Cerpen Mawaidi D. Mas
Lolong anjing memulai peristiwa malam dengan mengirim sunyi yang misterius. Lolongan itu seperti sebuah instrumen, bila sunyi maka anjing itu akan melolong. Kembali. Bergantian dengan cericit kelelawar. Seketika tampak langit senyap dari bebintang. Hanya ada sesabit bulan menggantung di atas gunung. Bulan sendirian menyalakan kehidupan.
Orang-orang kampung Gunung Pekol berdiam dalam mimpi malamnya. Didekap sunyi. Didekap nyenyak yang enak. Didekap malas yang pulas. Suasana malam yang dingin itu berubah menegang. Pohon perdu dibiarkan bisu. Ada yang berkelebat, sosok jangkung setinggi pohon nyiur di antara cahaya bulan yang sampai separuh ke bumi. Ia keluar dari semak yang belukar.
Dengan langkah lambat dan wajah yang menyeringai ia berjalan di pekarangan desa. Gubuk-gubuk kecil oleh tangannya dihempas sampai hancur. Warung di bibir jalan digantung ke ranting pohon. Ia mulai buas pada benda-benda yang mengusik sepasang mata bulatnya.
Tak lama, kebuasannya membangunkan penduduk kampung. Salah satu warga yang terjaga dari tidurnya terkejut. Melihat suasana yang semakin gaduh seorang lelaki bergegas mengambil sepotong kayu, lalu memukul kentongan di beranda rumahnya. Berkali-kali.
“Landahur! Landahur!” lelaki yang hanya mengenakan celana itu berteriak.
Satu persatu warga kampung Gunung Pekol menyembul dari mulut pintu rumah masing-masing. Bunyi kentongan semakin ramai ditabuh. Sementara itu, Landahur dibuat gusar. Ia mengalihkan pandang pada arah bunyi kentongan.
“Landahur datang! Landahur!” lelaki itu masih berteriak.
“Landahur datang!”
“Bruakkk!” sebuah gubuk tempat peronda remuk dibanting oleh Landahur. Lelaki tadi terbelalak. Dalam hatinya ia ingin mengambil langkah seribu. Sebelum niatnya tercapai lebih dulu Landahur menghadangnya.
“Tolong! Landahur mengamuk!” teriak lelaki itu sambil histeris.
“Buk!” lelaki itu terhuyung. Sebuah amukan mengenai tepat pada tubuh kurusnya. Landahur mendesis. Lelaki itu menyengalkan napas pendek. Tubuhnya terbirit-birit membawa tenaga ingin pergi.
“Katakan, di mana Puteri Jenang berada?” kepala Landahur mendekati lelaki itu.
“Puteri Jenang? Saya tidak tahu,” jawabnya terbata. Lalu tidak sengaja menelan ludah dalam-dalam.
“Bohong! Cepat katakan atau kau aku tetas seperti sebutir telur,” pancing Landahur.
“Be…benar saya tidak tahu.”
Bulan lengkung di tenggara. Di bawahnya lelaki itu tumbang terhempas pada sebatang pohon. Begitulah nasib penduduk kampung Gunung Pekol bila Landahur datang yang ingin menuntaskan keinginannya. Kematian menjadi pesta bagi Landahur. Darah menjadi minuman sekali tenggak. Teriakan perempuan-perempuan desa menjadi tembang kesedihan.
Penduduk kampung hanya bisa berdoa kepada Yang Berkehendak. Kepada para raja terdahulu pula mereka mengirim adjisaka. Bau za’faran ditabur menyeluruh ke pelosok desa, agar para wali turut serta mengaminkan keselamatan mereka. Tak ada yang tahu siapa yang akan menolongnya. Bertahun-tahun kematian membentuk ritual kewajiban penduduk kampung Gunung Pekol.
***
Di lereng gunung, adalah tempat Puteri Jenang tinggal bersama bibinya. Hingga kini perempuan itu terus mencari tempat yang lebih aman dan nyaman. Puteri Jenang gelisah. Di matanya, wajah Landahur betapa ngerinya.
Terdengar di kampung sebelah Landahur mulai meneror. Tak mungkin dia lari ke atas gunung—yang akhirnya keberadaannya semakin diketahui Landahur. Kecuali, Pangeran Banuaju datang, sang kekasih, membawanya terbang.
Bulan sabit di muka jendela dipandangi oleh Puteri Jenang. Dia tidak bisa memanggil Pangeran Banuaju untuk menolongnya. Hanya pada saat bulan tua Pangeran Banuaju bisa keluar dari persemedian. Sungguh nahas Puteri Jenang. Matanya sesendu bulan. Bengkok menyerupai lengkung alis matanya.
Puteri Jenang memandangi kulit ayunya hingga betis. Naif jika tubuh indahnya diperuntukkan Landahur malam itu. Betapa dia rindu pada Pangeran Banuaju. Apalagi ketika ia menyentuh peniti emas yang menusuk kundaian rambutnya. Peniti emas itu pemberian Pangeran Banuaju sewaktu bercinta di Tamansari.
“Sudahlah Nduk! Tenangkan dirimu dan sabar. Pangeran pasti datang,” kata Bibinya meleraikan kegelisahan Puteri Jenang.
“Mau sabar bagaimana, Bi? Sekarang tanggal tujuh. kemungkinan besar pangeran tidak akan datang,” keluh Puteri Jenang.
“Mari sama-sama berdoa. Semoga pangeran lekas datang.”
Puteri Jenang menelan ludah. Percuma ia mendengar tanggapan bibinya yang tak paham apa-apa tentang kegundahan yang menggasak lubuk hatinya, karena malam ini pangeran tak akan datang. Teruslah air mata Puteri Jenang berputar seperti menasbihi kerinduan.
***
Jantung desa semakin riuh-gemuruh. Warga kampung Gunung Pekol terpaksa keluar dari mulut pintu. Bocah-bocah kecil berlindung di dalam dekapan ibunya. Gadis-gadis desa dilumbar ke lapangan tempat Landahur mengamuk. Sesekali mendesis. Sesekali pula sebatang ujung jemarinya mencolek kulit gadis-gadis desa.
“Bodoh! Di sini tak ada bau Puteri Jenang.” Landahur membuang muka. Hidungnya mendengus sambil matanya terkuak lebar. Gadis-gadis itu mulai tenang.
“Hei, ayo katakan! Di mana Puteri Jenang berada?”
“Sa…saya tidak tahu,”
“Dasar bocah tengik!”
Orang-orang menangis tak bersuara ketika melihat salah satu warga tewas mengenaskan. Mereka mengenang kematian. Berkabung dan mendoakan. Napas terakhir lelaki itu meninggalkan biji mata melompat keluar.
“Jika malam ini aku gagal menemukan Puteri Jenang, kalianlah yang akan kujadikan pengganti dari permaisuri pada satu malamku nanti!”
Landahur mempunyai harapan untuk mendapatkan Puteri Jenang. Malam itu ia masih gemar mengubrak-abrik desa. Pasar, lepau-lepau kecil, pos ronda, rumah-rumah bubruk ditelan tanah. Landahur bangga dengan perangainya, ia merasa telah mendapatkan segila rindunya. Sebab, hanya Puteri Jenanglah perempuan yang dapat mengubah nasib umur Landahur menjadi abadi. Menurut tafsir mimpinya beberapa tahun yang lalu, jika ia berhasil menyetubuhi Putri Jenang maka umurnya akan kekal dan Gunung Pekol akan dikuasainya.
***
Sebuah gubuk kecil di lereng gunung—tempat Puteri Jenang berada—dia sedang memintal gelisah. Selalu dipandangi kulit ayunya. Teringat belaian pangeran hatinya ketika saat-saat memadu kasih di Tamansari. Bermesraan. Alangkah sedihnya Puteri Jenang bila malam itu Landahur benar-benar datang. Oh, betapa ngerinya wajah busuk Landahur.
“Nduk! Tampaknya kegelisahan yang dirasakanmu benar adanya.” Bibinya melongo keluar jendela, lalu menutup kembali jendela itu dengan pelan.
“Apa maksud yang bibi?” Puteri Jenang penasaran.
“Firasat bibi mengatakan, makhluk itu akan datang malam ini.”
“Landahur?” Puteri Jenang masih penasaran.
“Iya.”
Mata Puteri Jenang berkaca-kaca. Ada sesuatu yang jatuh dari matanya. Air mata itu tumpah meruah ke pipi Puteri Jenang. Tak mungkin malaikat hatinya datang malam itu. Sebab, ruang pertapaan di Guranggaring tak mengizinkannya pergi. Matanya, kini membentuk laju air Sungai Banyuayu. Di bawah cekung matanya seperti senja yang hampir punah. Pipinya sembab dengan air mata. Duh, bibirnya merapat erat menahan sedih yang semakin menindih. Di jenjang lehernya peluh tersebar harum. Dadanya memacu degup menggembala dua buah dada dalam desak isakan. Kedua jemarinya diremas-remas. Tiba-tiba air matanya jatuh ke lengannya.
Putri Jenang tak banyak berbuat apa-apa. Hanya air mata-mata air miliknya yang terus menikung kebagian hidungnya yang mancung.
“Adinda, jika suatu saat kelak aku gugur dalam pertempuran, maka lekaslah bila kuminta Adinda melepaskan peniti emas itu dari kundaian rambutmu. Agar aku selamat dan kembali ke pangkuan Adinda.” Kenang Dewi Puteri Jenang. Air matanya semakin melaju.
Puteri Jenang! Di manakah kau berada? Lamat-lamat hidungku menemukan bau harum tubuhmu menyemerbak di kaki gunung. Sejak dulu, berulang-ulang kusibak pohonan nun jauh, kusibak rumahmu dan kabarmu. Tetapi, tak kutemukan juga harum tubuhmu sampai saat ini. Sudah berapa banyak angka tahun yang silih berganti dan kita lama tak berjumpa? Aku merindukanmu di sini, Puteri Jenang! Semenjak kau masih dalam buaian, tahun lalu, aku datang ke rumahmu, hanya untuk menengok keadaan desa, pula keadaanmu. Tetapi, kau tiba-tiba raib pergi entah ke mana sekarang. Sungguh menyakitkan. Jenang!
Malam ini, adalah tahun masa keperempuananmu yang matang. Kau tentu tahu apa hakikat dari sebuah rasa, perkenalan dan masa-masa dulu aku mengagumimu. Kau tentu tahu apa itu cinta? adalah segalanya dari rasa, bersatunya asmara manusia. Maka, malam ini aku akan meminangmu sebagai permaisuri malamku, Puteri Jenang.
Puteri Jenang terbangun dari kesedihannya. Telinganya menangkap gelegar suara. Ya, suara itu berdengung pula di jantung Puteri Jenang. Dia terbelalak. Sesuatu telah terjadi padanya.
“Bibi, dengarkah akan suara itu?” Bibinya segera menghampiri.
“Sepertinya iya, Nduk!” Pasrah bibinya.
Suara tumbang pohon nyiur di luar terdengar melalui celah jendela. Gundukan batu-batu berjatuhan dari atas gunung. Hampir saja sebuah batu besar menggelinding ke gubuk mungil di lereng gunung yang ditempati Puteri Jenang.
Landahur mendesis. Hidungnya mendengus. Kali ini Landahur menemukan sesuatu yang menakjubkan di gubuk mungil itu. Dan tempat itulah yang ia cari selama ini,
“Bruakkk!” Landahur menghempaskan atap gubuk yang menggigil itu. Debu-debu beterbangan. Betapa terkejutnya, Puteri Jenang yang diduga berada di gubuk mungil itu oleh Landahur seketika lenyap. Hanya tempat tidur tergolek. Landahur mengamuk membabi buta.
“Akh!” Panjang. Menyusul pelepah nyiur berjatuhan. Bulan sabit di tenggara seperti bengkokan batang pelepah. Landahur takjub pada bulan.
“Kau melukaiku Puteri Jenang! Sekarang kau tak bisa lari.” Bentak Landahur murka. Matanya menyela pada sebongkah batu besar. Puteri Jenang dan bibinya berlindung di sana. Namun nahas, mata Landahur lekas memburu.
Malam semakin tua. Landahur mendengus panjang. Meraung-raung. Ia memukul-mukul dadanya dengan bangga. Segera ia memberikan kalimat pengantar perihal kedatangannya ke hadapan Puteri Jenang.
“Terkutuk! Kau jangan terlalu memaksakan kehendakmu.” Ambisi Puteri Jenang terpancing.
“Puteri Jenang! Ingatkah kau, betapa aku terlampau sabar menunggumu. Pada ruas jalan yang panjang aku titipkan kesabaranku untuk menunggumu. Dan sekarang kau tiba-tiba mengusirku. Apakah ini yang dinamakan kesetiaan?”
Puteri Jenang diam sejenak. Dia merenungi penutur Landahur.
“Bagaimana cantik? Akan aku bawa kau ke negeriku saat ini.”
“Maafkan aku. Aku tidak bisa memenuhi keinginanmu. Jika ini membuatmu benci kepadaku dan jika ini bukan suatu kesetiaan, maka lupakan harapanmu itu. Sebab, jika kau masih menggilaiku sama saja kau membuang waktu untuk mencintai dirimu sendiri.”
“Ada Pangeran Banuaju yang lebih dulu merenggut kalbuku.” Aku Puteri Jenang. Lalu menengadah ke arah Landahur yang masih berdiri dengan tatapan matanya yang amat pilu. Landahur luka parah.
Duhai langit yang menyaksikan, mata bulat Landahur membiaskan merah saga, mempertahankan amarah murka. Keretap giginya mengundal-undal.
“Tidak! Terpaksa aku harus membawamu Puteri Jenang. Ini demi kemaslahatan antara kau dan aku, demi memenuhi cintaku.”
“Bibi,” rintih Puteri Jenang.
Angin datang. Pohon nyiur tumbang. Desau angin beserta pelepah yang lain membuat Puteri Jenang menekan dada. Landahur bermain amuk. Pada dadanya tangannya menumpahkan kekesalan.
Sekawanan angin menyapu pakaian Puteri Jenang. Melambai-lambai. Seperti ada sesuatu yang aneh. Tiba-tiba sepintal beliung mengelilingi Puteri Jenang.
“Adinda!” sosok di pintalan beliung itu berteriak.
“Oh, pangeran?” Puteri Jenang mendekat. Tapi Pangeran Banuaju mencegah ketika ia menjinjing sampirnya dan berusaha lari ke dadanya.
“Aku merindukanmu. Siapa yang mengabarkan risalah ini?”
“Adinda Puteri, riak Lombang mengetuk persemedianku di atas batu Guranggaring. Ia membawa berita akan celaka yang menimpa Adinda. Maka, kedatanganku tak bisa lama-lama Adinda. Walaupun sebenarnya aku juga sangat merindukanmu. Lihatlah bulan di tenggara itu, bulan batang-batang tempat ke tujuh aku melanjutkan pertapaan.”
“Tapi,” Puteri Jenang masih ingin melanjutkan percakapan. Namun lidahnya kelu. Matanya buncah dengan air mata.
“Adinda, tak ada waktu lagi. Landahur sedang menurunkan para pengikutnya. Sebentar lagi mereka berdatangan akan membawa Adinda. Malam semakin larut dan tua!”
“Tidak!”
“Ya. Lemparkan peniti emas itu di kundaian rambutmu Adinda. Lepaskan! Lemparkan segera ke arahku. Sebelum para pengikut Landahur mengusung keberadaanmu.”
“Tapi, bukankah peniti emas ini adalah pusaka cinta kita? Tidak!” Puteri Jenang histeris.
“Lemparkan Adinda! Lemparkan peniti itu kepadaku.”
Disertai tangis yang mendayu, Puteri Jenang melepaskan peniti emas itu dan melemparkan ke arah Pangeran Banuaju. Seperti burung yang melesat, Pangeran Banuaju terbang mendekati Landahur. Terjadilah amukan sengit Landahur. Pangeran Banuaju hanya mendaki tubuh Landahur mulai punggung hingga bertengger di rimbun rambutnya. Landahur merasa dilecehkan. Ia mengamuk dengan kepalanya. Pangeran Banuaju segera melesat turun secepat beliung dan menancapkan peniti emas tepat di mata kiri Landahur. Landahur mengerang, seperti lolong anjing. Landahur memegang mata kirinya. Darah merembes di mata kiri Landahur.
“Akh!”
Landahur roboh. Tubuh besarnya menghempas pohonan. Ia mengerang kesakitan. Sementara Puteri Jenang merasa tenang menyaksikan Landahur tumpas oleh kekasihnya. Malam bergemuruh, seusai itu segala isi bumi menjadi bisu. Puteri Jenang menyaksikan bulan.
(Guluk-Guluk, 2011)
*)cerita ini adaptasi dari kisah orang-orang dulu dari Desa Banuaju Sumenep Madura.
Biodata:
Mawaidi D. Mas, Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS-UNY. Sekarang giat sebagai penulis Aksara dan gabung dalam Komunitas Rabo Sore Yogyakarta.
Sumber: Kompas, 8 Juni 2012
09 Juni 2012
Di Penghujung Cinta Landahur
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar