengannya.
Namanya saja sudah memancing ledekan teman sekelasnya. Belum kepalanya yang terlalu besar dibandingkan dengan tubuh kecil-pendeknya; membuat orang menjulukinya gonteng. Setiap kali mata Yogi bertemu dengan matanya, remaja ganteng itu membuang muka, lalu meludah jijik. Namun Sugirah tak menyerah, ia tetap berharap suatu hari pujaannya itu akan memberinya senyum yang indah.
Suatu pagi, Yogi tiba di gerbang sekolah bersamaan dengannya. Sugirah berniat menyapa, namun lelaki yang menjadi rebutan para gadis di sekolahnya itu mendorongnya hingga tubuh pendeknya terjengkang, jatuh di atas genangan air hujan. Seragamnya dipenuhi lumpur. Sepanjang hari ia menjadi bahan olok-olok teman-temannya. Kenyataan itu harus ia telan meskipun lebih pahit dari brotowali. Semenjak peristiwa itu, setiap pagi ia bangun dengan hati penuh dendam akibat rasa marah yang tak tertuntaskan.
Pagi itu, sekitar pukul 6.30, dengan wajah cemberut Sugirah mengayuh sepeda bututnya ke sekolah. Suasana kampung di pinggiran kota saat itu masih sepi, tak ada sepeda motor, apalagi mobil berseliweran seperti saat ini. Semua orang, pelajar dan pegawai, mengendarai sepeda. Pelajar yang kaya naik sepeda mini warna warni. Yang perempuan mengayuh bangga sepeda mereka yang dilengkapi keranjang di atas roda depan. Namun Sugirah hanya mengendarai sepeda tua yang warna hitamnya sudah pudar.
Seperti biasa, Sugirah bersepeda sendiri, jauh di belakang teman-temannya yang beriringan dalam rombongan kecil-kecil, berdua atau bertiga, berceloteh dan tertawa-tawa. Rambut tipisnya yang membuat kepalanya terlihat makin besar melambai tertiup angin pagi. Sepasang kakinya yang pendek susah payah mengayuh pedal. Kulit wajahnya yang sawo matang berkilat tertimpa sinar matahari pagi. Dua matanya yang kecil, menyipit menahan silau. Bibirnya yang ungu dan kering sedikit terbuka, memasukkan udara ke paru-parunya, memamerkan gigi tonggosnya.
Ketika hendak berbelok ke jalan raya, remaja itu mendengar rintihan dari selokan di sebelah kiri jalan. Karena penasaran, ia berhenti. Sepeda ia sandarkan ke pohon kelapa, lalu pelan-pelan kepala gontengnya ia longokkan ke selokan. Sesosok tubuh gempal terlihat meringkuk di sela-sela semak rimbun yang tumbuh di tepiannya. Ada bercak-bercak darah berlepotan di punggungnya yang tertutup singlet dekil. Jantung Sugirah berdebar-debar. Siapakah orang ini, tanyanya dalam hati.
“Pak….” Takut-takut Sugirah menyapa. Lelaki itu diam saja. “Pak….” Lelaki itu pelan-pelan mendongak. Dilihatnya kepala gonteng Sugirah lewat semak-semak. Ia lega. Anak sekolah, pikirnya. Semoga ia tidak berteriak, doanya. “Tolong saya, Nduk,” rintihnya.
Sugirah menengok sekelilingnya yang mulai sepi. Teman-temannya sudah tak terlihat lagi, sementara para pegawai belum berangkat kerja. Tiba-tiba saja ada kekuatan yang membuatnya mengulurkan tangan menyibak semak. Kini ia bisa melihat kepala lelaki itu, rambut keritingnya penuh darah kering. Sekali lagi lelaki itu mendongak, matanya yang bulat hitam bertemu dengan mata kecil Sugirah.
“Tolong saya, Nduk,” rintihnya lagi. “Saya jatuh dari pohon kelapa itu.” Lelaki itu berbohong.
“Saya akan minta tolong orang kampung, Pak.” “Jangan, Nduk. Jangan….” “Saya….” “Pergilah ke Pasar Pon, carilah orang bernama Karjo Gemblung, katakan kalau aku jatuh dari pohon kelapa, di selokan ini. Namaku Freddy. Cepatlah, Nduk.”
Tanpa berpikir lagi, Sugirah meninggalkan tempat itu untuk menuju Pasar Pon tak jauh dari sekolahnya. Ia tahu telah terlambat masuk sekolah, namun hatinya senang. Ia dibutuhkan orang. Selama hidupnya, jarang ada orang yang mau mengajaknya bicara. Untuk apa ke sekolah kalau hanya menjadi bahan ledekan saja. Untuk apa bertemu Yogi, kalau ia tak menyadari kehadirannya. Kalau saja ada tempat tujuan lain, ia pasti akan membolos sekolah setiap hari.
Seminggu kemudian, Sugirah berhenti sekolah. Ia menjalin persahabatan dengan Freddy si germo dan sang raja judi, lelaki yang berhutang nyawa padanya. Freddy punya toko kelontong di kota. Sugirah bekerja di sana. Di belakang toko itulah ia mengoperasikan bisnis yang sesungguhnya. Setiap hari belasan orang dari berbagai kota mendatangi toko Freddy untuk berjudi. Supaya tidak mencolok, mereka datang berjalan kaki.
Orang tua Sugirah tak kuasa menahan anaknya. Sugirah muda belajar berbagai ilmu pada guru barunya yang menganggapnya sebagai hoki. “Aku disediakan kamar di sana, Mbok. Kamar yang bagus, dindingnya tembok, lantainya tegel hijau.”
Sejak itu, Sugirah tak pernah pulang. Ia dianggap anak hilang.
Freddy memperlakukan Sugirah secara istimewa. Semua anak buahnya wajib menghormati remaja buruk rupa itu. Bisnis judi milik Freddy berkembang pesat. Sugirah belajar dengan cepat.
Dua puluh tahun kemudian Sugirah menjadi ratu dunia hitam di kotanya. Emak adalah panggilan kehormatannya. Perjudian, pelacuran, pencucian uang dan penadahan barang-barang curian hanya sebagian dari lahan bisnisnya. Para pembesar kota sering minta perlindungan Sugirah dari musuh mereka. Polisi tak ada yang berani menangkapnya karena atasan mereka menjadi pelanggannya.
“Gimana? Dia mau bantu?” Yogi penuh harap. Kalau perempuan itu tidak bersedia menemukan laptopnya yang hilang, nama baiknya terancam hancur dan pencalonannya sebagai walikota pasti gugur. “Tidak tahu, Boss. Dia sedang tidur. Centengnya tak ada yang berani membangunkan.” “Dasar bodoh! Mestinya kamu bilang kalau aku mau bayar ratusan juta!” “Sudah, Boss. Mereka tetap tidak berani.” “Kita pergi. Akan saya kirim orang untuk membujuknya.”
“Darto! Temukan laptop itu sebelum gelap!” “Baik, Mak.”
Matahari belum sepenuhnya hilang dari lengkung langit ketika Darto meletakkan sebuah laptop di atas meja jati bundar.
“Panggil Zebra!” Lelaki kecil kurus jago komputer yang dipanggil Zebra itu terbirit-birit di belakang tubuh Darto yang kekar. “Ada perintah apa, Mak?” “Lihat isinya. Pasti ada yang berharga ratusan juta.” Sugirah tertawa senang.
Hanya dalam hitungan menit, Zebra berhasil menemukan sesuatu. Laptop ia putar agar Sugirah bisa melihat gambar yang terpampang di layar.
Mata Sugirah terbelalak, mulutnya terbuka lebar. Tiba-tiba dendam di hatinya kembali membara. Ini adalah saat yang tepat untuk membalas sakit hatinya.
“Sebarkan!” Perintah Sugirah pada Darto, disusul ledakan tawa membahana. Tubuh pendeknya berguncang-guncang, kepala gontengnya bergoyang-goyang. Sugirah terlihat seperti mainan anak-anak yang bisa melompat-lompat naik turun bila tombol di punggungnya diputar-putar.
Tabir malam belum sepenuhnya terkuak saat Darto tergopoh-gopoh menenteng koran pagi. Di halaman depan tertulis besar-besar berita skandal seks sejenis yang dilakukan oleh sang calon walikota Yogi Sukmajaya, lengkap dengan foto-foto sebagai bukti.
Endah Raharjo, tinggal di Jogja. Cerita-cerita lainnya dapat dibaca di sini: http://www.kampungfiksi.com
Sumber: Kompas, 3 Oktober 2011
06 Oktober 2011
Bara Dendam
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar