Cerpen: Endah Raharjo
Mestinya aku tak meminta Arman menemaniku minum teh pada petang ini.
Kupikir ia akan jadi teman ngobrol yang menyenangkan, seperti biasanya
bila kami berjumpa. Nyatanya aku hanya menjadi pendengar, selama satu
jam teronggok diam di kursi rotan, serupa patung penghias sudut ruang.
Tiga hari ini aku
di Kuala Lumpur, bersama dua teman kerjaku, membahas hasil penelitian
kami dengan lembaga mitra yang sama-sama bergerak di bidang peace building dan resolusi konflik. Meskipun berjauhan, aku dan Arman biasa bertukar cerita soal apa saja. Kami rajin saling berkirim surel.
Hampir
satu jam lelaki jangkung berkulit sawo matang, bermata bulat, dan
berambut jabrik disisir ke atas itu tumpah ruah memuji kekasihnya, yang
katanya cantik, mulus, baik hati, manis budi, cemerlang, pintar, dan
mandiri.
“Bila punya sepasang sayap ia pasti jadi malaikat,” cetusku.
“Oh! Pastinya. Ia memang malaikatku!” Arman nyaris bersorak.
“Kamu bisa berhenti bicara tentang pacarmu, nggak? Atau aku pergi?” ancamku, siap-siap bangkit dari kursi.
“Ouch!” serunya, menutup mulut, berlagak menyesal. “Sampai kapan kamu di sini?” tanyanya. Akhirnya ia sadar aku juga ingin bicara.
“Seharusnya dua hari lagi pulang. Tapi tugasku diperpanjang tiga hari. Bossku, Pak Brandon, masih di Frankfurt. Ada urusan mendesak. Mestinya ia mampir KL untuk membahas proyek berikutnya. Tapi istrinya tadi pagi sudah tiba.Jam 7 ini aku harus ke hotelnya. Bossku nitip dokumen,” jelasku, menengok arloji.
“Aku pingin banget ngenalin kamu ke Puspa,” kembali Arman menyebut malaikatnya. “Besok malam kamu ada acara?” tanyanya.
“Belum tahu. Mungkin mau makan di KL Tower. Kayaknya Pak Howard mau ngundang kami makan di sana,” ujarku.
“Belum tahu. Mungkin mau makan di KL Tower. Kayaknya Pak Howard mau ngundang kami makan di sana,” ujarku.
Pak
Howard adalah ketua lembaga mitra kami, Center for Research on
Conflicts, Peace Building, and Negotiation. Aku tak mau menyia-nyiakan
kesempatan makan malam di restoran berputar di puncak KL Tower itu. Meskipun terjangkau, buffet dinner di
sana tarifnya cukup mahal untuk standarku. Lagi pula aku tak bisa
membayangkan berada di antara Arman dan malaikatnya itu. Kalaupun kami
batal diajak makan, aku pilih jalan-jalan sendiri menikmati lelampu dan
keramaian di kawasan Bukit Bintang.
“Ah! Mungkin ada baiknya aku ajak Puspa makan di KL Tower juga. Tolong kasih kabar, ya….” Sepasang mata bulatnya melebar.
Aku
mendengus. Beberapa menit berikutnya Arman melanjutkan ocehannya
tentang Puspa.“Aaahhh… aku sampai lupa ngasih lihat fotonya!” ujarnya.
Aku
buru-buru berdiri. “Nggak usah, Arman. Orangnya pasti lebih cantik dari
ceritamu. Besok aja…. Aku harus cepet-cepet nemui istri bossku.”
Kutinggalkan Arman yang sibuk mencari koleksi foto dari tabletnya.
Sebelum keluar pintu café, masih sempat kulihat lelaki 30 tahun itu
tersenyum-senyum sendiri, mungkin gemas menatap foto-foto kekasihnya.
Aku
jadi ingat masa-masa kuliah dulu.Sesama mahasiswa sering bercanda,
kalau ada yang jatuh cinta dunia terasa milik berdua, manusia lainnya
entah ngungsi entah pindah ke planet lainnya.Arman sedang menikmati
masa-masa itu.Meskipun bosan dengan repetannya tentang Puspa – indah
sekali namanya – aku ikut bersyukur. Sudah lama Arman berangan-angan
punya pacar yang pekerjaannya membawanya keliling dunia. Katanya asyik.
Meskipun terpisah, mereka bisa berkencan pindah-pindah negara.
Empat
bulan lalu cinta mereka berawal di Perth. Tiga minggu berikutnya mereka
berkencan dua malam di Jakarta. Dua minggu kemudian sepasang merpati
itu terbang ke Bangkok, menyewa boat menyusuri sungai Chao Phraya. Lalu
ada tiga-empat kota lagi yang ia sebutkan tadi, aku lupa. Pada kencan
kali ini mereka akan menghabiskan dua malam di sebuah hotel bintang lima
di kawasan Bukit Bintang, tak jauh dari mal Pavilion.
Pertemuan
mereka hanya singkat-singkat, satu sampai tiga malam.Namun kata Arman
panasnya mampu menghangatkan hati mereka sampai berminggu-minggu, hingga
ke saat kencan selanjutnya.Kuseka keringat yang meleleh di
jidatku.Bukan cuma udara lembab dan panas, cerita Arman ikut
membakarotakku.Tak sadar langkahku telah membawaku ke halaman depan
hotel tempat istri bossku menginap.
“Arini… Apa kabar?” Bu Triana,
istri bossku, beranjak dari sofa di sudut kanan lobi, menyambutku
ramah. Keelokan perempuan tanpa anak itu selalu berhasil memukauku.Kalau
belum pernah melihat fotokopi paspornya, aku tak bakal mengira usianya
dua bulan lagi genap 40 tahun. Tak ada orang yang akanrambangjika ia
mengaku baru saja lulus sarjana. Banyak staf kantorkami – yang pernah
bertemu dengannya – curiga ia memakai botox, atau semacamnya.
Setelah
berbasa-basi sebentar, ia menyerahkan dokumen titipan suaminya. “Oh,
yaaa…!” celetuknya kenes bagai gadis SMA, “ini… ada oleh-oleh untukmu.
Jangan bilang-bilang Brandon, ya,” tambahnya, menyerahkan tas kertas
mungil warna fuchsia berhias pita.
“Aduuuh… Ibu…!” Kuterima tas
itu, pura-pura tersipu. “Boleh kubuka?” tanyaku tak sabar.Kepala
mungilbermahkota rambut sebahu disemir chestnut itu
melenggutlembut.“Ohhh!” pekikku, memegang sehelai sabuk kulit merah
marun produk Jerman.Sebagai pialang barang-barang antik taraf dunia, Bu
Triana kaya, tak bergantung pada uang suaminya.
Kami berbincang
beberapa menit lebih lama dari semestinya. Sungguh beruntung bossku itu,
pikirku, punya istri 25 tahun lebih muda, cantik, kaya, dan baik hati
seperti ini. Sebelum kami berpisah, sekali lagi ia melarangku cerita
pada yang lain soal oleh-oleh itu. Sambil menyeberangi lobi, pikiran
nakal masuk ke batok kepalaku. Jangan-jangan Bu Triana juga sering
memberi oleh-oleh pada teman-teman kerjaku. Siapa tahu. Ia berpesan
begitu untuk mengambil hatiku, supaya aku mengira diriku istimewa di
matanya.Perempuan seperti dirinya selain ahli memikat hati orang pasti
juga piawai menyembunyikan isi hatinya.Namun untuk apa aku berpikir
buruk begitu? Kuomeli diriku. Ikat pinggang itu cocok dengan gaun yang
akan kupakai besok malam, bila kami jadi diundang makan.Hatiku riang
langkahku ringan.
Keesokannya Arman menelpon.Aku baru usairapat.
“Rin, gimana? Nanti malam jadi ke KL Tower?” suaranya penuh semangat.
“Jadi,” jawabku setengah hati, tak tega berbohong.
“Kami juga mau ke sana. Kita bisa ketemu,” jelasnya.
“Jadi,” jawabku setengah hati, tak tega berbohong.
“Kami juga mau ke sana. Kita bisa ketemu,” jelasnya.
Aku
berpikir sebentar. “Aku tidak janji, Arman. Pak Howard mau ngajak
istrinya.Ini setengah resmi.Tidak enak kalau aku meninggalkan meja untuk
ngobrol dengan kamu dan Puspa….” suaraku menggantung.
“Alaaah… Gampang. Bisa diatur. Pokoknya kamu harus aku kenalin. Kita bisa ketemu di meja desserts apa di ruang yang ada pianonya itu. Nanti aku yang akan keliling cari kamu. Okay. Aku harus pergi.See you at the tower!” Arman mengakhiri pembicaraan.Temanku itu pasti sedang girang bukan kepalang.
“Alaaah… Gampang. Bisa diatur. Pokoknya kamu harus aku kenalin. Kita bisa ketemu di meja desserts apa di ruang yang ada pianonya itu. Nanti aku yang akan keliling cari kamu. Okay. Aku harus pergi.See you at the tower!” Arman mengakhiri pembicaraan.Temanku itu pasti sedang girang bukan kepalang.
**
Sebuah
malam yang tak mungkin kulupakan. Di atas, langit jernih berhias
seminau bintang. Di bawah, Kuala Lumpur bagai kain beludru hitam
bertabur mutu manikam. Kami duduk berlima, di dalam restoran berputar di
lantai teratas KL Tower.Ini kali kedua aku makan di sini, namun
sensasinya tak berkurang.
Bagi teman-teman kerjaku – keduanya
lelaki – ini pengalaman pertama. Salah satunya mengenakan kemeja sutera
yang baru dibeli tadi sore, di salah satu mal di dekat hotel kami. Aku
memakai sesuatu yang baru juga, ikat pinggang oleh-oleh Bu Triana.
Mendapat undangan makan malam di restoran fancy seperti ini selalu
menyenangkan, mengurangi stress akibat pekerjaan.
“Makannya
dikit-dikit dan pelan-pelan aja. Ada banyak makanan buat dihabiskan,”
selorohku pada teman-temanku, saat Pak Howard dan istrinya sedang
mengambil appetizers. Bertiga kami sama-sama meninggalkan kursi,
berpencar menuju meja buffet yang berbeda.
“Arini! There you are!”
“Arini! There you are!”
Arman
berada kira-kira tujuh meja dari meja kami.Aku berjalan melewatinya.Ia
benar-benar membawa Puspa ke sini.Sahabatku itu berdiri. Kulihat piring
kecil berisi beberapa potong salmon segar, irisan lemon, dan sesendok
mayonais. Juga ada dua goblet berisi entah anggur putih entah apa. Aku
tidak minum alkohol jadi aku tak tahu bedanya.
“Wow. Kamu manis
banget malam ini,” senyum Arman terkembang. “Puspa sedang ngambil
makanan. Ayo, kamu harus kukenalkan,” katanya, menghampiriku, merengkuh
pundakku.
“Mungkin dia nggak mau malam kalian terganggu,” alasanku.
“Aaahhh… seperti katamu, dia malaikat tanpa sayap yang senang ketemu semua orang,” cetusnya.
Kami berjalan beriringan.
“Itu… Perempuan bergaun merah itu.Puspa. Malaikatku,” bisik Arman dari belakangku.
“Mungkin dia nggak mau malam kalian terganggu,” alasanku.
“Aaahhh… seperti katamu, dia malaikat tanpa sayap yang senang ketemu semua orang,” cetusnya.
Kami berjalan beriringan.
“Itu… Perempuan bergaun merah itu.Puspa. Malaikatku,” bisik Arman dari belakangku.
Kuakui
ia tidak mengada-ada dengan segala puja-pujinya. Sosok perempuan itu
tidak hanya sexy, tubuh lampainya seolah memancarkan cahaya.Ayunan
kakinya serupa penari, ringan dan gemulai.Rambutnya digelung ke atas,
seikal dibiarkan jatuh melewati telinga kiri, menambah feminin leher
jenjangnya.
Arman mendahuluiku. Aku berhenti sekitar empat langkah
di belakang perempuan yang asyik memilih makanan pembuka itu.Gaun
merahnya menjuntai beberapa inci di atas lutut, mempertontonkan
betisnya. Orang Jawa punya ungkapan yang pas untuk melukiskan betis itu:
ngembang pudak, ramping-berisi-berlekuk sempurna.
Arman menggamit
pinggang ramping malaikatnya, mendekatkan mulutnya ke telinga kirinya,
membisikkan sesuatu dengan mesra. Sang malaikat bergaun merah itu
mengangguk, menoleh ke belakang. Lehernya berlenggok seiring putaran
tubuhnya.Ujung bawah gaunnya berayunseirama gerakan kakinya.
Kini
bisa kulihat wajah cantiknya.Senyumku kuncup seketika. Jantungku sesaat
berhenti berdentang. Perempuan itu sudah kukenal.Kemarin malam ia
memberiku oleh-oleh ikat pinggang.
***
Cerpen karya Endah Raharjo lainnya dapat dibaca di sini: http://endahraharjo.blogspot.com
Sumber: Kompas, 2 November 2012
0 komentar:
Posting Komentar