Darmadi (46) menggenggam batu berbentuk hampir bulat berukuran
sekepalan tangan. Batu itu berwarna kecoklatan. Sebagian terkelupas
sehingga menampakkan warna putih dengan tekstur butir yang kinclong.
Itulah sebagian dari fosil yang menghidupi warga Sangiran secara
sembunyi-sembunyi. Sri Rejeki
Ini bukan sekadar
batu, tetapi fosil garam laut. Bentuknya yang bulat bisa diolah perajin
sebagai tengkorak manusia. Ditambah serbuk fosil, akan mirip fosil
asli,” kata Darmadi, warga Kampung Sangiran, Desa Krikilan, Kecamatan
Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, pekan lalu.
Bukan
rahasia lagi, fosil seakan menjadi ”barang tambang” di Sangiran. Tanah
Sangiran yang tandus membuat pertanian kurang memberi harapan untuk
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Keberadaan fosil yang mengandung
nilai ekonomis memantik niat warga setempat berkeinginan mengeksplorasi
dan mengeksploitasinya.
Seiring penerapan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, kegiatan perburuan dan jual-beli
fosil perlahan berkurang atau setidaknya dilakukan sembunyi-sembunyi
karena termasuk perbuatan melanggar hukum. Sebagai gantinya,
berkembanglah kerajinan dari batu alam dan serpihan fosil,
seperti batu akik, biji tasbih, patung primitif, kapak, trisula, atau
telur. Ada juga yang membuat tiruan fosil. Terbitnya UU No 11/2010
tentang Cagar Budaya—sebagai revisi atas UU No 5/1992—membuat warga
tidak bisa sembarangan menggali tanah untuk mencari batu alam atau
menambang pasir meski itu lahannya sendiri. Harap maklum, aktivitas
penggalian berisiko mengubah bentang alam. Meskipun berupa serpih kecil dan nilainya rendah, fosil juga tidak mudah diolah sebagai bahan baku kerajinan.
”Sebenarnya
kami tak ngotot harus mengolah fosil atau batu alam, asalkan ada
alternatif mata pencaharian lain, misalnya batik, konveksi, atau
kerajinan lainnya yang bisa meningkatkan kesejahteraan. Namun, warga
butuh pelatihan dan modal dan sampai sekarang belum kami dapatkan.
Kalaupun ada, baru diterima orang-orang tertentu yang itu-itu saja,”
kata Darmadi.
Ada 75 perajin yang tergabung dalam
kelompok-kelompok kecil di bawah Kelompok Ekonomi Kreatif Sangiran. Di
bawah Koperasi Pedagang Suvenir Museum Sangiran, ada 35 pedagang yang
menempati 19 kios di samping museum. Ketuanya, Bambang Sugiyanto,
mengeluhkan posisi kios yang membuat pengunjung enggan singgah. Bagi
warga seperti Bambang, istilah warisan budaya seharusnya membuat
warisnya leluasa memanfaatkan apa yang diwariskan kepadanya.
Ketua
Kelompok Perajin Batu Indah Bertuah Sangiran Giyoto (44) mengatakan, 12
perajin di kelompoknya kesulitan menembus pasar di Museum Sangiran.
Sebagian produk mereka juga kalah bersaing dari produk serupa dari
Tulungagung, Jawa Timur. Batu dari Tulungagung relatif kuat dan tidak
mudah pecah dibandingkan dengan yang di Sangiran.
”Kami bisa saja
bikin seperti yang di Tulungagung, tetapi kendalanya ketiadaan mesin
peralatan. Bantuan selama ini alat sederhana. Itu pun lima tahun
sekali,” kata Giyoto.
Adapun Suwarmi (47), pengusaha konveksi,
mengeluhkan produknya tidak bisa menembus kios di Sangiran karena
pedagang lebih suka mengambil barang dari Solo yang harganya lebih murah
dan desainnya dinamis. Boleh dikatakan hampir seluruh kelompok
masyarakat, termasuk kelompok yang selama ini dipandang sudah mendapat
keuntungan, menyuarakan ketidakpuasan.
Kepala Desa Krikilan Widodo
mengatakan, warga desa sejauh ini masih sebagai penonton. Penjualan
tiket museum, retribusi parkir, dan toilet yang dikelola Dinas
Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Sragen menyumbang
pendapatan asli daerah (PAD) dan kas daerah yang tak kecil. Namun,
kondisi jalan raya yang melintasi desa itu rusak berat, bertolak
belakang dengan kemegahan kondisi Museum Manusia Purba Sangiran. Kas
desa tidak mendapat satu sen pun dari pengelolaan museum.
Kepala Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran (BPSMPS)
Harry Widianto mengatakan, sesuai nota kesepahaman pengembangan kawasan
Sangiran, dana pembangunan museum ditanggung APBN melalui BPSMPS
senilai Rp 150 miliar. Adapun promosi dan pemberdayaan masyarakat
ditangani Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Infrastruktur dan penyediaan
lahan ditangani pemerintah setempat.
Pihaknya telah merekrut warga
setempat untuk jadi pengelola museum. Meskipun persentasenya belum
banyak, dari 80 pegawai, sebanyak 23 orang merupakan warga sekitar.
Penyempurnaan museum mendorong peningkatan pengunjung. Catatan buku tamu
pengunjung, tahun 2012 museum didatangi 170.000 pengunjung, naik dari
tahun sebelumnya sebesar 60.000 pengunjung. Pihaknya mendapat sepertiga
hasil penjualan tiket yang saat ini besarnya Rp 5.000 per orang, yakni
Rp 140 juta pada 2012 dan Rp 170 juta tahun 2011.
Untuk menekan
pencurian fosil, pihaknya mempercepat proses pemberian imbal jasa,
paling lama dua minggu. Warga yang menyerahkan fosil diberi sertifikat
dan namanya dicatat sebagai penemu. Besar imbalan Rp 250.000-Rp 10 juta
tergantung kualitas fosil. Soal besaran nilai imbal jasa yang
dipertanyakan masyarakat, menurut Harry, pihaknya memiliki standar yang
dapat diakses oleh masyarakat. Imbal jasa yang kecil dan pemberiannya
yang lama dahulu sempat memicu warga lebih suka menjual fosil temuan
kepada tengkulak.
Menurut Harry, pihaknya menyadari pemanfaatan
cagar budaya bagaimanapun untuk kepentingan masyarakat. Pihaknya
berjanji kelak masyarakat akan lebih dilibatkan dalam pengembangan
kluster-kluster yang akan dibangun di Dayu, Bukuran, dan Ngebung dalam
aspek perekrutan tenaga kerja, pasar suvenir, dan pengelolaan homestay.
Kepala
Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Sragen
Harjuno Toto mengatakan, pihaknya merasa sudah melibatkan masyarakat.
Pengelolaan parkir di luar area museum ke depan akan dibicarakan dengan
pihak desa dan karang taruna setempat.
”Kami juga sudah memberi
pelatihan kerajinan batu yang dijual di museum dan kerajinan batok
berupa kancing baju yang dipasarkan ke Solo, Yogyakarta, dan Bali,” kata
Harjuno.
Rata-rata pengunjung museum 5.000 orang per bulan.
Kontribusi Museum Sangiran terhadap PAD tahun 2012 sebesar Rp 800 juta,
sedangkan untuk tahun ini ditingkatkan targetnya menjadi Rp 1,01 miliar.
Dikatakan Harjuno, pihaknya berjanji akan lebih meningkatkan
keterlibatan masyarakat dengan membuka lahan parkir baru. Wacana tentang
pembangunan terminal yang dilengkapi dengan pusat suvenir dan kuliner,
menurut dia, juga akan dipertimbangkan.
Diperlukan komitmen untuk
mau mendengar keinginan masyarakat dan memberi peran optimal kepada
mereka. Bukankah upaya pelestarian lebih efektif jika melibatkan
masyarakat?
Sumber : Kompas, 16 Maret 2013
18 Maret 2013
Wajah Kontradiktif Sangiran
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar