Pages - Menu

03 November 2012

Malaikat Bergaun Merah

Cerpen: Endah Raharjo

Mestinya aku tak meminta Arman menemaniku minum teh pada petang ini. Kupikir ia akan jadi teman ngobrol yang menyenangkan, seperti biasanya bila kami berjumpa. Nyatanya aku hanya menjadi pendengar, selama satu jam teronggok diam di kursi rotan, serupa patung penghias sudut ruang.

Teman baikku sejak kuliah itu sudah tiga tahun bekerja di Kuala Lumpur, menjadi perancang etalase berbagai authorized reseller barang-barang branded. Tiga bulan lalu ia mengirim surel, katanya sudah ia temukan cinta, pada diri perempuan cantik asal Surabaya.

Tiga hari ini aku di Kuala Lumpur, bersama dua teman kerjaku, membahas hasil penelitian kami dengan lembaga mitra yang sama-sama bergerak di bidang peace building dan resolusi konflik. Meskipun berjauhan, aku dan Arman biasa bertukar cerita soal apa saja. Kami rajin saling berkirim surel.

Hampir satu jam lelaki jangkung berkulit sawo matang, bermata bulat, dan berambut jabrik disisir ke atas itu tumpah ruah memuji kekasihnya, yang katanya cantik, mulus, baik hati, manis budi, cemerlang, pintar, dan mandiri.

“Bila punya sepasang sayap ia pasti jadi malaikat,” cetusku.
“Oh! Pastinya. Ia memang malaikatku!” Arman nyaris bersorak.
“Kamu bisa berhenti bicara tentang pacarmu, nggak? Atau aku pergi?” ancamku, siap-siap bangkit dari kursi.
“Ouch!” serunya, menutup mulut, berlagak menyesal. “Sampai kapan kamu di sini?” tanyanya. Akhirnya ia sadar aku juga ingin bicara.
“Seharusnya dua hari lagi pulang. Tapi tugasku diperpanjang tiga hari. Bossku, Pak Brandon, masih di Frankfurt. Ada urusan mendesak. Mestinya ia mampir KL untuk membahas proyek berikutnya. Tapi istrinya tadi pagi sudah tiba.Jam 7 ini aku harus ke hotelnya. Bossku nitip dokumen,” jelasku, menengok arloji.
“Aku pingin banget ngenalin kamu ke Puspa,” kembali Arman menyebut malaikatnya. “Besok malam kamu ada acara?” tanyanya.
“Belum tahu. Mungkin mau makan di KL Tower. Kayaknya Pak Howard mau ngundang kami makan di sana,” ujarku.
Pak Howard adalah ketua lembaga mitra kami, Center for Research on Conflicts, Peace Building, and Negotiation. Aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan makan malam di restoran berputar di puncak KL Tower itu. Meskipun terjangkau, buffet dinner di sana tarifnya cukup mahal untuk standarku. Lagi pula aku tak bisa membayangkan berada di antara Arman dan malaikatnya itu. Kalaupun kami batal diajak makan, aku pilih jalan-jalan sendiri menikmati lelampu dan keramaian di kawasan Bukit Bintang.
“Ah! Mungkin ada baiknya aku ajak Puspa makan di KL Tower juga. Tolong kasih kabar, ya….” Sepasang mata bulatnya melebar.
Aku mendengus. Beberapa menit berikutnya Arman melanjutkan ocehannya tentang Puspa.“Aaahhh… aku sampai lupa ngasih lihat fotonya!” ujarnya.
Aku buru-buru berdiri. “Nggak usah, Arman. Orangnya pasti lebih cantik dari ceritamu. Besok aja…. Aku harus cepet-cepet nemui istri bossku.” Kutinggalkan Arman yang sibuk mencari koleksi foto dari tabletnya. Sebelum keluar pintu cafĂ©, masih sempat kulihat lelaki 30 tahun itu tersenyum-senyum sendiri, mungkin gemas menatap foto-foto kekasihnya.
Aku jadi ingat masa-masa kuliah dulu.Sesama mahasiswa sering bercanda, kalau ada yang jatuh cinta dunia terasa milik berdua, manusia lainnya entah ngungsi entah pindah ke planet lainnya.Arman sedang menikmati masa-masa itu.Meskipun bosan dengan repetannya tentang Puspa – indah sekali namanya – aku ikut bersyukur. Sudah lama Arman berangan-angan punya pacar yang pekerjaannya membawanya keliling dunia. Katanya asyik. Meskipun terpisah, mereka bisa berkencan pindah-pindah negara.
Empat bulan lalu cinta mereka berawal di Perth. Tiga minggu berikutnya mereka berkencan dua malam di Jakarta. Dua minggu kemudian sepasang merpati itu terbang ke Bangkok, menyewa boat menyusuri sungai Chao Phraya. Lalu ada tiga-empat kota lagi yang ia sebutkan tadi, aku lupa. Pada kencan kali ini mereka akan menghabiskan dua malam di sebuah hotel bintang lima di kawasan Bukit Bintang, tak jauh dari mal Pavilion.
Pertemuan mereka hanya singkat-singkat, satu sampai tiga malam.Namun kata Arman panasnya mampu menghangatkan hati mereka sampai berminggu-minggu, hingga ke saat kencan selanjutnya.Kuseka keringat yang meleleh di jidatku.Bukan cuma udara lembab dan panas, cerita Arman ikut membakarotakku.Tak sadar langkahku telah membawaku ke halaman depan hotel tempat istri bossku menginap.
“Arini… Apa kabar?” Bu Triana, istri bossku, beranjak dari sofa di sudut kanan lobi, menyambutku ramah. Keelokan perempuan tanpa anak itu selalu berhasil memukauku.Kalau belum pernah melihat fotokopi paspornya, aku tak bakal mengira usianya dua bulan lagi genap 40 tahun. Tak ada orang yang akanrambangjika ia mengaku baru saja lulus sarjana. Banyak staf kantorkami – yang pernah bertemu dengannya – curiga ia memakai botox, atau semacamnya.
Setelah berbasa-basi sebentar, ia menyerahkan dokumen titipan suaminya. “Oh, yaaa…!” celetuknya kenes bagai gadis SMA, “ini… ada  oleh-oleh untukmu. Jangan bilang-bilang Brandon, ya,” tambahnya, menyerahkan tas kertas mungil warna fuchsia berhias pita.
“Aduuuh… Ibu…!” Kuterima tas itu, pura-pura tersipu. “Boleh kubuka?” tanyaku tak sabar.Kepala mungilbermahkota rambut sebahu disemir chestnut itu melenggutlembut.“Ohhh!” pekikku, memegang sehelai sabuk kulit merah marun produk Jerman.Sebagai pialang barang-barang antik taraf dunia, Bu Triana kaya, tak bergantung pada uang suaminya.
Kami berbincang beberapa menit lebih lama dari semestinya. Sungguh beruntung bossku itu, pikirku, punya istri 25 tahun lebih muda, cantik, kaya, dan baik hati seperti ini. Sebelum kami berpisah, sekali lagi ia melarangku cerita pada yang lain soal oleh-oleh itu. Sambil menyeberangi lobi, pikiran nakal masuk ke batok kepalaku. Jangan-jangan Bu Triana juga sering memberi oleh-oleh pada teman-teman kerjaku. Siapa tahu. Ia berpesan begitu untuk mengambil hatiku, supaya aku mengira diriku istimewa di matanya.Perempuan seperti dirinya selain ahli memikat hati orang pasti juga piawai menyembunyikan isi hatinya.Namun untuk apa aku berpikir buruk begitu? Kuomeli diriku. Ikat pinggang itu cocok dengan gaun yang akan kupakai besok malam, bila kami jadi diundang makan.Hatiku riang langkahku ringan.
Keesokannya Arman menelpon.Aku baru usairapat.
“Rin, gimana? Nanti malam jadi ke KL Tower?” suaranya penuh semangat.
“Jadi,” jawabku setengah hati, tak tega berbohong. 
“Kami juga mau ke sana. Kita bisa ketemu,” jelasnya.
Aku berpikir sebentar. “Aku tidak janji, Arman. Pak Howard mau ngajak istrinya.Ini setengah resmi.Tidak enak kalau aku meninggalkan meja untuk ngobrol dengan kamu dan Puspa….” suaraku menggantung.
“Alaaah… Gampang. Bisa diatur. Pokoknya kamu harus aku kenalin. Kita bisa ketemu di meja desserts apa di ruang yang ada pianonya itu. Nanti aku yang akan keliling cari kamu. Okay. Aku harus pergi.See you at the tower!” Arman mengakhiri pembicaraan.Temanku itu pasti sedang girang bukan kepalang.
**
Sebuah malam yang tak mungkin kulupakan. Di atas, langit jernih berhias seminau bintang. Di bawah, Kuala Lumpur bagai kain beludru hitam bertabur mutu manikam. Kami duduk berlima, di dalam restoran berputar di lantai teratas KL Tower.Ini kali kedua aku makan di sini, namun sensasinya tak berkurang.
Bagi teman-teman kerjaku – keduanya lelaki – ini pengalaman pertama. Salah satunya mengenakan kemeja sutera yang baru dibeli tadi sore, di salah satu mal di dekat hotel kami. Aku memakai sesuatu yang baru juga, ikat pinggang oleh-oleh Bu Triana. Mendapat undangan makan malam di restoran fancy seperti ini selalu menyenangkan, mengurangi stress akibat pekerjaan.
“Makannya dikit-dikit dan pelan-pelan aja. Ada banyak makanan buat dihabiskan,” selorohku pada teman-temanku, saat Pak Howard dan istrinya sedang mengambil appetizers. Bertiga kami sama-sama meninggalkan kursi, berpencar menuju meja buffet yang berbeda.
“Arini! There you are!”
Arman berada kira-kira tujuh meja dari meja kami.Aku berjalan melewatinya.Ia benar-benar membawa Puspa ke sini.Sahabatku itu berdiri. Kulihat piring kecil berisi beberapa potong salmon segar, irisan lemon, dan sesendok mayonais. Juga ada dua goblet berisi entah anggur putih entah apa. Aku tidak minum alkohol jadi aku tak tahu bedanya.
“Wow. Kamu manis banget malam ini,” senyum Arman terkembang. “Puspa sedang ngambil makanan. Ayo, kamu harus kukenalkan,” katanya, menghampiriku, merengkuh pundakku.
“Mungkin dia nggak mau malam kalian terganggu,” alasanku.
“Aaahhh… seperti katamu, dia malaikat tanpa sayap yang senang ketemu semua orang,” cetusnya.
Kami berjalan beriringan.
“Itu… Perempuan bergaun merah itu.Puspa. Malaikatku,” bisik Arman dari belakangku.
Kuakui ia tidak mengada-ada dengan segala puja-pujinya. Sosok perempuan itu tidak hanya sexy, tubuh lampainya seolah memancarkan cahaya.Ayunan kakinya serupa penari, ringan dan gemulai.Rambutnya digelung ke atas, seikal dibiarkan jatuh melewati telinga kiri, menambah feminin leher jenjangnya.
Arman mendahuluiku. Aku berhenti sekitar empat langkah di belakang perempuan yang asyik memilih makanan pembuka itu.Gaun merahnya menjuntai beberapa inci di atas lutut, mempertontonkan betisnya. Orang Jawa punya ungkapan yang pas untuk melukiskan betis itu: ngembang pudak, ramping-berisi-berlekuk sempurna.
Arman menggamit pinggang ramping malaikatnya, mendekatkan mulutnya ke telinga kirinya, membisikkan sesuatu dengan mesra. Sang malaikat bergaun merah itu mengangguk, menoleh ke belakang. Lehernya berlenggok seiring putaran tubuhnya.Ujung bawah gaunnya berayunseirama gerakan kakinya.
Kini bisa kulihat wajah cantiknya.Senyumku kuncup seketika. Jantungku sesaat berhenti berdentang. Perempuan itu sudah kukenal.Kemarin malam ia memberiku oleh-oleh ikat pinggang.
***
Cerpen karya Endah Raharjo lainnya dapat dibaca di sini: http://endahraharjo.blogspot.com

Sumber: Kompas, 2 November 2012 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar