Cerpen Holy Adib
Siang ini biasanya aku menunggu anakku pulang sekolah. Ia akan mengucapkan salam sebelum masuk ke dalam rumah seperti yang aku ajarkan kepadanya sejak kecil. Lalu aku akan menyiapkan segelas teh dingin dan sepiring nasi sambal ikan pedas kesukaannya. Ia akan memakannya dengan lahap, sejenak kemudian ia akan sembahyang zuhur lalu tidur siang. Ya, ia anak yang patuh. Ia jarang sekali membantah hal-hal baik yang aku perintahkan kepadanya untuk ia kerjakan. Aku dan istriku sebagai orangtuanya sangat senang melihat hal itu. Sehingga meski keluarga kami tergolong sangat sederhana, kami merasa terhibur dengan sifat anak kami yang penurut.
Siang ini, biasanya aku menangis di rumah ketika istriku pergi bekerja dan anakku belum pulang sekolah. Aku tidak menangisi nasibku, karna semua yang menimpa hidupku hari ini adalah risiko dari pilihan-pilihan yang kupilih di masa lalu. Aku menangis karna teringat anakku. Aku tidak bisa memberinya uang jajan ke sekolah. Istriku memberinya uang jajan tiga ribu rupiah. Dua ribu untuk ongkos naik angkot pulang pergi dan seribu lagi untuk belanja di sekolah. Aku membayangkan apa yang akan ia beli dengan uang seribu perak itu di sekolahnya. Paling uang seribu hanya cukup untuk membeli lima biji permen.
Harga makanan di sana rata-rata lebih dari dua ribu rupiah, seperti nasi goreng, mi ayam, nasi uduk dan lain-lainnya. Tentu anakku tak bisa membeli itu semua. Ketika teman-teman sekelasnya sewaktu jam istirahat berlari menuju kantin untuk belanja mengisi perut, aku membayangkan, kemana anakku akan pergi saat itu. Barangkali ia akan ke perpustakaan membaca buku atau mungkin ia akan mencari tempat yang sepi untuk menangis karna tidak bisa membeli makanan seperti yang teman-temannya lakukan. Ingin sekali rasanya aku mencari pekerjaan agar bisa memberi anakku uang jajan saat berangkat ke sekolah. Tapi pekerjaan apa yang cocok untuk laki-laki berumur lima puluh tahun yang penyakitan ini.
Di kamar anakku ada sebuah celengan ayam. Aku sering melihat anakku mengisikan uang seribu rupiah kedalam celengan itu. Aku jadi berfikir, dari mana ia mendapatkan uang tersebut, apa ia tidak jajan. Ya tuhan, pasti dia tidak belanja di sekolah. Suatu ketika aku menanyakan soal tabungan itu kepadanya. Ia menjawab, ternyata benar, bahwa ia tidak belanja di sekolah. Aku bertanya lagi, mengapa ia tidak membelanjakan uang itu, dan ia menjawab dengan polos, katanya, ia tahu aku punya penyakit jantung dan itu butuh uang yang banyak untuk mengobatinya, karna itu lebih baik uang jajannya ia simpan kalau-kalau suatu saat sakit jantungku kambuh dan aku tidak punya uang mengobatinya.
Begitulah setiap siang aku menangis. Anakku yang masih duduk di kelas 2 SMP, sudah memikirkan nasibku. Ia rela menahan selerannya belanja di sekolah agar bisa menabung untuk biaya sakit jantungku. Begitu polos anak itu. Ia tidak tahu bahwa uang jajannya meski ditabung setahun tidak akan cukup untuk membiayai penyakitku. Tapi aku menghargai niat baiknya.
Siang ini, tidak seperti siang-siang biasanya, aku tidak menunggu anakku pulang sekolah, aku juga tidak menangis. Siang ini aku hanya menuggu istriku pulang ke rumah untuk memperingati sebuah hari yang bersejarah dalam keluarga kami. Sebentar lagi mungkin ia akan pulang. Barangkali toko sedang ramai pembeli. Ya, istriku adalah seorang penjaga toko. Ia menjadi penjaga toko sebelum aku menikahiya. Dulu toko itu milik ayahnya, namun setelah ayahnya bangkrut dan meninggal dunia, toko sembako itu dibeli oleh orang lain dan istriku masih tetap menjadi pegawai di sana. Gaji istriku sebagai penjaga toko entah berapa, aku tidak pernah mengetahuinya. Karna ia sendiri yang memegang keuangan keluarga. Ia berhak atas itu karna ia adalah kepala di keluarga kami. Karna aku hanya seorang pengangguran yang sehari-hari bekerja menggantikan tugas istriku di rumah seperti mencuci pakaian, memasak makanan, membersihkan rumah dan pekerjaan-pekerjaan perempuan lainnya. Sebenarnya aku malu mengakui hal ini, karna lazimnya laki-laki harus punya gaji dan pekerjaan tetap.
Siang ini, aku ingat 15 tahun yang lalu, ketika istriku mengandung dan aku masih bekerja di luar kota sebagai guru di sebuah sekolah swasta. Istriku berkali-kali menelfon menyuruhku pulang karna perutnya sudah mulai sakit dan hendak melahirkan. Istriku bilang aku tidak perlu kerja lagi karna ayahnya akan membiayai semua kebutuhan kami mulai dari hari itu sampai tua nanti. Itulah sejarahnya mengapa aku berhenti bekerja. Kata mertuaku, aku cukup di rumah saja menjaga anak dan istriku. Sebenarnya aku tidak mau berhenti dari pekerjaanku, karna meski gajiku tidak besar, hanya cukup untuk membeli beberapa kebutuhan, tapi setidaknya aku punya penghasilan dan tidak bergantung pada mertua. Tapi waktu itu aku memilih mengikuti perkataan istriku untuk segera pulang dan berhenti saja dari pekerjaanku, karna kutahu ia sedang mengandung anakku dan aku takut membuatnya kecewa.
Ya, siang ini bertepatan dengan hari kelahiran anakku satu-satunya. Sudah hampir jam setengah satu, istriku belum pulang juga, apa ia tidak ingat kalau hari ini anaknya berulang tahun. Tadi sebelum berangkat kerja, ia bilang akan minta izin pada tuannya untuk pulang agak cepat karna ada acara penting di rumah. Ya sudahlah, aku tunggu saja, paling sebentar lagi ia datang. Sementara itu aku akan menyiapkan kue ulang tahun di meja dan membersihkan kamar anakku.
Dalam keadaan sepi seperti ini, aku ingat kejadian-kejadian yang pernah terjadi di masa lampau. Dua tahun yang lalu, sakit jantungku kambuh. Dadaku sakit, napasku sesak. Aku pingsan, terjatuh di kamar mandi. Aku dibawa ke rumah sakit. Kata dokter, hidupku tak akan lama, kalau jantungku tidak cepat dioperasi dan itu butuh uang yang banyak. Anakku mendengar itu semua, ia menangis dan lari ke luar ruangan tempat aku dirawat. Dokter salah, harusnya ia tidak mengatakan itu di depan anakku. Sejak saat itu, anakku jadi pemurung. Ia tidak ceria lagi. Kata guru dan teman-temannya, di sekolah ia sering bermenung, sehingga ia tidak menangkap pelajaran yang diberikan oleh guru. Ketika ditanya oleh guru, mengapa akhir-akhir ini ia sering bermenung, ia tidak mau menjawab.
Sejak mendengar ramalan dokter tentang penyakitku, anakku sering terlambat pulang sekolah. Kata teman-temannya, sepulang sekolah, anakku sering datang ke sebuah klinik kesehatan di belakang pasar kotaku. Kudengar kabar, itu tempat perdagangan organ tubuh. Entah apa yang ia cari di sana, tak ada yang tahu. Ia jadi aneh, setiap kali kutanya, tak mau menjawab. Ia langsung masuk kamar dan mengunci pintu.
Memang siang ini, tanggal ini, banyak hal penting yang terjadi dalam hidupku. Ketika membersihkan kamar anakku, aku melihat sebuah celengan ayam. Kuambil celengan itu lalu kubershkan. Celengan itu dulunya sudah pecah, tapi kurekaktkan kembali. Dulu anakku memecahkan celengan itu dan memberikan semua isinya kepadaku. Katanya, uang itu untuk operasi penyakit jantungku. Aku menahan tangis sambil tersenyum kecil kepadanya. Kuusap kepalanya dengan lembut. Aku berusaha memberi beberapa pengertian kepadanya. Bahwa ia tidak usah memikirkan penyakitku. Cukup saja ia rajin sekolah. Tidak ada yang bisa dijual dari rumah ini untuk mengobati penyakitku. Mendengarkan penuturanku, anakku tertunduk dan sedih.
Terdengar pintu diketuk oleh sesorang di depan sana. Pasti itu istriku. Kubuka pintu dan kulihat siapa yang datang. Ternyata tebakanku salah.Yang datang adalah guru-guru dan teman-teman dari sekolah anakku. Mereka membawa karangan bunga dan beberapa kotak hadiah ulangtahun. Kupersilakan mereka masuk ke dalam rumah. Kubilang pada mereka, rumahku sedikit berantakan dan istriku belum pulang dari pasar. Mereka hanya ingin mengucapkan selamat ulang tahun pada anakku, sejenak kemudian pergi. Aku mengucapkan terimakasih banyak atas kedatangan mereka dan mengantarnya sampai halaman depan.
Tak lama kemudian, istriku datang. Kukatakan padanya, bahwa tadi guru dan teman-teman almarhum anak kami datang ke rumah ini mengucapkan selamat ulangtahun dan kutunjukkan beberapa karangan bunga dan kotak hadiah kepadanya. Istriku menangis. Ia memelukku. Aku juga ikut menangis. Kami menangis bersama.
Ya, siang ini, bertepatan dengan hari ulang tahunnya, anakku satu-satunya meninggal dunia. Ia menjual organ tubuhnya untuk membiayai operasi jantungku. Setiap tahun, kami membuat kue ulang tahun dan menghiasi rumah kami dengan hiasan yang meriah layaknya rumah tempat pesta ulang tahun, untuk mengingat anak kami satu-satunya.
Padang, 10 Mei 2012
Sumber: Kompas, 19 Juli 2012
21 Juli 2012
Ulang Tahun
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar