Judul : Tarian di Ranjang Kyai
Penulis : Yan Zavin Aundjand
Tebal : 242 halaman
Terbit : Juli 2011
Penerbit : Azhar Risalah Kediri
Harga : Rp 30.000
Oleh: Muhammad Arif
Jika ingin membaca dan memahami kejadian-kejadian besar atau kisah-kisah besar, maka janganlah membaca novel atau karya sastra lainnya. Novel dan karya sastra lainnya adalah taburan kata-kata imajinasi yang mengejawantahkan realitas-realitas kaum termarjinal dan "tidak penting". Namun, justru di sinilah letak kehebatan novel dan karya sastra lainnya. Karena dengan demikian, hal itu telah menunjukkan bahwa novel dan karya sastra lainnya berangkat dari kepedulian dan dapat menggugah kepedulian. Bahkan lebih efektif daripada karya ilmiah, mengingat novel dan karya sastra lainnya mendeskripsikan realitas lebih dekat, menyentuh, detail, dan tidak membutuhkan banyak analisis untuk memahaminya sehingga tidak terkesan hanya milik para akademisi.
Atas dasar itu, saya pun mengundang pembaca sekalian untuk membaca novel Tarian di Ranjang Kyai karya Yan Zavin Aundjand ini. Apa daya tarik novel ini?
Di tengah banyaknya sastrawan Madura yang membahasakan kebudayaan Madura dalam karya-karyanya, novel karya Zavin, panggilan akrabnya, ini tidaklah kemudian menjadi basi atau kurang menarik. Tidak seperti kebanyakan karya sastra yang berkisah tentang Madura lainnya, yang hampir semua bercerita tetang keganasan, kekerasan, dan carok, novel ini menceritakan tetang sisi lain dari itu. Novel ini mengisahkan bahwa Madura tidaklah melulu keras dan ganas. Masyarakat Madura juga romantis, memiliki kelembutan dan budaya-budaya lain yang lebih menarik dari sekadar budaya carok, seperti mistisisme kyai (kiai), merantau, dan nikah di usia dini. Dengan membaca novel ini, Anda akan diajak untuk melihat Madura dari perspektif yang relatif baru.
Novel setebal 242 halaman ini mengisahkan tentang seorang perempuan Madura bernama Nisa yang harus menikah di usia dini, bahkan dengan saudara tirinya sendiri, yaitu Misnadi. Selang beberapa bulan setelah pernikahan mereka, Misnadi pun memutuskan untuk merantau ke Kalimatan karena merasa sepetak tahan warisan orangtua mereka tidak cukup untuk membiayai kebutuhan hidup mereka. Misnadi terinspirasi pada beberapa tetangganya yang ternyata sukses di perantauan.
Namun, bayangan Misnadi tetang dunia perantauan ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Selama di perantauan dia hanya menjadi pekerja tidak tetap, kadang jadi pemulung, kadang juga jadi kuli bangunan. Alhasil hanya kerinduan pada keluarganya yang dia dapatkan. Ingin pulang gengsi karena masih belum bisa sukses di perantauan.
Akhirnya kerinduan yang mendalam memaksanya pulang meski masih belum sukses. Sayang, kerinduannya tidak terobati ketika sampai di rumah. Di awal memang sedikit terobati, tetapi setelah itu pertengkaran terus mewarnai hari-hari Misnadi dan Nisa, lantaran Nisa mencium aroma perselingkuhan Misnadi di perantauan dan kedatangan Misnadi yang tidak membawa hasil. Inilah yang terus terjadi di antara mereka setiap Misnadi pulang dari perantauan. Hingga saat Misnadi pulang untuk ketigakalinya, Misnadi pun merasa tidak tahan lalu memutuskan kembali ke perantauan tanpa izin istrinya dan bertekat tidak akan pulang sampai dia sukses di perantauan.
Bersamaan dengan kepergian Misnadi itu, tersiar kabar bahwa ada sebuah kapal menuju Kalimantan yang tenggelam. Misnadi pun dikabarkan telah meninggal dalam peristiwa tersebut. Nisa tidak langsung mempercayai itu, dia terus saja menunggu suaminya, meski saat di hadapan suaminya benci selalu menyelimuti hatinya. Namun, setelah sekian minggu menunggu, ternyata Misnadi tidak pernah memberi kabar, hingga akhirnya diapun menggelar tahlilan untuk suaminya.
Beberapa bulan setelah peristiwa itu, Nisa bersama tetangganya memutuskan untuk mengonsultasikan masalahnya kepada tokoh masyarakat setempat yang bernama Kiyai Selamet. Pertemuan inilah yang kemudian membawa Nisa menjalin hubungan diam-diam dengan sang kiyai, hingga kemudian Nisa pun hamil. Namun, Nisa hamil tidak wajar karena dia hamil selama 16 tahun. Bagaimanakah kisah selanjutnya? Anda bisa menyimaknya dalam novel ini. Selamat membaca.
Sumber: Kompas, 24 Spetember 2011
24 September 2011
Madura Bukan Sekadar Carok
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar