Cerpen Hammidun Nafi’ Syifauddin
Di
belakang rumah itu, Emak selalu bercerita. Di bawah pohon mangga yang
dulu pernah berjaya. Berbuah luar biasa banyaknya dengan ukuran yang
membuat bibir sedikit menganga sambil mengecapkan lidah dan menelan
ludah.
Sepanjang musim mangga tiba, anak-anak tetangga selalu bergembira. Mereka akan makan mangga. Begitu yang Eyang lakukan waktu Emakku masih kecil—membagi-bagikan mangga yang sudah masak.
Tak
satu pun buah mangga yang kata orang-orang laku mahal itu membuat Eyang
terbujuk untuk menjualnya kepada tengkulak. Tak sedikit pula tengkulak
menawarkan banyak uang tapi oleh Eyang hanya dikasih dua buah lalu
uangnya dikembalikan.
Kalau pagi datang para tetangga silih
berganti menyirami pohon mangga dengan air bekas cucian ikan. Biar
buahnya tambah manis, katanya. Bahkan sampai sekarang, saat Emak sudah
hampir seusia Eyang dulu, para tetangga masih setia menyirami pohon
mangga. Kau kenapa tak mau berbuah lagi, katanya.
Dahan paling besar itu sudah lama merunduk. Abangmu kalau marah pasti sembunyi di pohon mangga itu, kata
Emak. Itu waktu abangku masih kecil. Tapi sampai aku sudah tak memakai
seragam putih abu-abu belum juga kulihat bagaimana rupa abangku itu.
Sejak kecil yang kutahu hanya aku punya abang bernama Badrun. Itu saja.
Abangmu
si Badrun entah sudah setua apa sekarang, Emak selalu menghembuskan
napas panjang kalau memikirkan itu. Kalau keluar kota lalu bertemu
seseorang bernama Badrun aku selalu berharap dialah Badrun anak Emak.
Oh, saya Ahmad Badrun anak si Suta. Oh, saya Dul Badrun anak si Naya.
Tak satu pun nama Emak mereka sama dengan Emakku.
Pohon mangga tak
lagi berbuah. Badrun abangku tak pernah pulang. Kasihan Emak dan para
tetangga. Emak habis-habisan memikirkan Badrun. Kalau soal pohon mangga
ini, biar kami yang mengurus, begitu yang ditawarkan para tetangga.
Kata
Emak, Badrun pandai memilih mangga yang masaknya paling sempurna. Dia
kalau marah suka sembunyi di pohon, bagaimana bisa tidak hafal. Kalau
dia sembunyi sambil nangis, kata Emak matanya jelalatan melihat mana mangga paling masak. Memang dia marah, tapi kalau turun dari pohon, ada empat sampai lima mangga masak dibawanya. Kata Emak, mangga yang diambil Badrun benar-benar manis.
Dia
itu sebenarnya anak baik, tak pernah dia pulang sekolah membawa rapor
merah. Bapak dan ibu guru selalu mengacungkan jempol untuknya. Cuma sayang, saat dia lulus SMP bapak meninggal. Lalu dia pergi kerja. Dua bulan setelahnya barulah aku lahir.
Tak
ada Badrun, tak ada buah mangga. Mereka tinggallah cerita. Pohon mangga
itu adalah peninggalan Eyang. Ditanam tepat ketika Emak lahir. Dan
sekarang, pohon itu sakit.
Kursi panjang berbahan bambu wuluh
bikinan bapak itu sudah tak lagi kokoh. Kalau aku rewel waktu kecil
dulu, Emak sering menyanyi dan mendudukkanku di kursi bambu itu. Sama,
abangmu kalau rewel begitu juga Emak nyanyikan, kata Emak.
Ada
banyak orang di rumah. Sebagian di sekitar pohon mangga. Mereka duduk di
kursi bikinan ayah itu. Dan yang di dalam rumah sebagian membacakan
Surat Yasin, sebagian lagi mondar-mandir di depan jendela.
Mata
Emak makin mendekati terpejam. Tapi aku tahu dia itu melihatku. Aku
masih memikirkan Badrun. Kasihan Emak. Aku keluar sebentar melihat pohon
mangga. Lalu masuk lagi menuju Emak.
”Bagaimana kalau Emak kita pindahkan ke bawah pohon mangga,” kataku.
”Jangan! biar di sini saja,” Kang Sarta melarang.
Tangan
Emak melambai-lambai. Matanya terus menatapku. Semua orang
memperhatikan. Emak sudah tak mampu bersuara. Hanya tinggal jemarinya
menuding-nuding pohon mangga.
”Baiklah, kita pindah saja ke sana,” Kang Sarta memutuskan cepat.
Di
bawah pohon mangga Emak dibaringkan. Sudahlah Mak, jangan terlalu
banyak berpikir. Ini pohon mangga sudah banyak yang mengurus. Para
tetangga makin rajin menyiramkan air cucian ikan.
Mata Emak
menatap dahan yang merunduk. Di situ Badrun dulu sering bersembunyi.
Kang Sarta ikut memandangi dahan itu. Kang Sarta juga tahu kalau Badrun
suka bersembunyi di sana.
Aku memanggil Kang Sarta. Soal Badrun,
aku akan mengarang cerita buat Emak. Mungkin Emak bisa sedikit lega.
Kang Sarta tak mau ikut campur soal itu.
Aku mendekati Emak.
Tangan Emak melambai-lambai dan mengelus jemariku. Mengenai kepergianku
memenuhi undangan Kang Martin kemarin, ada sedikit kabar tentang Badrun. Kang Martin yang juga sudah lama tak pulang rupanya tahu keberadaan Badrun.
”Kang Badrun baik-baik saja Mak. Kemarin dia titip uang buat Emak. Dia akan pulang, tapi sebelumnya Emak harus sembuh. Pokoknya, kalau Emak sembuh, aku langsung menemui abang. Ingat Mak, harus sembuh dulu.”
Emak menggeleng. Kang Sarta agak ragu. Dia menarikku.
”Bagaimana kalau Emak benar-benar sembuh? Akan kau cari di mana si Badrun?”
”Belum tahu Kang, yang penting Emak sehat dulu.”
”Terus, kalau sudah sehat?”
Aku
merasa dosaku sangat banyak. Bohong kepada Emak soal Badrun. Hanya Emak
yang tidak tahu. Di bawah tempatnya berbaring itu adalah kuburan
Badrun. Kemarin waktu Emak tak bisa bangun, aku pergi ke tempat yang ditunjukkan Kang Martin. Di sana memang tempat abangku bekerja. Tapi rupanya di sana pula tempat abang mengembuskan napas terakhir.
Kebetulan
saat itu Emak sakit tak bisa bangun selama beberapa hari. Para tetangga
sudah sepakat untuk merahasiakan itu. Yang Emak tahu, para tetangga
membaca Yasin untuk Emak. Padahal bukan. Yasin itu untuk Badrun.
”Abangku sakit apa Kang?” tanyaku kepada Kang Martin.
”Wah, aku tak tahu, dia sudah terbaring tiga hari di kamar.”
Ah,
makin pusing memikirkan itu. Yang penting sekarang abang sudah
dimakamkan. Sekarang atau besok pun dia juga akan meninggal. Tapi satu
yang masih aku sayangkan. Emak. Hanya Emak. Kasihan Emak.
Apa lagi di bawah pohon mangga itu mata Emak terus berkaca. Kang Sarta menunjukkan wajah prihatin.
”Druuun,” kata Emak lirih.
”Druuuuun...”
”Badrun belum pulang Mak, Emak sembuh saja dulu.”
”Turun Druuuun turun...”
Para tetangga ikut menatap apa yang ditatap Emak.
”Badrun tidak di situ Mak,” Kang Sarta meyakinkan.
”Druuun, turun Drun, turuun.”
”Mak, Badrun pulang besok Mak, Emak sembuh saja dulu.”
Emak terus memanggil-manggil Badrun. Terus memanggil. Lirih, makin lirih, terus lirih dan lirih.
Sumber: Kompas, 5 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar